Berita Nasional Terpercaya

Megawati dalam Pusaran Kasus BLBI

0

JAKARTA, HarianBernas.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepertinya ingin menarik Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, dalam megakorupsi kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang terjadi pada masanya sebagai presiden.

Pasalnya kebijakan Megawati yang mengeluarkan Inpres 8/2002 menjadi landasan dikeluarkannya Surat Keterangan Lunas dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke sejumlah bank yang bermasalah.

“Kebijakan itu tidaklah menjadi Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan itu menjadi Tindak Pidana Korupsi apabila di dalam proses berjalannya kebijakan tersebut ada sesuatu manfaat yang diambil dan yang diperoleh orang yang mengeluarkan kebijakan tersebut untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok atau orang lain. Jadi nanti kemungkinan, itu masih bisa saja,” ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyingkapi penyidikan kasus tersebut.

Meskipun peluang menyeret pembuat kebijakan dalam kasus yang ditangani masih terbuka, namun penyidikan KPK belum tertuju kesana. Termasuk, dugaan indikasi tindak pidana korupsi dalam penerbitan SP3 dari Kejaksaan Agung dengan landasan para debitur BLBI dianggap telah menyelesaikan utang meskipun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham.

Saat ini, sambung Basaria, KPK fokus pada penyidikan kasus yang menyeret mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka.

“Apakah dengan dasar SKL ini dibuatkan SP3. Ini penyidik belum sampai kesana, ini case yang berbeda nanti akan dibuat khusus, tim lidik yang menangani itu. Tetapi fokus kita hari ini penerbitan SKL itu yang tidak seharusnya karena memang belum lunas. Seharusnya Rp3,7 triliun tadi diambil pemerintah baru keluar surat lunas,” tandasnya.

Namun, menelisik dari pernyataan Presiden Joko Widodo, ada kesan kalau langkah yang dikeluarkan oleh Megawati merupakan sebuah kebijakan. Jokowi meninta agar dapat membedakan kebijakan dengan pelaksanaan

Menurut Jokowi, terkait kasus tersebut, harus dibedakan antara kebijakan BLBI dengan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

“Paling penting, bedakan mana kebijakan, mana pelaksanaan,” ujar Jokowi.

Kebijakan yang dimaksud, misalnya keputusan presiden, peraturan presiden dan instruksi presiden. Kebijakan, menurut Jokowi, dikeluarkan untuk mencari solusi dari suatu permasalahan.

“Kebijakan itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada,” ujar Jokowi.

Tapi, pelaksanaan kebijakan tersebut bisa saja melenceng dari tujuan kebijakan. Bahkan, bisa jadi pelaksanaannya melanggar hukum.

“Pelaksanannya itu wilayahnya beda lagi,” ujar Jokowi.

Jokowi enggan merinci apa maksud pernyataannya tersebut. Dia mengatakan, perkara tersebut merupakan wewenang KPK.

“Silakan tanyakan detail ke KPK,” tegas Jokowi.

Perkara korupsi BLBI berawal dari dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 oleh Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri.

Dalam catatan Presiden keempat Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 untuk memberikan jaminan hukum kepada debitur yang menyelesaikan kewajibannya membayar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Pada Desember 2002, Megawati menandatangani Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Dalam pertimbangannya, Inpres itu menyatakan hal itu berdasarkan pada Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS yang berbentuk Master of Settlement Agreement And Acquisition Agreement (MSAA); Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA); dan Perjanjian PKPS serta Pengakuan Utang.

Dalam Inpres tersebut, Megawati memerintahkan tujuh pejabat terkait untuk mengambil langkah yang diperlukan bagi PKPS dalam kasus BLBI. 

Mereka adalah Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian; Menteri Kehakiman dan HAM; para menteri anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan; Menteri Negara BUMN; Jaksa Agung; Kapolri; dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

?Kepada para debitur yang menyelesaikan kewajiban pemegang saham diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum,? demikian bunyi Inpres tersebut.

Kasus BLBI terjadi saat krisis moneter terjadi di Indonesia pada 1997?1998. Sejumlah bank memiliki saldo negatif akhirnya mengajukan permohonan likuiditas kepada BI saat itu, namun akhirnya diselewengkan. 

Total dana yang dikucurkan mencapai Rp144,53 triliun untuk sedikitnya 48 bank. Pada Januari 1998, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk untuk menagih kewajiban para obligor.

Pemerintahan itu merilis Surat Keterangan Lunas kepada sedikitnya lima obligor. Mereka adalah BCA (Salim Group); Bank Dagang Negara Indonesia (Sjamsul Nursalim); Bank Umum Nasional (Muhammad Bob Hasan); Bank Surya (Sudwikatmono); dan Bank Risjad Salim International (Ibrahim Risjad).

Sebelumnya, adik kandung Megawati, Rachmawati Soekarnoputri mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi BLBI, termasuk pihak yang menerbitkan SKL. Dia menuturkan tak hanya obligor, namun juga penerbit surat keterangan lunas tersebut.

?Tidak hanya kepada pelaku, obligor atau koruptor yang terlibat dalam skandal BLBI, tapi juga yang membuat kebijakan SKL atau release and discharge di era Megawati [Soekarnoputri],? kata Rachmawati pada Mei 2016.

Dengan adanya Inpres Megawati, Kejaksaaan Agung juga mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada sejumlah obligor, di antaranya adalah Sjamsul Nursalim. Sjamsul ditetapkan tersangka pada Desember 2000 dan SP3 dikeluarkan pada Juli 2004.

Berdasarkan Inpres itu, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada penerima (obligor) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Pengamat hukum Universitas Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan pesimis KPK bisa menuntaskan kasus BLBI yang sudah lama terkatung-katung ini. Menurutnya, tak mudah menuntaskan kasus ini. Pertama, pelaku kebijakan dalam kasus ini mungkin sudah lupa. Maklum waktu dari terbit Inpres sampai KPK menetapkan tersangka sudah hampir 13 tahun. “Memori orang kan ada batasnya juga. Mungkin ada yang masih ingat tapi lupa detailnya,” kata Agustinus, saat dikontak, kemarin.

Apakah KPK perlu memeriksa Megawati? Agustinus bilang, jika KPK membutuhkan keterangan Mega, KPK wajib memeriksa Ketum PDIP ini. “Namun, saya ragu apakah KPK berani memanggil Mega,” ucapnya.

Deputi Sekjen Fitra, Apung Widadi meminta agar KPK mengembangkan dan mengusut tuntas kasus ini, KPK harus memeriksa dan menjerat nama-nama obligor yang disebut dalam audit BPK.

Disebutnya, kasus BLBI merupakan kejahatan korupsi ekonomi yang luar biasa. Karena ini adalah kejahatan korupsi ekonomi yang luar biasa, sepakat kalau KPK menggunakan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pencucian uang.

Hasil kejahatan BLBI telah beranak pinak menjadi konglomerasi kuat di Indonesia. Hal ini terlihat dari audit BPK yang merinci 11 bentuk penyimpangan senilai Rp 84,842 triliun.

Apung memaparkan, penyimpangan yang ditemukan BPK di antaranya digunakannya BLBI untuk membayar atau melunasi modal pinjaman atau pinjaman subordinasi, pelunasan kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya; membayar kewajiban pihak terkait, transaksi surat berharga, kerugian karena kontrak derivatif dan lainnya. Tak hanya itu, audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menemukan 11 dugaan penyimpangan senilai Rp 54,561 triliun. 

Bahkan, katanya, temuan kerugian negara dan penyimpangan versi BPK dan BPKP ini akan menjadi lebih mencengangkan jika biaya penyehatan perbankan dari tahun 1997-2004 dihitung mencapai Rp 640,9 triliun.

Dalam menangani kasus-kasus besar, KPK kerap berhadapan dengan upaya kriminalisasi dan pelemahan. Untuk itu, dalam membongkar kasus BLBI, Presiden Jokowi diminta menjadi garda terdepan.

“Presiden Jokowi harus menjadi garda terdepan membongkar kejahatan ekonomi berupa korupsi BLBI agar KPK tidak dikriminalisasi lagi,” tegasnya.

Selain itu, Apung menambahkan, Presiden juga perlu melakukan diplomasi politik ekonomi kepada negara debitur. Diplomasi ini dilakukan untuk memutihkan dan menghapus pembayaran utang dan bunga BLBI yang mencapai Rp 7 triliun setiap tahun.

Dalam prosesnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggali kasus tersebut dengan memeriksa sejumlah saksi-saksi terkait kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Termasuk yang akan diperiksa adalah dua saksi yang sebelumnya belum memenuhi panggilan penyidik KPK. Yaitu, mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan pengusaha Artalyta Suryani.

KPK telah menjadwalkan kembali pemeriksaan terhadap saksi Rizal Ramli dan Artalita Suryani. Rizal seharusnya dimintai keterangan pada 17 April 2017 dan Artalita Suryani tanggal 25 April 2017. Namun keduanya tidak memenuhi panggilan KPK. 

'Kami akan melakukan penjadwalan juga pemanggilan ulang,' ujar Febri.

Selama proses penyidikan, lanjut Febri, KPK telah meminta keterangan terhadap 32 orang. Salah satunya yang saat ini telah dijadikan tersangka, yaitu mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung. 

“Unsur-unsur saksi yaitu dari pihak BPPN (Badan Penyehatan Penyehatan Nasional), KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan), Kemkeu, Bank Indonesia, dan pihak Sekretaris Negara,” pungkasnya.

Sebenarnya kasus SKL BLBI ini sudah masuk radar KPK pada masa kepemimpinan Abraham Samad. Namun, kasus tersebut terhenti. Padahal, Samad sempat menegaskan akan segera melakukan gelar perkara terkait kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Kasus itu, hingga saat ini masih berstatus penyelidikan. “Baru saja saya panggil penyelidiknya. Dalam waktu dekat, saya minta habis Lebaran sudah harus ekspose. Sudah lama itu,” kata Ketua KPK Abraham Samad Jumat 11 Juli 2014.

Abraham mengatakan pihaknya akan menuntaskan kasus BLBI. Dia berharap kasus ini bisa dituntaskan sebelum masa jabatan para pimpinan KPK berakhir.

“Karena tidak ada jaminan kalau kami selesai, pimpinan terpilih punya respons seperti kami, punya will seperti kami. Makanya, kami percepat semua,” ujarnya.

Saat disinggung, apakah KPK akan meminta keterangan Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Presiden ketika kasus itu muncul, Abraham mengatakan bahwa hal itu bisa saja dilakukan.

“Kami bakal panggil. Kami engga masalah itu. Kalau memang kita harus panggil Megawati itu. Karena, KPK tidak ada hambatan yang gitu-gitu,” katanya.

Dalam penyelidikan kasus ini, KPK telah meminta keterangan sejumlah mantan Menteri Koordinator Perekoniam, seperti Kwik Kian Gie (1999-2000), Rizal Ramli (2000-2001), dan Dorodjatun Kuntjoro Jakti (2001-2004). KPK juga memeriksa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), I Gde Putu Ary Suta.

Lalu, apakah kasus ini akan menyentuh Presiden Keempat Megawati Soekarnoputri? 

Hal tersebut dapat saja terjadi apabila KPK mempunyai bukti yang kuat guna menjerat Mega, kalau tidak ada ya seharusnya KPK perlu tegas ketidakterlibatan Megawati.

Di lain sisi Presiden Jokowi perlu mempunyai komitmen yang kuat apabila kasus yang dianggap hampir menjadi fosil ini, KPK mempunyai bukti.

Leave A Reply

Your email address will not be published.