Berita Nasional Terpercaya

Kembali Membuka Tragedi Trisakti dan Semanggi 1 dan 2

0

JAKARTA, HarianBernas.com – Sudah 19 tahun kasus pelanggaran HAM berat Trisakti dan Semanggi satu belum menemui titik terang, siapa tokoh intelektual di balik peristiwa tersebut.

Bahkan, rekomendasi Komnas HAM sejak lebih kurang 10 tahun lalu, masih menjadi misteri. Siapakah dalang atau pihak yang paling bertanggungjawab, dalam kasus tertembaknya hingga menewaskan para mahasiswa pada kasus Trisaksi serta Semanggi satu dan Semanggi dua.

Komisioner Komnas Ham Nurcholis menyatakan, investigasi hingga penyelidikan Komnas HAM sudah sampai di tangan Kejaksaan Agung. Namun, belum ada titik terang kasus tersebut. Terutama, pucuk pimpinan yang bertanggung jawab.

“Kasus ini secara hukum menjadi lahan Kejaksaan Agung,” ujar Nurcholis.

Menurut Nurcholis yang sudah dua periode duduk sebagai komisioner Komnas HAM tersebut, hasil penyelidikan disimpulkan Tragedi Trisakti, Tragedi Satu, dan Semanggi Dua merupakan pelanggaran HAM berat.

“Indikatornya ada korban meninggal mahasiswa Universitas Trisakti, Semanggi satu dan dua. Ada juga pengerahan aparatur negara menghadapi aksi yang dilakukan mahasiswa. Kita temukan, kerahkan pasukan juga ada visum terkait penyebab kematian,” terangnya.

Dari visum itu sambungnya, ditelusuri peluru datang darimana, kemudian hubungan kehadiran pasukan. Dan nantinya dapat diketahui siapa aktor intelektualnya.” Siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban. Diurut struktur komando,” bebernya.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menambahkan, kasus Trisakti dan Semanggi satu dan dua dapat saja dibuka kembali oleh DPR, hal itu tergantung dari political will nya. Hal itu melihat komposisi fraksi di parlemen dan sikap pemerintah.

Masinton yang juga merasakan tragedi semanggi itu menerangkan, jalan politik pemerintah mengambil langkah non yudisial.

“Maka penyelesaian non yudisial komitmen dalam penyelesaian seperti membentur tembok,” jelasnya.

Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan, rekomendasi yang sudah dikerjakan Komnas HAM semuanya mentok di level penyidikan,” sesalnya.

Aktivis 98 itu menjelaskan, bukan hanya persoalan Semanggi dan Trisakti. Namun, juga kasus Kuda Tuli, penyelesaian yang tidak jelas.

Perlu Luruskan Sejarah

Masinton juga berharap pentingnya mendorong pelurusan sejarah agar ke depan sejarah yang bengkok, yang dituturkan ke generasi yang akan datang, peristiwa kelam seperti ini tidak terulang kembali.

Pelurusan sejarah sangat penting bagi bangsa. Hal itu dijelaskan Masinton supaya kita dapat jernih menatap masa depan. Juga tidak melihat lagi masa kelam bangsa Indonesia.

“Makanya penting mendorong proses pelurusan sejarah. Kita tidak lagi melihat siapa yang benar dan salah,” sebutnya.

Masinton berpandangan kalau penyelesaian melalui non yudisial seperti apa. “Kalaupun lewat yudisial, apabila presiden oke, tapi yang lain tidak oke akan dilematis. Tapi kita tidak boleh pesimis, entah selesai dengan cara apapun,” kilahnya.

Diputuskan Lewat Non Yudisial

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan pemerintah memutuskan untuk menyelesaikan kasus tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) 1998 secara nonyudisial. Alasannya, pencarian fakta, bukti, dan saksi sulit dilakukan.

“Sementara kita berkeinginan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat ini segera terselesaikan,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 1 Februari 2017.

Menurut dia, siapa pun yang menangani kasus ini akan kesulitan membawanya ke arah pendekatan yudisial. Sebab peristiwa ini sudah lama terjadi.

Prasetyo berujar pemerintah sudah berulang kali melakukan rapat membahas penyelesaian kasus ini. Keputusan penyelesaian secara nonyudisial diambil karena melihat dinamika saat ini. “Makanya Pak Menkopolhukam mengambil inisiatif,” ujarnya.

Menurut Prasetyo, penyelidikan terkait dengan pelanggaran HAM tetap dilakukan oleh Komisi Nasional HAM. “Kalaupun dilaksanakan ke penyidikan, jangan dipaksakan ke judicial bila ternyata hasilnya tidak maksimal,” tuturnya.

Sikap pemerintah ini dikecam oleh Human Rights Working Group (HRWG). Keputusan itu dianggap sebagai jalan pintas yang terburu-buru dan melupakan aspek keadilan yang seharusnya diterima oleh korban.

Untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk tragedi TSS, kata Hafiz, yang perlu ditegaskan adalah prinsip pengungkapan kebenaran oleh negara. Menurut dia, hal ini bukan sekadar pembuktian suatu peristiwa dan menghentikan beban sejarah bangsa. “Ini juga menjadi pelajaran bagi publik agar ke depan peristiwa serupa tidak terulang,” ucapnya.

Hafiz mengatakan proses tidak boleh langsung melompat ke nonyudisial. Namun, harus diungkap dulu kebenarannya. “Siapa melakukan apa, atas perintah siapa dan atas sebab apa? Siapa korbannya? Bagaimana gambaran utuh peristiwanya? Semuanya harus diungkap ke publik,” ujarnya.

Sejarah Kelam

Tragedi Semanggi merupakan kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.  Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I yang terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka.

Pada November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. 

Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.

Pada tanggal 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob, dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). 

Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dieaekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.

Esok harinya, Jumat-13 November 1998, mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari. Pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.

Mahasiswa Tertembak

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 15:00, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan.

Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.

Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan sekaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya.

Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang.

Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.

Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. 

Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.

Tragedi Semanggi Dua

Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB), yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer.

Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.

Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.