Berita Nasional Terpercaya

Haruskah Bangga dengan Juara Semu?

0

HarianBernas.com – Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyampaikan pengalaman dan kegundahan salah seorang kawan saya yang menjadi tim panitia inti sebuah kejuaraan level tingkat propinsi. Menurut kawan saya tersebut, dirinya dipusingkan dengan beberapa peserta lomba yang akan menjadi peserta sebuah lomba ajang pengetahuan tingkat propinsi.

Mereka para peserta tersebut telah meraih juara pertama untuk lomba yang sama di tingkat sebuah kota. Namun, ketika akan dipanggil untuk mewakili kota tersebut, ternyata, sang juara, tidak diketahui alamatnya di kota yang ia juarai. Namun belakangan baru diketahui, ternyata sang juara tersebut sudah menjadi wakil dari salah satu kota lain di propinsi yang sama, karena ia juga menjadi juara pertama dalam lomba yang sama di kota tersebut.

Masih menurut penuturan kawan tersebut, belakangan diketahui penyebabnya, bahwa ada sebuah lingkaran yang rupanya sulit dihindari dari setiap event perlombaan tersebut. Sekalipun pihak panitia telah menerapkan aturan yang begitu ketat, mulai dari persyaratan adminitrasi sampai peraturan pertandingan, tapi ternyata masih ada saja yang mencoba sedikit ?nakal? mengelabui pihak panitia ataupun pihak dewan juri dengan menghadirkan peserta luar kota yang memang memiliki potensi bisa meraih juara.

Tidak peduli lagi dengan potensi peserta lokal daerah binaan yang mungkin saja mereka butuh dan seharusnya diberikan kesempatan yang lebih. Karena tujuannya hanya ingin meraih juara dan mungkin saja prestise wilayah, akhirnya menciderai sportifitas perlombaan tersebut, dan ada hal yang sangat substansial terlupakan yaitu memaksimalkan potensi wilayah lokal.  

Suatu ketika secara kebetulan saya mendapati sebuah kenyataan yang membuat saya mempertanyakan, bahkan mengelus dada merasa prihatin dengan fenomena tersebut. Apa pasalnya?

Begini, secara tidak sengaja saya terjebak hujan di salah satu kantin dan mendengarkan perbincangan sekelompok anak muda (rumpian) yang sedang menunggu hujan juga. Para anak muda tersebut bercerita bahwa mereka mendapat undangan untuk mengikuti sebuah ajang lomba cukup bergengsi berskala kota. Bersamaan undangan tersebut, disampaikanlah beberapa persyaratan lomba dan rincian biaya yang harus dibayarkan oleh peserta lomba berkenaan dengan kegiatan tersebut.

Saking serunya akhirnya saya pun larut mendengarkan perbincangan sekelompok anak muda tersebut, alangkah terkejutnya saya ketika salah seorang dari mereka memperlihatkan tentang rincian yang harus mereka bayarkan jika mereka ingin juara. Ups, tapi ini jalur khusus lho! Kata salah satu anak muda. Saya membaca pada sebuah baris ada rincian mengenai tropi dan sertifikat lomba, juara satu sekian rupiah, juara ke dua sekian rupiah, juara ke tiga sekian rupiah, harapan satu, harapan dua, harapan tiga bla?.bla?.bla! Lho kok?

Apakah untuk bisa memiliki tropi dan piagam juara, peserta lomba bisa membelinya dari panitia lomba? Apakah hal ini hanya sebuah kasusistik kecil, atau jangan-jangan sudah menjadi lumrah dan menjadi fenomena umum dimana-mana ya? Tanya para anak muda tersebut, yang membuat dahi saya juga ikut berkerut. Apa sesungguhnya makna juara itu? Kecamukku dalam hati.

Sepengetahuan saya menjadi juara dari sebuah lomba atau pertandingan yang kita ikuti, tentu saja sangat membanggakan dan menjadi dambaan bagi setiap peserta suatu kejuaraan. Penghargaan atau pengakuan sebuah prestasi atau kemampuan yang selama ini ditekuni adalah sebuah anugerah yang indah. Kerja keras, disiplin, konsistensi dalam menekuni sesuatu, seakan terbayarkan dengan prestasi tersebut. Sebuah pembuktian perjalanan panjang yang tidak sia-sia.

Jika kita sempat mengamati dengan cermat pada saat bertamu atau singgah di rumah teman, rekan, ataupun saudara, adakah pernah melihat tropi ataupun piala yang terpajang rapi di ruang tamu? Kadang tidak hanya satu, namun berderet-deret, lengkap dengan piagam dan foto ditata sedemikian indahnya. Saya jadi membayangkan pasti mereka sangat bangga dengan piala dan pengharagaan tersebut, alangkah  hebatnya orang-orang tersebut! Berbagai prestasi sudah mereka torehkan selama hidup.

Namun pada sisi lain tidak tahu mengapa, kok nurani ini sedikit terusik ya serasa ingin berontak mendapati dua kenyataan sederhana tadi. Beberapa kali sempat berbagi cerita dan kegelisahan tersebut dengan rekan dan kawan yang juga cukup prihatin atas fenomena ini, ternyata merekapun mengalami hal yang serupa. Ironisnya kata kawan, saat ini malah ada yang merasa hal itu sebagai sebuah kewajaran. bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa hal itu untuk memupuk kebanggaan dan kepercayaan diri peserta lomba. Bahkan ada yang menganggap hal tersebut adalah sebuah kebanggan bagi para peserta, keluarga, bahkan mungkin institusi atau wilayah yang mengirimnya. Namun masih ada juga yang merasa prihatin dengan kepalsuan tersebut.

Saya menjadi tidak habis pikir! Harusnya, sebuah prestasi keunggulan sang juara yang kemudian diwujudkan dalam penghargaan berupa tropi ataupun sertifikat, adalah sebuah hasil kerja keras yang tidak main-main sekecil apapun skala sebuah kejuaraan atau lomba. Menang dan kalah dalam sebuah kompetisi adalah hal yang lumrah.

Bagi si pemenang, predikat juara adalah sebuah penghargaan atas prestasi yang diraih dengan penuh kerja keras yang dilandasi semangat sportivitas. Predikat itupun akan memupuk rasa percaya diri yang tinggi dan menambah semangat untuk meningkatkan prestasi yang lebih tinggi lagi. Demikian halnya bagi peserta yang belum berkesempatan menjadi juara, sebuah kejuaraan akan menjadi pelajaran berharga bagi peserta untuk lebih meningkatkan belajar, latihan, dan kedisiplinannya.

Dari sebuah kejuaraan juga seorang peserta lomba diajarkan mengenal rasa sportivitas, bahwa para juara berhasil mendapatkan piala karena mereka lebih rajin, lebih giat, disiplin dan kerja keras dalam mempersiapkan perlombaan. Maka pelajaran terpenting adalah bagaimana meneladani mereka untuk meningkatkan prestasi di masa depan.

Dalam sebuah kejuaraan juga ada pembelajaran mengenai kejujuran. Mencapai suatu tujuan harus dilakukan dalam koridor ketentuan peraturan dan rambu-rambu yang telah disepakati bersama. Obyektivitas dalam sebuah lomba akan hadir manakala semua pihak yang terlibat, baik peserta, panitia ataupun juri, bahkan penonton semuanya menjunjun tinggi kejujuran. Inilah pembelajaran yang sangat penting!

Nah, bagaimana mungkin kepalsuan dan kebohongan kini sudah diajarkan kepada para generasi kita, bahkan kini sudah masuk pada tingkat perlombaan yang nota bene persepsi orang semestinya tidak boleh terjadi, karena lomba tersebut bernuansah yang cukup suci! Ataukah tropi berderet dan piagam akan menjadi kehilangan makna ?kesakralannya? dan hanya menjadi sebuah produk kebohongan bersama.

Atau jangan-jangan masalah ini sudah ?dibisniskan? di setiap lomba, untuk membangun gengsi, prestise, bahkan kebanggan semu nan palsu? Bagaimana mungkin bangsa ini mampu menghasilkan generasi berkualitas dan berakhlak mulia, jika mereka justru telah diajarkan tentang kebohongan berjamaah? Ah sudahlah, semoga itu semua hanya menjadi kegelisahan saya yang tidak beralasan dan semoga fenomena ini hanya sebatas yang saya temui saja. Saya yakin masih banyak anomali kejujuran di lingkar masyarakat kita. Asa itu masih terbuka lebar, semoga.

 

Muhammad Fahmi, ST, MSi

Pemerhati masalah Sumber Daya Manusia dan masalah Tematik Bangsa, Kandidat Doktor Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta, Master of Ceremony, Trainer Publik Speaking/Kehumasan. Salam Merah Mempesona Menggelitik Hati.

[email protected] | WA: 08158228009

Leave A Reply

Your email address will not be published.