Berita Nasional Terpercaya

Misteri Raibnya Nama Besar

0

YOGYAKARTA, HarianBernas.com ? Sidang pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang digelar di Jakarta, Kamis (20/7) kemarin, menyisakan pertanyaan besar. Selain menghukum terdakwa I Irman, dan terdakwa II Sugiharto masing-masing dengan penjara tujuh dan lima tahun, majelis hakim juga menyebut sejumlah nama yang menerima aliran dana korupsi KTP-E. Anehnya, sejumlah nama tokoh-tokoh besar yang disebut dalam surat dakwaan jaksa yang dibacakan tanggal 22 Juni 2017, justru raib.

Sidang pengadilan Tipikor dengan majelis hakim yang terdiri dari Jhon Halasan Butarbutar, Frangki Tumbuwun, Emilia, Anwar dan Ansyori Saifudin itu menyebut terdakwa I Irman menerima uang 300 ribu dolar AS yang berasal dari Andi Agustinus alias Andi Narogong dan 200 ribu dolar AS dari terdakwa II. Kemudian terdakwa II Sugiharto menerima 30 ribu dolar AS dari Paulus Tannos dan uang 20 ribu dolar AS yang berasal dari Johanes Marliem yang sebagian uang dibelikan Honda Jazz seharga Rp150 juta.. Selain kedua terdakwa, masih ada pihak-pihak lain yang memperoleh keuntungan yaitu: Miryam S Haryani (1,2 juta dolar AS), Diah Angraini (500 ribu dolar AS), Markus Nari (400 ribu dolar AS atau Rp4 miliar), Ade Komarudin (100 ribu dolar AS), Hotma Sitompul (400 ribu dolar AS), Husni Fahmi (20 ribu dolar AS dan Rp30 juta), Drajat Wisnu (40 ribu dolar AS dan Rp25 juta), enam orang anggota panitia lelang masing-masing Rp10 juta, Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam dan Darma Mapangara selaku direksi PT LEN masing-masing Rp1 miliar dan untuk kepentingan “gathering” dan SBI sejumlah Rp1 miliar. Kemudian, beberapa anggota tim Fatmawati yaitu Jimmy Iskandar alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Kurniawan masing-masing Rp60 juta.

Pemerina aliran dana lainnya adalah Mahmud Toha (Rp30 juta), Manajemen bersama konsorsium PNRI Rp137,989 miliar, Perum PNRI Rp107,710 miliar, PT Sandipala Artha Putra Rp145,851 miliar, PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp148,863 miliar, PT LEN Industri Rp3,415 miliar, PT Sucofindo sejumlah Rp8,231 miliar, dan PT Quadra Solution Rp79 miliar.

Sementara jaksa penuntut umum dari KPK dalam tuntutan yang dibacakan pada hari Kamis, 22 Juni 2017, menyebut sejumlah nama orang-orang besar yang pernah memegang jabatan penting di negeri ini. Mereka diantaranya adalah Gamawan Fauzi (menerima USD 4,5 juta dan Rp 50 juta), Anas Urbaningrum (menerima USD 5,5 juta), Melcias Marchus Mekeng (USD 1,4 juta), Olly Dondokambey (USD 1,2 juta), Tamsil Linrung (USD 700 ribu), Mirwan Amir (USD 1,2 juta), Arief Wibowo (USD 108 ribu), Chaeruman Harahap (USD 584 ribu dan Rp 26 miliar), Ganjar Pranowo (USD 520 ribu), Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Banggar DPR (USD 1,047 juta), Mustoko Weni (USD 408 ribu), Ignatius Mulyono (USD 258 ribu), Taufik Effendi (USD 103 ribu), Teguh Djuwarno (USD 167 ribu), Markus Nari (Rp 4 miliar dan USD 13 ribu), Yasonna Laoly (USD 84 ribu), Khatibul Umam Wiranu (USD 400 ribu), M Jafar Hapsah (USD 100 ribu), dan Marzuki Ali (Rp 20 miliar).

Nama-nama yang disebut jaksa penuntut umum dari KPK tersebut sebagian besar adalah anggota DPR RI ketika proyek KTP-E ini sedang dirancang dan dilaksanakan. Sebagian diantara nama-nama yang disebut itu kini ada yang menjadi anggota kabinet, ada juga yang menjadi gubernur. Mereka adalah nama-nama besar di negeri ini yang tiba-tiba raib dalam vonis majelis halim Tipikor di Jakarta, Kamis (20/7) kemarin.

Mengapa nama orang-orang besar yang disebut jaksa penuntut umum tersebut tiba-tiba menghilang dalam putusan majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta? Menurut kriminolog Universitas Indonesia, Prof Mustofa Muhammad, di Indonesia ini kadang-kadang masyarakat tidak bisa memahami keputusan pengadilan. Hakim dalam memutus perkara hanya mengacu berdasarkan pada ketentuan KUHAP, bahwa hakim dalam menjatuhkan keputusannya hanya berdasarkan pada keyakinannya.. ?Secara akademik tidak pernah disebutkan alasannya mengapa. Ini masalah besar di Indonesia untuk memperoleh kepastian hukum. Tradisi berargumentasi yuridisnya lemah secara hukum,? kata Prof Mustofa Muhammad kepada Bernas yang menghubunginya dari Yogyakarta, Kamis (20/7) sore.

Alasan majelis hakim ketika mengambil kesimpulan bahwa yang terbukti hanya nama-nama tertentu, menurut Prof Mustofa, parameternya tidak pernah jelas. ?Kalau hukum dilihat sebagai ilmu, maka seharusnya kebenaran itu hanya satu. Namun, bagi orang hukum, susah memprediksi keyakinannya. Tidak ada patokan mana yang benar dan mana yang salah. Keputusannya amat sangat subyektif,? tandas Prof Mustofa.

Dalam praktiknya, lanjut Prof Mustofa, kepastian hukum tak bisa diharapkan karena hukum di Indonesia tak tampak sebagai ilmu. Yang tampak adalah argumentasinya. Itu sebabnya, pertimbangannya akan sangat subyektif.

?Susah mencari titik temu diantara para sarjana hukum. Harusnya, jika hukum dilihat sebagai ilmu, maka hanya akan ada satu kebenaran karena parameternya jelas dan ada alat ukurnya,? kata Prof Mustofa.

Sedangkan Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, menyatakan dalam praktik peradilan di Indonesia kadang apa yang disodorkan jaksa belum tentu digunakan oleh hakim. Sebab, hakim bisa menggunakan diskresi subyektifnya untuk mengambil sebuah keputusan.

Menurut Adnan, majelis hakim Tipikor Jakarta ketika menjatuhkan vonis terhadap Irman dan Sugiharto baru pada tahap pertama yang mewakili eksekutif di tingkat menengah. Majelis hakim masih belum menangani terdakwa dari kalangan eksekutif yang lebih tinggi dari kedua terdakwa tersebut.

?Ini rutenya masih sangat panjang, mengingat keterlibatan dari berbagai aktor besar. Pimpinan KPK memang masih menyisakan beberapa PR besar. Dari sisi teknis hukum apakah proses peradilan kemarin itu merupakan satu penyimpangan, kami belum bisa menilai,? kata Adnan saat dihubungi Bernas dari Yogyakarta, Kamis (20/7) sore.

Menjawab pertanyaan Bernas tentang nama-nama orang-orang besar yang menghilang dari vonis majelis hakim itu bisa diartikan sebagai tuduhan terhadap mereka menjadi gugur, Adnan tidak sependapat. ?Tidak bisa begitu. Proses menuntut dan mentersangkakan itu merupakan proses berbeda,? ujarnya.

Menurut Adnan, bisa saja nantinya nama-nama orang-orang besar itu akan menjadi terdakwa, tergantung pada alat bukti yang memadahi. ?Bisa saja terjadi. Itu wilayah yang sangat luas penafsirannya. Saya belum bisa mencurigai apakah pengadilan main-main. Sebab, pengadilan itu juga dikontrol ketat oleh publik dan media,? ujar Adnan.

Adnan kembali menegaskan, meski nama-nama orang-orang besar yang disebut jaksa itu tidak muncul dalam putusan majelis hakim Tipikor, karena yang menjadi terdakwa baru dua orang dari kalangan eksekutif kelas menengah. ?KPK bisa saja menggali data lagi untuk menyeret mereka,? kata Adnan.

Tentang modus korupsi KTP-E, Adnan menyatakan sebenarnya sama dengan kasus-kasus korupsi lainnya. ?Permainannya sebenarnya sederhana saja. Penggelembungan anggaran dilakukan sejak perencanaan. Lalu ada mediator yang menghubungkannya. Dari segi modus sebenarnya tidak ada yang baru. Yang ada adalah aktor baru yang mengikuti pola lama,? ujarnya.

Menjawab pertanyaan tentang langkah KPK yang tidak menjerat para terdakwa itu dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, menurut Adnan hal itu akan dilakukan KPK untuk tahap berikutnya. ?Itu sangat tergantung keterlibatan orangnya. Untuk terdakwa Irman dan Sugiharto, jerat pencucian uang tidak memadahi,? katanya.

Menurut Adnan, jerat UU Tindak Pidana Pencucian Uang baru akan dilakukan terhadap Setya Novanto setelah ditetapkan sebagai tersangka. Meski begitu, menurut Adnan, jerat UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang tidak bisa digunakan secara bersamaan. ?Kecuali KPK punya akses data yang memadahi,? ujarnya.(*/ant)

Leave A Reply

Your email address will not be published.