Berita Nasional Terpercaya

Catat! Setnov Ketua DPR Pertama dalam Sejarah yang Dicekal Penegak Hukum

0

JAKARTA, HarianBernas.com – Sejarah buruk Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, telah terjadi dimasa kepemimpinan Setya Novanto atau Setnov. Betapa tidak, sepengetahuan sejak berdirinya DPR RI, baru kali ini pucuk pimpinan tertinggi dewan terhormat harus tercoreng dengan status pencegahan Ketuanya, yaitu Setnov.

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah mencegah Ketua Umum Partai Golkar tersebut, dalam kaitan kasus mega skandal penyelewengan anggaran KTP elektronik.

Sungguh hal yang ironis, sebagai lembaga wakil rakyat mempunyai pemimpin yang dicegah oleh KPK

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia atau TPDI Petrus Selestinus menyatakan, Setya Novanto, sebagai Ketua DPR RI telah membuat noda hitam dalam perjalanan sejarah Parlemen Indonesia, karena selama 77 tahun usia NKRI ini baru pertama kali seorang Ketua DPR Yang terhormat dicekal karena diduga terlibat dugaan korupsi dan menghadapi proses hukum. 

“KPK telah mencekal Setya Novanto karena diduga terlibat dalam kasus mega korupsi e-KTP yang nilainya Rp. 2,3 triliun,” ujar Petrus.

Menurut Petrus, Setya Novanto juga mencatatkan diri sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar pertama, selama usia perjalanan Partai Golkar dikenakan cegah oleh KPK karena diduga terlibat dalam tindak pidana kurupsi. 

“Dengan pencekalan itu maka tugas-tugas pokok pimpinan DPR, pasti mengalami kemunduran, sehingga harus direposisi dengan kader Golkar senior lain yang memenuhi kriteria Pimpinan DPR,” kritiknya.

Stigma buruk ini sulit akan dihapus dalam sejarah Parlemen kita, karena secara hukum pencekalan yang dilakukan oleh KPK telah memenuhi syarat Undang-Undang KPK dan UU Keimigrasian, sebagaimana Dirjen Imigrasi atas pertimbangan yuridis telah mengeluarkan pencekalan untuk waktu 6 (enam) bulan dan jika dipandang perlu dapat diperpanjang satu kali masa perpanjangan selama 6 (enam) bulan. 

“Dalam sejarah Parlemen kita juga untuk pertama kali sebuah kejahatan korupsi dirancang secara sistematis dan terstruktur di DPR dengan melibatkan kekuasaan eksekutif dan legislarif, sehingga fungsi pengawasan DPR serta merta mati suri tanpa sedikitpun mampu mencegah kejahatan korupsi yang terjadi di depan mata DPR sebagaimana saat ini didakwakan dipersidangan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” tegasnya.

Yang mengherankan sambung Petrus adalah DPR, meskipun proses hukum atas dugaan korupsi trilunan rupiah terjadi di DPR dimana fungsi pengawasan DPR dalam keadaan mati suri, akan tetapi hingga saat ini tidak nampak sikap-sikap menyesal atau meminta maaf atas matinya fungsi pengawasan.

Malahan fungsi pengawasan yang efektif dijalankan adalah berupa mencegah dan merintangi agar  KPK tidak menyentuh anggota DPR RI yang diduga terlibat dalam kejahatan korupsi. 

“Karena itu Partai-Partai Politik yang memiliki kekuatan riil di DPR sebaiknya mengevaluasi keberadaan Setya Novanto, Fadli Zon dan Fahri Hamzah karena selama mereka memimpin DPR, fungsi DPR di semua bidang nyaris tak terdengar, malahan kegaduhan yang diciptakan justru memperlihatkan adanya upaya untuk merintangi pelaksanaan tugas Penegakan Hukum, baik oleh KPK, Kejaksaan maupun Polri ketika berurusan dengan DPR,” kata Petrus.

Sementara itu Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menyesalkan, baru kali ini seorang pimpinan DPR mengalami nasib seperti Setnov, ia merasakan aturan yang sebenarnya juga ikut dirumudkan pejabat senayan tersebut (Tentang diperbolehkannya KPK mencekal seseorang yang masih berstatus sebagai saksi).

“Setnov dicekal oleh pihak berwenang Komisi Pemberantasan Korupsi, meskipun statusnya masih menjadi saksi. Dengan dicekalnya Setnov, juga menjadi lampu hijau atau kode keras dari KPK untuk pimpinan DPR yang sekaligus Ketum Golkar tersebut,” jelas Uchok.

Namun ada hal yang lebih menakutkan lagi dibanding pencekalan yang saat ini dirasakan Setnov. Menurutnya  tentang bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap dirinya yang membawa citra sebagai pimpinan DPR dan Ketum Golkar. 

“Citra tersebut akan Hilang berubah menjadi kekecewaan publik, bukan hanya kepada Setnov namun juga bisa berdampak terhadap Lembaga DPR dan Partai yang dipimpinnya,” sesalnya.

Anggota Komisi III DPR RI Henry Yosodiningrat pun angkat bicara. Ia menyerahkan persoalan Setnov pada proses hukum yang berlaku.

Soal respon internal DPR terkait hal itu, Yoso menyerahkan pada Mahkamah Kehormatan DPR.

“Di internal DPR, yang berwenang memberikan sanksi kepada seorang anggota adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan itu menyangkut pelanggaran Kode Etik atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan UU MD3,” jelas politisi PDI Perjuangan tersebut.

Soal pergeseran Setnov, ada mekanisme di internal partai tempat yang bersangkutan berasal.

“Adapun yang berwenang mengganti seorang Anggota DPR RI dengan anggota lain (antar waktu sesuai mekanisme UU tentang MD3 adalah Partai. Dengan Demikian maka DPR RI (selaku lembaga) tidak memiliki kewenangan utk mengganti atau “menggeser jabatan anggota kemudian digantikan dengan anggota yang lain”, paparnya.

Ganggu Kinerja

Politisi PDI P lainnya, yang juga Anggota DPR RI, Hendrawan Supratikno menerangkan, bahwa pencekalan terhadap saksi kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP itu sangatlah mengganggu citra DPR.

“Yang jelas mengganggu citra DPR. Karena bagaimanapun Novanto kan ketua lembaga negara yang menjadi kunci dalam proses demokrasi. Parlemen kan simbol rakyat dan proses demokrasi. Kalau ketua lembaganya dicekal gini kan kita ikut prihatin dan menyayangkan,” terangnya.

Begitu juga kata Ketua Umum PPP versi Romahurmuziy (Romi). Romi mengatakan pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Ketua DPR Setya Novanto oleh pihak imigrasi akan menggangu lembaga wakil rakyat tersebut.

“Yang pasti pencekalan itu menggangu karena seorang ketua lembaga, sekurang-kurangnya menggangu secara psikis dan etis. Secara psikis, masa ketua lembaga dicekal,” kata Romi.

“Sedangkan kedua secara etis, yang tentu tidak pada tempatnya seorang ketua lembaga kok menghadapi persoalan hukum yang menganggu wibawa intitusi. Secara psikis dan etis itu terganggu,” tegasnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Dirjen Imigrasi Ronny F Sompie mengakui pencekalan Setya Novanto sudah diberlakukan sejak Senin (10/4/2017) malam.

“Dirjen  Imigrasi menerima Surat Permintaan Pencegahan untuk tidak bepergian keluar negeri atas nama Setya Novanto dan langsung dimasukkan ke dalam Sistem Informasi dan Manajemen Keimigrasian untuk berlaku selama enam bulan ke depan,” kata Ronny F Sompie.

Disisi lain, Politisi Partai Demokrat Didik Mukrianto menjelaskan, dalam persoalan ini harus bisa memisahkan antara persepektif kerja politik anggota DPR secara kelembagaan dan Penegakan Hukum.

Tentu dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya seorang anggota DPR harus tegak lurus kepada konstitusi dan norma hukum 

“Menjadi keharusan dan kesadaran sejak awal sebagai bagian dari moral dan tanggung jawab politik, maka setiap anggota DPR wajib tunduk, patuh dan ikut memberikan contoh kepada publik dalam melaksanakan UU yang menjadi produk DPR,” paparnya.

Ia meyakini setiap anggota DPR paham dan mengerti akan hal itu. Setiap penyimpangan dan pelanggaran hukum dan UU pasti akan berhadapan dengan penegak hukum. Menjadi hal yang lumrah dan pantas dalam kontek penegakan hukum, apabila ada anggota DPRRI yang melanggar hukum dan harus diproses hukum. sebab, tidak ada seorangpun yang kebal hukum di negara hukum Indonesia.

“Yang mungkin tidak pantas dan tidak pada tempatnya adalah mestinya anggota DPR menjalankan produk yang dibuatnya, secara moral politik, seharusnya anggota DPR menjadi contoh dan wakil rakyat yang amanah dalam mengemban amanah rakyat,” tegas anggota DPR tersebut.

“Tentu kita semua ingin bahwa proses penegakan hukum ini bisa dilakukan scr transparan, tidak tebang pilih, tidak pandang bulu, adil, dan profesional. Hukum juga memberikan ruang yang cukup kepada setiap orang untuk membuktikan dan menempuh upaya hukum untuk mendapatkan keadilan,” pungkasnya.

Soal Dugaan Keterlibatan Setnov

Keterangan saksi yang menyudutkan Setnov tak sampai di situ saja. Di persidangan, Setnov terus mengelak pernah bertemu dengan terdakwa kasus dugaan korupsi e-KTP Irman sebanyak tiga kali. Setnov bersikukuh pertemuannya dengan Irman hanya satu kali.

Namun, kesaksian Setnov itu dimentahkan Irman dalam sidang. Hal itu terjadi saat Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butar Butar mengkonfrontir kesaksian Setnov ke Irman.

Irman dan Sugiharto menegaskan pertemuan di Hotel Gran Melia, Jakarta Pusat, benar terjadi.

“Pertemuan di Hotel Gran Melia itu ada di sana ada saya bu Diah dan Andi Narogong,” kata Irman, Kamis (6/4/2017).

Irman juga protes dengan pengakuan Setnov tidak pernah ada pertemuan di ruang fraksi Golkar. Dia sangat yakin mengatakan pertemuan dilakukan di ruang kerja Setnov pada tahun 2010.

Mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri itu juga menampik pertemuannya dengan Setnov hanya sekali yakni saat kunjungan kerja ke Jambi tahun 2015.

“Itu pertemuan ketiga, kami bertemu di Jambi saat saya jabat Plt Jambi bersama Pak Luhut dan Kapolri,” tandasnya.

Bahkan Irman mengungkap dirinya pernah mendapat pesan dari Sekjen Kemendagri saat itu, Diah Anggraeni, agar berpura-pura tidak mengenal Setnov jika ditanya oleh siapapun termasuk saat proses penyidikan di KPK.

“Saya pernah dapat pesan dari Bu Diah melalui kurir ke rumah saya. Waktu itu pesan Bu Diah ada pesan dari Pak Setnov tolong kalau saya ditanya bahwa saya tidak kenal Pak Setya Novanto,” pungkasnya.

Sugiharto juga membantah semua yang dibeberkan Setnov disidang. “Mengenai pertemuan, bahwa ada pertemuan di Gran Melia pada bulan Maret antara saya Irman, Bu Diah, dan Pak Andi dan Pak Setnov,” ucap Sugiharto.

Setnov yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar itu disebut dalam dakwaan menerima fee sebesar 11 persen atau senilai Rp 574.200.000.000. Jumlah tersebut diberikan karena Setnov yang saat proyek berlangsung menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar bertugas mengatur dan menggolkan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun itu di DPR.

Adapun dalam sejarahnya, berikut tokoh yang pernah duduk sebagai Ketua DPR:

1. Sartono. 1900-1968, 1949-1959, PNI. Pada tahun 1949 ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat maka posisi ini berubah nama menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Serikat (DPRS); setelah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950, namanya berubah kembali menjadi Ketua DPR.

2. Zainul Arifin. 1909-1963, 1960, 1963, NU. Pada tahun 1960, setelah Dekrit Presiden 1959 dicanangkan maka posisi ini berubah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Serikat Gotong Royong (DPR-GR). Ketua DPR-GR pada masa ini tidak menjadi lembaga legislatif, akan tetapi berada dibawah kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden Republik Indonesia.

3. Arudji Kartawinata. 1905-1970, 1963, 1966. Militer    

4. Mursalin Daeng Mamangung. 1922-1966, 1968. Militer.

5. Idham Chalid. 1921-2010, 1968, 1977. NU. Digabungkan ketua MPR.

6. Adam Malik. 1917-1984, 1977, 1978. Partai Golkar    

7. Daryatmo. 1925-1978, 1982. Partai Golkar.

8. Amir Machmud. 1923-1995, 1982, 1987. Partai Golkar.

9. Suhud, 1925-2012, 1987, 1992. Partai Golkar.

10. Wahono.1925-2004,1992, 1997. Partai Golkar    

11. Harmoko. 1939-1997, 1999. Partai Golkar    

12. Akbar Tandjung. 1945-1999, 2004. Partai Golkar. Dipisahkan ketua MPR

13. Agung Laksono. 1949-2004, 2009. Partai Golkar    

14. Marzuki Alie. 1955-2009. Partai Demokrat

Leave A Reply

Your email address will not be published.