Berita Nasional Terpercaya

Ingat, Jangan Intervensi Hakim!

0

JAKARTA, HarianBernas.com – Sepertinya hukum di Indonesia sudah mulai terganggu dengan kegiatan-kegiatan pengerahan massa. Hakim dianggap dapat diintervensi hanya bermodalkan gerakan massa. Padahal, hakim bekerja di bawah sumpah, dan independen.

Kalaupun ada hakim yang melanggar pertanggungjawabannya bukan hanya terhadap sanksi. Namun, hakim juga mempertanggujawabkannkeputusannya kepada Tuhan. 

Seperti yang diutarakan praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis akhirnya turun gunung. Ia melihat ada yang salah dalam proses hukum yang berjalan. Khususnya, munculnya gerakan massa yang dinilai intervensi putusan hakim.

Todung Mulya Lubis bersama sejumlah koleganya selaku alumni Harvard, Amerika Serikat, terpaksa menyerahkan petisi dukungan terhadap Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang terbelit perkara penistaan agama dan tak lama lagi bakal divonis.

Todung menyebutkan, keterpaksaan dirinya beserta 25 koleganya selaku inisiator petisi disebabkan keadaan yang sudah tak lagi normal dalam perkara Ahok.

Indikasinya sederhana yakni, adanya tekanan massa yang menuntut majelis hakim yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) untuk memvonis Ahok bersalah.

“Sebetulnya kami agak enggan awalnya untuk masuk dan memberikan petisi ini. Sebab kami tidak mau ditafsirkan mengintervensi. Tetapi peradilan kasus Basuki T Purnama sudah tidak normal karena begitu banyak tekanan,” ujarnya.

Todung menekankan, petisi terhadap perkara yang tengah berproses di persidangan sepatutnya tidak dapat dilakukan. Namun dalam perkara Ahok terdapat situasi yang jelas berbeda akibat adanya tekanan sekelompok massa yang terus memaksa agar terdakwa divonis bersalah.

Padahal, dalam perkara pokoknya jaksa penuntut umum tidak menyatakan Ahok terbukti menista agama.

“Ini alasan kenapa kami membuat petisi ini dan kami berharap ini bisa disampaikan kepada majelis hakim yang kebetulan juga Ketua PN,” bebernya.

Menurutnya, adanya serentetan aksi yang digelar sekelompok massa menjelang vonis Ahok, pada 9 Mei mendatang, bukan hanya bentuk intervensi terhadap peradilan namun mengancam demokrasi. Pihaknya tidak rela melihat hukum harus keok dari tekanan massa yang memaksakan kehendak.

“Kita tidak ingin pengadilan ini kalah dari intimidasi dan (ancaman) demokrasi,” kata dia.

Todung meminta masyarakat menunggu vonis dari majelis hakim. Putusan yang diinginkan berdasarkan fakta, alat bukti dan ketentuan hukum yang berlaku.

Dia menegaskan, aksi yang dilakukan bisa berpotensi menimbulkan tekanan bagi para majelis hakim, yang juga bisa merusak sistem peradilan di Indonesia.

Menurutnya, apa yang terjadi saat ini memang sudah banyak tekanan. Terlebih apa yang terjadi di media sosial sejak kasus dugaan penistaan agama bergulir di pengujung tahun lalu.

“Di media sosial ini, semuanya intimidasi. Seolah-olah pengadilan ini disuruh memutuskan bersalah,” ujarnya.

Dalam gerakan  massa Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI atau GNPF- MUI yang digelar sudah menjelma sebagai massa penekan hukum di Indonesia. Kalaupun sebelumnnya GNPF-MUI melakukan aksi agar Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Namun, lambat laun aksi tersebut dianggap berbau politis, di tengah Pilgub DKI Jakarta.

Setelah Ahok duduk sebagai terdakwa, massa tetap turun ke jalan. Kali ini, mereka bergerak dengan niatan penegak hukum mengambil keputusannya seperti diharapkan demonstran.

Apakah hal itu dianggap sebuah demokrasi bebas atau demokrasi kebablasan?

Setidaknya, dalam kurun waktu belakangan ini aksi massa menjadi bagian dari usaha mengubah persepsi hukum dalam hal ini peradilan, agar tuntutan dari majelis.hakim dapat sesuai tuntutan mereka. 

Salah satu yang lagi ramai yaitu pengerahan massa dalam proses peradilan.l dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Mereka mendesak agar Ahok dihukum berat. Tercatat sudah beberapa kali aksi serupa dilakukan terhitung sejak November 2016 lalu, hingga aksi 5-5-2017.

Penggagasnya masih sama dengan sebelumnya, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI dan sejumlah ormas Islam.

Aksi ini akan dimulai dengan melakukan longmarch dari Masjid Istiqlal menuju ke Gedung Mahkamah Agung (MA). Aksi yang dinamakan 'Aksi Simpatik Menjaga Independen Hakim' sekaligus untuk mengawal sidang vonis Ahok yang digelar 9 Mei mendatang.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga ingin aksi serupa tidak ada lagi di Jakarta. Sebab, pengerahan massa hanya akan mengganggu ketertiban publik.

“Sebetulnya itu saya pikir tidak perlu. Demo maupun aksi dalam jumlah yang besar karena pasti akan mengganggu ketertiban publik,” kata Tito.

Meski demikian, dia tak ingin dianggap menghambat kebebasan masyarakat menyampaikan pendapatnya. Asalkan, tidak mengganggu hak asasi orang lain, tidak boleh menghujat, terakhir harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa seperti yang tercantum dalam Pasal 6 UU nomor 9 tahun 1998.

Tito juga mengimbau bagi pihak-pihak yang tidak berkepentingan untuk tidak ikut serta dalam aksi tersebut. “Untuk itu yang tidak perlu tidak usah hadir. Kalau yang merasa perlu jangan mengganggu,” tegas Tito.

Mantan Kapolda Papua itu mengingatkan kepada seluruh pihak untuk tidak melakukan aksi yang terkesan mengintervensi kewenangan hakim.

“Dan yang penting sekali saya pikir demo hanya unjuk rasa, bukan menyampaikan tekanan kepada misalnya hakim dan lain-lain,” kata Tito.

Dikatakan jenderal bintang empat ini, hakim memiliki kewenangan dalam memutus sebuah perkara dan hal itu pun telah dijamin Undang-undang berdasarkan dua alat bukti yang kuat. Selain itu, hakim pun bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa setiap memutus sebuah perkara.

“Pertanggungjawaban hakim ya ke Tuhan Yang Maha Esa. Salah benarnya ke
Tuhan Yang Maha Kuasa,” ucap dia.

Namun berbeda dengan sikap dari politisi Partai Amanat Nasional atau PAN Taufik Kurniawan.

Wakil Ketua DPR menganggap, unjuk rasa merupakan salah satu bentuk masyarakat menyampaikan aspirasi di era reformasi. Ia menolak anggapan unjuk rasa GNPF MUI itu sebagai bentuk intervensi publik terhadap proses peradilan Ahok.

“Yang dimaksud intervensi (apa?). Kan tidak ada kekuatan apapun. Kecuali (demo itu hanya) aspirasi masyarakat,” ungkap Taufik.

Menurut Taufik, demonstrasi itu bertujuan agar proses peradilan terhadap Ahok berjalan secara adil, bijak dan tidak ada keberpihakan terhadap pihak manapun.

Untuk itu, dia meminta majelis hakim mempertimbangkan aspirasi para peserta aksi 5 Mei. 

“Tentunya kami berharap semoga Pak Hakim memenuhi aspek keadilan yang diharapkan dan dituntut oleh pengunjuk rasa besok,” tambah Taufik.

Taufik meminta semua pihak untuk menghargai pengunjuk rasa, karena unjuk rasa merupakan hak berdemokrasi.

Akan tetapi dia juga mengingatkan para pengunjuk rasa untuk melaksanakan haknya secara tertib, aman, lancar, dan damai.

Mabes Polri sendiri berharap aksi tersebut tidak mengintervensi hakim.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rikwanto mengingatkan para peserta aksi untuk tidak mengintervensi vonis hakim.

“Prinsipnya pengadilan itu independen, tidak boleh diintervensi. Demonstrasi juga perlu dibatasi,” kata Rikwanto.

Semua Terbuka

Terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama mengaku pasrah dengan aksi demonstrasi 5 Mei 2017.
Demo tersebut menuntut Ahok divonis lima tahun penjara.

“Ya, demo saja,” kata Ahok.

Ahok tidak mau mendahului putusan hakim. Ia menganggap vonis yang akan dijatuhkan terhadap dirinya menjadi kewenangan hakim meskipun akan berlangsung demo.

“Saya kira itu urusan hakim,” terangnya.

Menurut dia, keadilan terhadap dirinya bisa ditonton semua orang. Ia meminta keputusan hakim tidak diragukan.

“Salah enggak salah orang bisa tonton kok. Kenapa kita meragukan hakim?” Kata Ahok.

Diketahui Pengadilan Negeri Jakarta Utara bakal menggelar sidang vonis Basuki pada Selasa (9/5/2017).

Ahok dituntut satu tahun pidana dengan masa percobaan selama dua tahun. JPU menyatakan Ahok terbukti secara sah melanggar pasal 156 KUHP tentang penodaan agama.

Oleh jaksa Ahok dijerat dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Pasal 156a KUHP menyebutkan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Sementara menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal itu dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum.

Sementara itu, pendukung Ahok meminta majelis hakim membebaskan Ahok. Mereka menggunakan bunga sebagai mediasi dukungan terhadap Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Sejumlah karangan bunga meminta agar hakim membebaskan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menghiasi Balai Kota DKI Jakarta.

Ada sekitar 20 karangan bunga meminta bebaskan Ahok berada di halaman Balai Kota.

Karangan bunga tersebut menjadi perhatian sejumlah warga untuk berfoto. Adapun tulisan dalam karangan bunga tersebut: 

“Yang mulia bapak hakim, bapak Ahok tidak bersalah, mohon bebaskan. Bapak Ahok penista agama tidak terbukti”.

“Mohon Bebaskan Ahok Pak Hakim. Dari Rakyat Indonesia Cinta Damai”.

“Bebaskan Ahok Pak Hakim. Tegakkan Keadilan”. 

“Bebaskan Ahok. Tidak Terbukti Penista Agama. Mari Kita Hidup Dalam Damai.”

Minta KY Awasi

GNPF MUI sendiri telah meminta Komisi Yudisial (KY), memantau vonis persidangan Ahok.

Ketua GNPF MUI, Bachtiar Nasir mengatakan pertemuan mereka ke KY untuk meminta lembaga peradilan itu melakukan tugas dan fungsinya mengawasi putusan majelis hakim.

Terutama, kepada Majelis Hakim yang saat ini akan memutus perkara dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

“Kami datang ke sini untuk meminta kepada KY agar dapat melakukan tugas dan fungsinya secara baik ada persidangan putusan Ahok 9 Mei besok,” kata Bachtiar.

Selain itu, dirinya juga meminta kepada KY untuk menyampaikan kepada Majelis Hakim agar tetap independen dan memutus berdasar pada fakta persidangan.

Ketua KY, Aidil Fitriciada yang menemui rombongan GNPF MUI menyampaikan apresiasinya karena telah mengedepankan proses hukum dalam segala tuntutannya.

“Ini menjadi hal yang baik dan modal besar bangsa Indonesia apabila ummat muslim dapat mengedepankan proses hukum dalam segala perbuatannya,” pungkas dia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.