Berita Nasional Terpercaya

Haruskah Sistem Pemilu Kita Berubah?

0

JAKARTA, HarianBernas.com – Perjalanan studi banding Panitia Khusus Rancangan UU Pemilu ke Jerman dan Meksiko direspons dengan penuh tanda tanya. 

Ada apa Pansus RUU Pemilu ke Jerman dan Meksiko?

Alasannya sih, Pansus DPR RI menganggap perlu melihat perbandingan sistem pemilu antara kedua negara itu dengan Indonesia. 

Namun, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyebut sistem pemilihan dua negara itu berbeda jauh dengan Indonesia. 

Negara Jerman, kata Titi, mengunakan sistem pemilu campuran, yaitu distrik dan proporsional. Begitu pula dengan Meksiko. Sedangkan sejak dulu Indonesia selalu menggunakan sistem proporsional. 

Selain itu, dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari pemerintah maupun partai politik di DPR, tak satupun yang merencanakan untuk mengganti sistem pemilu proporsional menjadi campuran.

“Jadi ibaratnya, kita jurusannya mau ke Depok, mereka mau ke Bekasi,” ungkap Titi.

Titi melanjutkan, sistem e-voting dalam pemilu juga belum tentu jadi solusi terbaik untuk mengurangi permasalahan surat suara yang berulang kali terjadi dalam Pemilu.

“Kalau e-voting, belajar dari Meksiko dan Jerman. Tapi kayaknya belom cocok diterapkan di Indonesia. Jadi, tidak ada sistem pemilu yang lebih baik, yang ada sistem pemilu yang cocok. Di sana negara federal, nah kita negara kesatuan,” terangnya.

Titi menambahkan, perdebatan terkait Rancangan UU Pemilu terbatas di kalangan elite DPR. Dari hasil survei yang dilakukan pihaknya terhadap 400 responden, ternyata 70 persen responden tidak bermasalah dengan sistem pemilu yang sedang dipakai Indonesia. Survei dilakukan pada bulan November hingga Desember 2016 di 27 Provinsi.

“Kebanyakan dasar yang mengubah sistem (RUU Pemilu) itu adalah karena pemilih kita dianggap tidak mengerti cara memilih calon. Ternyata 70 persen, mengaku tidak pernah mengalami kesulitan saat memilih calon,” papar Titi.

Selain itu, diketahui bahwa 86 persen responden lebih suka memilih calon dibandingkan partai politik. Jadi, apa yang dilakukan Pansus RUU Pemilu ke luar negeri adalah bentuk pemborosan uang negara.

“Di tengah waktu yang sangat singkat, Pansus-nya malah studi banding ke luar negeri. Padahal satu bulan lagi penyelesaian (RUU Pemilu), yaitu tanggal 28 April,” sesal Titi. 

Mayoritas Nyaman Sistem Proporsional Terbuka

Hasil survei yang dilakukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukkan bahwa masyarakat pemilih lebih nyaman dengan sistem proporsional terbuka.

Menurut Titi Anggraini, seharusnya hasil survei tersebut bisa menjadi referensi DPR RI dalam membuat Rancangan UU Pemilu.

“Ini yang mestinya menjadi pertimbangan pembuat kebijakan kita, yang selalu mengunakan rakyat sebagai basis merubah kebijakan. Ternyata setelah kita tanya langsung kepada sampel kita di 27 provinsi, mereka tidak kesulitan memilih calon dan mereka lebih suka untuk memilih calon dibanding tanda partai,” jelasnya.

Titi mengatakan, survei yang dilakukan pihaknya berlangsung pada November-Desember 2016 dengan mengambil 400 responden secara acak di 27 provinsi. 400 responden didapat dari dua lembaga survei nasional yang sebelumnya pernah melakukan jejak pendapat secara tatap muka.

“Metode yang kita gunakan itu survei melalui telepon. Kita menanyakan langsung kepada 400 responden yang sebelumnya pernah di data dari dua lembaga survei nasional,” ujarnya.

Dari hasil survei terhadap responden yang memiliki hak suara, sebanyak 86 persen mengaku lebih senang dengan memilih calon anggota legislatif secara langsung. Hal tersebut tentunya merupakan sistem pemilihan proporsional terbuka. Sementara sisanya lebih suka memilih partai politik seperti sistem pemilihan tertutup yang pernah diterapkan pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.

Perludem juga menanyakan alasan 86 persen responden lebih memilih caleg dibanding partai politik, dan alasan dari 14 persen responden yang lebih suka memilih tanda gambar parpol. Untuk 86 persen responden mengungkapkan bahwa memilih caleg secara langsung bisa mempermudah mengenali wakilnya di legislatif. Alasan selanjutnya, pemilih juga bisa langsung menagih janji atau program dari caleg yang dipilih.

Sementara itu, hasil survei yang dilakukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukkan bahwa masyarakat pemilih lebih nyaman dengan sistem proporsional terbuka.

Titi Anggraini berharap seharusnya hasil survei tersebut bisa menjadi referensi DPR RI dalam membuat Rancangan UU Pemilu.

“Ini yang mestinya menjadi pertimbangan pembuat kebijakan kita, yang selalu mengunakan rakyat sebagai basis merubah kebijakan. Ternyata setelah kita tanya langsung kepada sampel kita di 27 provinsi, mereka tidak kesulitan memilih calon dan mereka lebih suka untuk memilih calon dibanding tanda partai,” jelasnya.

Lalu bagaimana, sistem proporsional tertutup yang diwacanakan untuk Pemilu Legislatif tahun 2019. Kalau hal itu diterapkan dianggap melenceng dari agenda reformasi.

Menurut Koordinator Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, wacana tersebut sangat berlawanan dengan keinginan rakyat. Selain itu, tidak sesuai dengan agenda reformasi yang memperjuangkan pemilu terbuka, jujur dan adil. 

Dia mempertanyakan alasan DPR yang ingin mengembalikan proporsional tertutup dari sistem proporsional terbuka yang sudah berjalan selama ini. 

Padahal, manfaat dari sistem pemilihan calon legislatif secara terbuka telah dinikmati oleh masyarakat.

“Ketika perjuangan reformasi, masyarakat ingin pemilu dilaksanakan secara terbuka. Tapi kenapa sekarang ingin dilakukan tertutup. Padahal publiknya konsisten ingin terbuka,” ungkap Ray.

Alasan DPR mengubah sistem pemilu untuk mengurangi politik uang di tengah masyarakat calon pemilih. Ray menyebut alasan itu mengada-ada. 

Menurutnya, justru sistem proporsional tertutup yang didorong DPR semakin meningkatkan politik uang di balik pesta demokrasi. 

“Istilahnya, ada setoran ke pusat agar mendapatkan nomor cantik,” kritik Ray.

Lanjut Ray, sistem terbuka terbatas sama saja dengan proporsional tertutup. Sebab, pilihan masyarakat terhadap calon tertentu tidak menentukan sang calon duduk di legislatif. Penentuan calon yang duduk di legislatif kembali dipilih oleh partai politik.

“Ini cuma permainan kata-kata saja yang cenderung menipu masyarakat. Kenapa menipu masyarakat, karena seolah-olah ada yang baru dengan adopsi kata terbuka. Padahal tidak ada sama sekali peluang keterbukaan di dalam itu,” jelasnya.

Ray menjelaskan, sistem proporsional tertutup sudah pernah dijalankan pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Setelah itu, masyarakat menginginkan calon dipilih secara langsung dengan sistem proporsional terbuka. Hasil dari pemilu dengan sistem terbuka dirasakan pada Pemilu 2014 lalu.

“Faktanya kita tidak ingin sistem proporsional tertutup. Bahkan anggota DPR sekarang ini kebanyakan menolak sistem awal itu. Kalau DPR sekarang setuju dengan sistem proporsional terbuka terbatas yang sebenarnya sama dengan sistem lama, cuma permainan kata saja. Itu sebuah keanehan,” ujarnya.

Ray menilai, jika sistem proporsional terbuka terbatas dalam RUU Pemilu tetap dipertahankan, maka masyarakat kembali disajikan dengan sentralistik partai politik. Bisa dibayangkan jika anggota DPR adalah orang yang sama karena dipilih oleh parpol.

“Ketika mereka sukses di UU Pilkada sekarang mencoba di UU Pemilu, sentralisme ditegakkan kembali. Dugaan lainnya, supaya anggota legislatif 560 tidak diganti, itu-itu saja. Jadi, hanya kematian dan kalau mereka sendiri sudah malas menjadi anggota DPR yang memungkinkan mereka bisa diganti,” pungkas Ray.

Tambah Ray, di sisi lain, sistem proporsional terbuka bisa membuat loyalitas kader terhadap partai menurun. Dikarenakan partai cenderung mendorong caleg yang telah dikenal publik. Meski dari sisi kualitas, sang caleg belum terlalu paham dunia politik.

“Istilah mereka itu kita bekerja 20 tahun di partai yang menang, justru orang yang direkrut dua tiga hari lalu karena populer. Akhirnya tidak ada seleksi yang ketat bagi mereka yang terjun ke politik,” beber Ray.

Problem selanjutnya adalah disparitas pemilih dengan wakilnya menjadi sangat jauh. Namun, dalam sistem proporsional terbuka, jarak pemilih dan calonnya bukan semakin dekat dan malah sebaliknya.

“Faktanya seperti itu. Memang tidak ada hubungan yang kelihatan dekat antara pemilih dengan mereka yang terpilih pada sistem tertutup, jarak itu sangat jauh. Sekarang kita buka (proporsional terbuka) dan apa yang terjadi, jarak tetap jauh,” jelas Ray.

Masalah lainnya yaitu produk anggota legislatif dari kedua sistem tersebut akan tetap sama. Yakni lebih loyal kepada parpol dan kekuasaan dibanding kepada konstituen.

Ia mencontohkan, kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP menunjukkan kepada masyarakat bahwa produk anggota legislatif tetap sama. Sekalipun sistem pemilu dibuat secara terbuka maupun tertutup.

“Mau terbuka atau tertutup, anggota DPR-nya kelakuannya seperti proporsional tertutup. Loyalitasnya kepada partai bukan kepada pemilih. Terbuka begini saja anggota DPR-nya tidak bisa dikontrol, apalagi tertutup,” pungkasnya

Begitu juga pendapat Perludem, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, menegaskan rakyat lelah ganti pemilu ganti sistem, maka harus ada itikad baik. 

“Kita nantikan agar kinerja parlemen yang sekarang bisa berkontribusi positif untuk demokrasi kita,” sebutnya.

Diketahui, RUU Pemilu yang sedang dibahas DPR terus menimbulkan polemik dan perdebatan. Pasalnya, salah satu poin menyebut bahwa pada Pemilu Serentak 2019 mendatang pemerintah ingin menggunakan sistem proporsional tertutup. 

Untuk sistem proporsional terbuka terbatas tercantum dalam pasal 138 ayat 2 dan 3 draf RUU Pemilu. Berbunyi: (2) Pemilu untuk memilih memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas; (3) Sistem proporsional terbuka terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik.

Pada lampiran penjelasan, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan daftar calon terbuka adalah daftar calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dicantumkan dalam surat suara Pemilu Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara berurutan yang ditetapkan oleh partai politik. Sedangkan yang dimaksud dengan daftar nomor urut calon yang terikat adalah daftar nomor urut calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan oleh partai politik secara berurutan yang bersifat tetap.

Dalam pasal 401 diatur bahwa calon anggota legislatif terpilih didasarkan pada nomor urut. Sehingga itu yang membedakan dengan proporsional terbuka, dan dikhawatirkan tidak akan menciptakan iklim kompetitor yang sehat antar para kader partai.

Leave A Reply

Your email address will not be published.