Gerakan Literasi Sekolah Meliterasikan Masyarakat
Bernas.id – Membaca buku bagi remaja kita, termasuk para peserta didik, sepertinya bukan sebuah kegiatan yang mengasyikkan. Sebaliknya, membaca buku seperti dianggap virus yang harus dihindari. Dari pengamatan sepintas, tampak bahwa aktivitas membaca buku masih jarang dilakukan oleh peserta didik di waktu senggang mereka, seperti ketika waktu jam kosong ataupun jeda waktu istirahat.
Waktu senggang lebih banyak digunakan untuk mengakses gawai daripada membaca buku. Selain itu, untuk mengerjakan tugas-tugas yang harus diselesaikan, mereka lebih banyak membuka internet dari handphone daripada mencari buku-buku literatur di perpustakaan. Lebih parah lagi, kondisi seperti ini ‘seolah-olah dibiasakan dan dikondisikan’ oleh guru-guru pengampu mata pelajaran dengan berbagai pembenaran, entah karena terbatasnya waktu, mengejar materi, lebih mudah dan alasan lainnya. Fenomena seperti ini tentunya tidak boleh dibiarkan.
Baca juga: Bagaimana Cara Membuat Teks Persuasif Sesuai Jenis dan Strukturnya?
Minat Baca Kita Terendah
Data menunjukkan bahwa minat membaca Bangsa Indonesia masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil studi yang dilakukan Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Di samping itu, menurut data UNESCO, minat baca bangsa Indonesia pun sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya setiap seribu orang, hanya satu orang yang mempunyai kebiasaan membaca. Kondisi memprihatinkan ini patut mendapat perhatian kita semua. Bangsa Indonesia yang sudah lebih dari tujuh dekade merdeka dari penjajahan, masih sangat jauh tertinggal dalam minat baca. Sungguh ironis.
Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah telah mencanangkan sebuah gerakan, yaitu Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan Literasi Sekolah dicanangkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 secara tersurat yang mengatur tentang GLS (Gerakan Literasi Sekolah). Pada bagian Pengembangan Potensi Peserta Didik Secara Utuh dikemukan kegiatan wajib yang harus dilakukan peserta didik, yaitu selama 15 menit pertama sebelum pelajaran peserta didik membaca buku nonpelajaran. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik.
Gerakan Literasi Sekolah yang diluncurkan Mendikbud tahun 2015 lalu tampaknya belum mampu memperlihatkan hasil yang memuaskan. Memang waktu dua tahun belumlah cukup untuk membiasakan membaca menjadi sebuah karakter apalagi menjadikan membaca sebagai sebuah budaya. Akan tetapi, melihat kondisi di lapangan, yang perkembangannya cenderung stagnan, bukan tidak mungkin gerakan ini hanya akan menjadi sebuah gerakan yang hangat-hangat tahi ayam, menjadi gerakan yang tidak akan bertahan lama, dan kemudian dilupakan. Cita-cita dan harapan menjadikan generasi muda kita adalah generasi yang literat, gemar membaca, berkarakter, dan berkepribadian Indonesia seperti yang didambakan oleh Gerakan Literasi ini dapat saja menjadi angan-angan yang terbang terbawa angin.
Baca juga: Teks Eksplanasi Adalah Kalimat Penjelasan, Benarkah? Ini Pengertian dan Ciri-cirinya!
Belum Maksimal
Dalam pelaksanaannya di sekolah-sekolah, kegiatan ini tidak hanya diaplikasikan dalam kegiatan membaca buku saja, namun peserta didik juga menuliskan hasil kegiatan membacanya ke dalam sebuah buku jurnal. Gerakan Literasi diharapkan tidak saja membiasakan membaca buku, namun peserta didik mampu menuangkan gagasan mereka dalam bentuk tulisan. Namun, pada kenyataannya pelaksanaan Gerakan Literasi di sekolah-sekolah tidak berjalan sebagai mana mestinya. Gerakan 15 menit membaca buku di kelas, tidak semuanya melakukan dengan konsisten. Tidak semua peserta didik membaca buku pada waktu yang ditentukan. Tidak semua guru mendampingi siswa membaca, bahkan ada banyak guru yang tidak membaca buku pada waktu 15 menit membaca. Waktu 15 menit membaca bahkan dijadikan penambahan jam mengajar mereka. Jika hal ini dibiarkan terus berlanjut, gerakan literasi akan hanya akan menjadi sebuah gerakan yang tidak berarti. Tujuan mulia yang ingin dicapai dalam gerakan ini menjadi sia-sia. Ujung-ujungnya akan menjadi bagian dari banyak program pemerintah yang hanya berjalan ketika program itu dicanangkan.
Sebagai sebuah gerakan, tentunya gerakan membaca buku bukan hanya dilaksanakan di sekolah-sekolah formal saja. Namun, juga menjadi gerakan yang memasyarakat. Artinya, pemerintah juga memperhatikan tingkat minat baca warga masyarakat. Pengadaan perpustakaan kelililing, penambahan armada perpustakaan keliling, penambahan layanan peminjaman buku yang di terjunkan langsung ke masyarakat pasti akan menarik perhatian dan meningkatkan minat baca warga masyarakat. Di samping itu, pemerintah juga melakukan pendampingan bagi penyedia perpustakaan swadana yang didirikan oleh masyarakat. Pemberian bantuan buku, pelatihan-pelatihan, dan seminar-seminar mengenai minat membaca dan peningkatan minat baca warga masyarakat tentu akan semakin meningkatkan ghirah membaca warga masyarakat.
Dalam memasyarakatkan gerakan membaca buku, pemerintah juga harus memperhatikan wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil di Nusantara ini. Menjadikan masyarakat yang melek membaca buku tentunya tidak hanya menjadi prioritas daerah-daerah yang dekat dengan ibu kota atau perkotaan saja, namun juga masyarakat yang ada di pelosok negeri ini. Gerakan literasi tidak akan bermakna jika hanya menyentuh sisi permukaannya saja. Gerakan ini hanya akan menjadi pohon yang mengering dan layu karena akarnya tidak menancap kuat di bumi Indonesia. Gerakan ini hanya akan menjadi slogan yang gaungnya semakin lirih terdengar. Namun, jika masyarakat yang terpencil dan tertinggal mendapatkan perhatian juga dalam hal peningkatan minat baca, lambat laun kebiasaan membaca ini pun tertanam di masyarakat. Melek membaca buku pun akan akan menjadi suatu kebiasaaan dan akhirnya akan tertanam budaya membaca. Memang diakui, masalah kondisi lingkungan, sarana dan prasarasa di daerah terpencil sering menjadi kendala utama untuk memasyarakatkan kebiasaan membaca. Akan tetapi, dengan kerja keras, kesungguhan hati, dan konsistensi para pemangku pemerintahan, tentunya menjadikan masyarakat Indonesia yang mempunyai minat tinggi membaca bukanlah hal mustahil.
Baca juga: Cara Menulis Kutipan Langsung dan Kutipan Tidak Langsung Lengkap
Meliterasi Masyarakat
Dengan langkah-langkah tersebut, gerakan literasi tidak hanya melibatkan peserta didik di sekolah-sekolah, tetapi juga menjadikan gerakan membaca buku sebagai gerakan meliterasikan masyarakat. Artinya, gerakan ini tidak hanya menekankan pada pembiasaan membaca buku bagi peserta didik, tetapi juga berdampak pada pembiasaan membaca buku pada masyarakat.
Gerakan literasi tidak hanya menjadi bagian kegiatan yang dilakukan di sekolah-sekolah formal, tetapi seharusnya diejawantahkan pula dalam sebuah gerakan yang melibatkan guru membaca, orang tua membaca, dan masyarakat membaca. Dengan gerakan ini seluruh elemen bangsa ini akan mempunyai kebiasaan membaca. Gerakan membaca dijadikan sebagai virus yang menebarkan manfaat dan menyebar ke seluruh lini bangsa. Membaca tentunya tidak akan menjadi virus harus yang dihindari lagi oleh anak bangsa kita, tetapi akan menjadi virus yang disebarluaskan.
Menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang literat, bangsa yang mencintai dan membaca buku, bangsa yang berkarakter, bangsa yang maju dan berbudaya tentunya bukan hanya mimpi di siang bolong. Mari kita wujudkan generasi berbudaya membaca. (Sri Sudiasih, SS, Guru SMAN 2 Bantul)
Baca juga: Tinjauan Pustaka: Pengertian, Manfaat, Cara Membuat, dan Contohnya