Berita Nasional Terpercaya

Macao Po, Kawasan Bisnis Prostitusi Terpadu Pertama di Indonesia

0

Bernas.id – Jauh sebelum kawasan lokalisasi di Kalijodo hingga Gang Dolly berjaya hingga kini dimusnahkan oleh pemda setempat, Indonesia sudah memiliki sejarah panjang terkait bisnis prostitusi. Ada sebuah tempat yang berdiri di dekat Stasiun Beos di Jakarta yang dulunya adalah awal mula praktik pelacuran mulai didirikan di era kolonial.

Kalau kamu berkunjung ke sana, kamu masih bisa melihat sisa-sisa kejayaan tempat ini dari gedung-gedung tua yang masih kokoh berdiri di sana. Benar, di tempat itulah kawasan prostitusi ini berpusat. Nama tempatnya sendiri adalah Macao Po.

Tidak mudah menemukan catatan yang menyebutkan kapan tepatnya Macao Po didirikan. Beberapa sumber hanya menyebutkan bahwa rumah bordil pertama di Indonesia ini didirikan sekitar abad ke-17 di Jakarta atau yang dulunya kita kenal bernama Batavia. Lokasinya berada di depan Stasion Beos saat ini. Nama Macao Po sendiri merujuk pada para Pekerja Seks komersial (PSK) yang saat itu banyak didatangkan dari Makau, Hong Kong.

Kawasan pelacuran yang dikuasai oleh para germo dari Portugis dan Tiongkok ini awalnya bertujuan untuk menghibur para prajurit dan perwira Belanda yang berhasil menguasai Batavia serta para kapten dan letnan Tionghoa. Seiring perkembangannya, orang-orang berduit yang datang ke Batavia, entah itu untuk urusan bisnis atau lainnya, juga ikut mencicipi nikmatnya bisnis lendir ini.

Selain dekat dengan pusat perhotelan, Macao Po jaraknya juga tak jauh dengan tangsi militer milik Belanda, yakni di Binnenstadt, yang saat ini disebut Kota Tua. Sudah dapat ditebak, karena lokasinya yang berdekatan, banyak prajurit yang datang ke rumah bordil ini.

Kala itu orang Betawi tak kenal dengan istilah pelacur. Mereka menyebut wanita-wanita ini dengan sebutan cabo yang merupakan adaptasi pelacur dari bahasa Mandarin. Perlahan-lahan istilah ini diperhalus dengan sebutan Wanita Tuna Susila (WTS) dan saat ini kembali diganti dengan istilah Pekerja Seks Komersial (PSK).

Baca juga Inilah Fientje de Fenicks, Pelacur Era Kolonial yang Paling Legendaris

Para pemuda lokal atau saat itu Hindia Belanda, yang kepincut merasakan hangatnya mendekap pelacur mancanegara tersebut, hanya bisa menyaksikan mereka hilir mudik. Uniknya, musik keroncong yang saat itu tengah naik daun, dijadikan sebagai ?senjata? untuk menggoda para wanita ini. Mungkin sekadar mendapat senyum saja para pemuda ini sudah kegirangan.

Karena masyarakat kelas bawah juga ingin ikut merasakan seperti apa rasanya berkencan dengan PSK, muncullah komplek pelacuran baru yang terletak di Gang Mangga, yang berdekatan dengan Macao Po. Karena bisnis ini begitu menjamur tanpa diiringi kebersihan dan kesehatan yang terjamin, wajar kalau mereka yang pernah datang ke sini lantas keluar dengan membawa sifilis, penyakit kelamin yang populer pada waktu itu.

Kebersihan para PSK di tempat ini memang tak terurus. Belum lagi kebersihan para pelanggannya yang berasal dari kelas bawah. Sehingga, penyakit sifilis terus menjamur. Hal ini diperparah dengan sulit disembuhkannya penyakit ini, sebab kala itu antibiotik belum ditemukan. Maka istilah penyakit sifilis sering diganti dengan penyakit Gang Mangga. 

Leave A Reply

Your email address will not be published.