Berita Nasional Terpercaya

Budaya Literasi Tanamkan Budi Pekerti Anak

0

Bernas.id – Kata literasi, akhir-akhir ini sedang hangat menjadi bahan pembicaraan, khususnya di lingkungan pendidikan. Bahkan telah menjadi pembicaraan luas  para pemangku kepentingan, para pegamat, serta pemerhati masalah peendidikan, baik lokal maupun nasional. Literasi menjadi topik hangat sejak Menteri  Pendidikan, yang kala itu dijabat Anies Baswedan melucurkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Bagi sebagian kalangan, adaya GLS merupakan seberkas cahaya untuk membantu meningkatkan minat baca, khususnya di kalangan para pelajar, sehingga pada akhirnya membantu para pelajar mampu memilih dan memilah informasi, untuk dikelola  sebagai dasar berpikir dan bertindak dalam menyelesaikan permasalahan yang dihapinya. Dengan kata lain, para pelajar diajak untuk berpikir dan bertindak secara kritis dan cerdas dalam menyelesaikan pemasalahannya.

Setelah beberapa waktu program GLS ini berjalan, banyak pengamat mengatakan bahwa tingkat keberhasilannya belum sesuai harapan. Hal ini terlihat dari fakta menurunnnya intensitas pembicaraan literasi di kalangan  guru, baik di internal sekolah, maupun dalam pertemuan guru antarsekolah. Pembicaraan literasi sekarang ini hanya terbatas pada pertemuan formal seperti sosialisasi, pengimbasan dan sebagai materi dalam kegiatan pelatihan guru, tanpa ada tindak lanjut seperti yang diharapkan. Dari keyataan yang ada, maka timbullah pertanyaan  Mengapa Gerakan Literasi Sekolah belum berhasil? Padahal, kegiatan Literasi dapat membantu meningkatkan minat baca siswa, membantu guru dalam proses penanaman dan pemahaman kompetensi kepada para siswa sesuai tuntutan kurikulum. Inilah yang menjadi permasalahan mendasar yang perlu kita bahas bersama demi keberhasilan program GLS.

 Bila kita memaknai  literasi  adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis, maka menurut hemat saya ada tiga permasalahan yang tantangan  suksesnya kegiatan literasi di sekolah. Adapun ketiga tantangan  tersebut adalah Budaya Literasi, Bahan Literasi, dan Tindak Lanjut Kegiatan Literasi.

Budaya Literasi

Banyak kalangan yang mengatakan budaya literasi masyarakat kita rendah, masyarakat kita masih kental dengan budaya mendengar dalam memperoleh informasi. Menurut saya pendapat ini tidak seluruhnya benar, karena saya sering melihat banyak orang yang mencari informasi di papan-papan baca umum, siswa kita mencari informasi melalui internet untuk menyelesaikan tugasnya dan para mahasiswa mahasiswa membaca buku rujukan untuk menyelesaikan tugas akhir kuliahnya, serta masyarakat sekarang sedang demam media soasial. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai kegiatan membaca dan menulis.  Dengan demikian, kegiatan membaca dan menuklis sebenarnya masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat, Namun demikian bila kita merujuk pada pengertian literasi di atas, kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat belum sepenuhnya memenuhi sasaran kegiatan literasi. Mereka masih mengelola informasi untuk kepentingan sesaat, belum tumbuh kesadaran untuk mengelola informasi atau pengetahuan secara berkesinambungan. Maka tidak mengherankan bila hasil riset yang dilakukan PIRLS tahun 2011, Indonesia menenpati urutan keempat dari bawah dari 48 negera dan riset PISA tahun 2012, Indonesia menempati urutan kedua dari bawah  dari 65 negera dalam kegiatan berliterasi

Menurut pengamatan dan pengalaman saya, Budaya Lisan yang telah mengakar di masyarakat kita akibat dari faktor ekonomi. Waktu dan tenaga masyarakat lebih terfokus untuk bekerja. Sehingga mereka lebih memilih memperoleh informasi melalui media audio maupun audio visual. Hal ini dikarenakan mereka  bisa memperoleh informasi sambil bekerja. Maka tak mengherankan bila  informasi yang mereka pilih pun sesuai kebutuhan sesaat atau sedang aktual dan menghibur. Tujuan lain, dalam memilik topik informasi adalah  bila peramasalahan atau topik  aktual tersebut menjadi topik pembicaraan baik secara langsung maupun di media sosial, meereka dapat dengan bangga mengambil bagian, walau dengan keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimilikinya.  

Di samping itu, masyakarat masih menganggap membaca buku atau berliterasi merupakan kegiatan yang membuang-buang waktu, atau membaca buku merupakan pekerjaan orang yang mempunyai banyak waktu luang. Sehingga mereka lebih suka mendengarkan atau mendiakusikan topik dengan segala keterbatasannya. Karakter inilah yang dimanfaatkan oleh media sosial dan media lain untuk menyebarkan berita- atau informasi berdasar pandangan meraka, guna mancari dukungan kebenaran yang sebenarnya semu. Tidak mengherankan bila sekarang ini informasi abu-abu atau bahkan menyesatkan yang sering di sebut Hoax tumbuh dengan suburnya dalam berbagaai bidang kehidupan.

Bahan Literasi

Berbicara tentang bahan literasi, semua sepakat menyebut buku atau bahan bacaan. Hal ini dikarenakan buku atau bahan bacaan merupakan materi yang relatif paling mudah didapatkan dalam melaksanakan kegiatan literasi. Benarkah demikian ? Pertanyaan ini memang terasa aneh bagi siswa  yang tinggal di perkotaan atau yang mudah mengakses kedua materi literasi. Bagi siswa di sekolah perkotaan buku di perpustakaan atau bahan bacaan dapat diakses dengan mudah, bahkan berlebih. Namun bagai mana dengan sekolah di daerah pinggiran atau bahkan di daerah pedalaman ? Saya yakin rasio ketersediaan buku atau bahan bacaan tidaklah memadahi. Inilah salah satu kendala dalam program GLS.

Bila kita merunut pada tujuan umum literasi untuk menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Maka menurut hemat saya isi bahan bacaan harus dipilih, tidak hanya sekedar buku atau bahan bacaan. Dari tujuan umum, terdapat dua hal pokok yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menyediakan materi literasi, yaitu bahan bacaan yang dapat menumbuhkan budi pekerti dan bahan bacaan yang dapat merangsang siswa untuk terus belajar. Inilah yang menyulitkan, bahan bacaan yang dapat menumbuhkan nilai-nilai budi pekerti menutrut pengetaahuan saya,  adalah bahan bacaan sastra. Berbicara tentang buku sastra,   pertanyaan yang muncul adalah Sudah memadahikah Buku atau Bahan bacaan Sastra untuk mendukung GLS ?  dan Siapkan para siswa kita membaca buku satra ? Kedua pertanyaan di atas memang sulit dijawab dalam relita. Saya  khawatir,  kecemasan Taufiq Ismail dalam penelitiannya yang mewajibkan siswa membaca buku satra,  beberapa tahun yang lalu terulang kembali.

Bila kita mendasarkan pemilihan bahan bacaan yang dapat merangsang siswa untuk terus belajar, kita harus menyediakan materi literasi berdasarkan minat siswa atau hobi siswa. Saya yakin, siawa akan terus mencari informasi yang berkaitan dengan minat, hobi atau cita-cita mereka. Kita dapat melihat munculnya beberapa komunitas di lingkungan kita, yang dibentuk berdasarkan kesamaan hobi, cita-cita dan minat meraka. Dapat dibayangkan betapa sulit dan rumit untuk menyediakan materi seperti ini. Belum tentu buku atau bahan bacaan yang kita sediakan akan menarik minat mereka, dan selanjutnya mereka hanya menjalankan tugas yang dibebankan tanpa ada perubahan perilaku. Jika hal ini yang terjadi, maka saya cemas,  program literasi ini tidak jauh berbeda dengan program Pemberantasan Buta Akasara yang diselenggarakan pada masa Orde Baru, pada tahun 70-an hingga 90-an.

Tindak Lanjut Kegiatan Literasi

Esensi dari literasi itu sendiri yaitu memperoleh informasi inspriratif, yang mampu mengubah pandangan dan perilaku kita untuk menjadi lebih baik dalam menjalani kehidupan. Hal ini sejalan dengan pendapat Education Development Center bahwaLiterasi lebih sekedar kemampuan baca tulis, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan ketrampilan (skill) yang dimiliki dalam hidupnya.dengan  pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia. Pendapat tersebut sejalan dengan tujuan umum literasi, dimana muara dari kegitan ini menjadikan siswa sebagai pembelajar sepanjang hayat.  mengingat besatya cakupan yang harus ditangani dalam GLS, diperlukan pengelolaan yang cermat dan berkesinambungan. Di sinilah tantangan yang harus dihadapi sekolah. Memang pada tahap awal pelaksanaan GLS permasalahan pengelolaan pengelolaan belum memerlukan pengelolaan yang rumit. Karena saya yakin para guru mampu mendapingi siswa dalam menjalankan kuajiban membaca 15 menit beserta administrasinya. Di samping itu guru juga masih saya pandang mampu memberikan masukan dan revisi, ketika siswa mengkomunikasikan hasil membacanya.

Pemasalahan pengelolaan baru akan timbul manakala siswa mulai menghasilkan karya. Tidak semua guru mempunyai kemampuan untuk menilai karya ilmiah secara tepat dan cermat. Hal ini dikarenakan tidak semua guru pernah menghasilkan karya, sehingga akan mempengaruhi dalam menentukan dalam menentukan kelayakan karya siswa sebagai karya yang layak didokumentasikan. Di samping itu, pendokumentasian karya siswa juga menjadikan permasalahan tersendiri. Akan dikemakan karya siswa yang dianggap baik ?  Apakah apresiasi kita terhadap karya siswa yang dianggap baik cukup dengan memberikan sertifikat atau piagam penghargaan, bahwa siswa telah tuntas dalam melaksanakan tugas literasi selama menjadi siswa ? saya rasa kedua persoalan tersebut tidak mampu dipikul oleh sekolah dan perlu uluran pihak lain dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan hasil atau karya siswa.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan GLS banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk menghidupkan GLS secara layak, kita harus meminimalisir tantanngannya.  Bahkan jika mungkin, kita  menjadikan tantangan budaya literasi, bahan literasi, dan tindak lanjut kegiatan literasi di sekolah menjadi peluang untuk menggerakkan semua lini kehidupan untuk secara suka rela mendukung GLS. Dengan demikian kita dapat menempatkan Gerakan Literasi Sekolah  menjadi pangeran cahaya yang menerangi Pembudayaan Literasi yang berujung pada penanaman budi pekerti pada siswa. Pada akhirnya siswa kita mampu menunjukan pada dunia bahwa Indonesia merupakan bangsa yang besar berbasis budaya literasi, yang termanifestasi melalui perkataan, perilaku dan tindakan dalam semua aspek kehidupan. (*Penulis: Wahyu Busro Hartono, Guru SMAN 1 Dlingo)

Leave A Reply

Your email address will not be published.