Berita Nasional Terpercaya

Bodhidharma dan Pikiran Pemula

0

HarianBernas.com – Pada tahun 527 semasa Dinasti Liang, ada seorang mahabhiksu India bernama Bodhidharma berlayar ke Tiongkok. Ia mendarat di Guangzhou pada tanggal 21 September. Kaisar yang berkuasa saat itu, Kaisar Wu, adalah pemeluk agama Buddha yang antusias. Ia suka mengenakan busana Buddhist, menyantap makanan vegetarian dan melantunkan liturgi Buddhist. Semasa pemerintahannya, agama Buddha berkembang luas di Tiongkok. Kaisar membangun banyak vihara dimana-mana serta menyiarkan agama Buddha hingga ke seluruh pelosok negeri.

Baca juga: Candi Jago, Candi Syiwa Budha yang Menyimpan Sejarah Panjang.

Pada tanggal 1 Oktober sang Kaisar mengundang Bodhidharma ke ibu kota di Nanjing, dan terjadi dialog sebagai berikut.

Kaisar Wu: “Selama ini saya telah banyak sekali membangun vihara besar serta pagoda, berdana, dan menyokong kehidupan para bhiksu dan bhiksuni, mencetak sangat banyak kitab-kitab suci, patung dan lukisan Buddhist, menolong orang miskin sampai tak terbatas jumlahnya. Jadi seberapa besarkah pahala dan kebajikan yang telah saya buat?”

Bodhidharma: “Semua itu tidak ada pahalanya atau kebajikannya apapun. Segala yang Anda lakukan cuma sebuah kesibukan duniawi yang tak bisa dipandang sebagai kebajikan sejati. Kebajikan sejati ada dalam kesadaran murni yang sempurna dan menakjubkan. Hakikatnya suwung. Anda takkan bisa mencapai kebajikan sejati itu dengan cara-cara duniawi.”

Kaisar Wu: “Kalau begitu, siapakah Anda yang berdiri di hadapan saya ini?”

Bodhidharma: “Tidak tahu.”

Antusiasme Kaisar Wu dalam menyiarkan agama Buddha, berdana, menyokong Sangha, menolong rakyat miskin, membangun tempat ibadah, itu sebenarnya jelas adalah sebuah kebajikan, akan tetapi Bodhidharma bermaksud membantu Kaisar untuk masuk ke level spiritual yang lebih mendalam.

Bodhidharma ingin membantu Kaisar Wu untuk melepas kemelekatan egoismenya terhadap subyek “aku” yang berdana, terhadap “tindakan” berdana, dan terhadap obyek “liyan” yang diberi dana. Untuk merealisasi bahwa pada hakikatnya aku, tindakan, dan liyan adalah suwung, sehingga kebajikan tersebut menjadi sempurna paramita karena bersih dari beban kemelekatan.

Baca juga: Candi Kalasan, Candi Budha dengan 52 Stupa.

Ini seperti yang kalau dalam bahasa Jawa disebut sebagai, “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Sebagaimana dalam sutra Mahayana dikatakan, “Kembangkan batin yang tidak melekat pada apapun, namun berfungsi dengan sempurna”.

Berikutnya, dengan bingung Kaisar mempertanyakan siapakah Anda yang berani menihilkan karya-karya besar Kaisar?

Bodhidharma menjawab, “Saya tidak tahu.”

Untuk kedua kalinya Kaisar tak mampu menangkap petunjuk Bodhidharma tentang “pikiran yang tidak tahu”.

Pikiran yang sadar “tidak tahu” adalah pikiran yang tidak dibebani oleh pengetahuan, konsep, wacana. Sebaliknya, pikiran yang rumangsa tahu itu tertutup oleh prasangka-prasangkanya sendiri. Prasangka-prasangka adalah data basi, tidak riil.

Pikiran yang tidak tahu sifatnya segar, membuka, selalu baru, luwes, sadar, penuh perhatian, ingin tahu. Dengan demikian tidak gentar dalam menjumpai hal-hal baru, tidak ketakutan atau benci terhadap yang asing, siap untuk belajar, berani berubah, tanpa beban melihat realitas secara riil, direct, dan di sini – sekarang.  Dalam tradisi Buddhisme ini disebut sebagai “pikiran pemula”.

Ini sejalan dengan nasehat bahasa Jawa, “Aja rumangsa bisa, nanging bisa a rumangsa” yang kurang lebih berarti: Janganlah sok merasa pandai, akan tetapi mampulah melihat atau menyadari keadaan obyektif diri sendiri.

Menyadari bahwa level batin Kaisar Wu tak mampu mencapai  pemahaman seperti itu, maka Bodhidharma pergi berlayar menyebrangi Sungai Yangtze pada tanggal 17 Oktober. Beliau sampai di biara Shaolin di Gunung Song dan menghabiskan waktu 9 tahun duduk bertapa dalam gua di balik bukit.  Beliau terkenal karena memperkenalkan yoga dan olah tubuh yang belakangan dikenal sebagai kungfu kepada para biarawan Shaolin guna meningkatkan kesehatan fisik dan mental mereka agar mampu bermeditasi secara lebih mendalam.

Bodhidharma dipandang sebagai sesepuh Buddhisme Chan Tiongkok pertama dan dikenal dengan nama Da Mo, di Jepang  sebagai Da Ru Ma, di Tibet sebagai Pha Dampa Sangye. Di Tiongkok beliau kadang dijuluki, “Bhiksu asing bermata biru.”

Sumber-sumber Tiongkok dan Jepang mengatakan bahwa Bodhidharma asalnya adalah seorang pangeran Persia atau mungkin perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Sumber India, tradisi Asia Tenggara dan Tibet lazimnya mengatakan bahwa ia adalah petapa suci berkulit hitam, asalnya adalah seorang pangeran Tamil, India Selatan, yang mengalami keterbangunan kundalini lalu melepas kehidupan istana dan menempuh kehidupan bhiksu.

Baca juga: Lima Stupa Kebudayaan Budha Terlantar di Boyolali.

Oleh: Agus Santoso

Ketua Majelis Budayana Indonesia DIY

Leave A Reply

Your email address will not be published.