Berita Nasional Terpercaya

Berdamai dengan Diri Sendiri untuk Musnahkan Trauma Masa Lalu

0

Bernas.id – Ferrel merupakan andalan semua orang pada perlombaan balapan mobil resmi yang diselenggarakan dengan dukungan banyak sponsor. Di sisi lain, Ferrel memiliki trauma balapan karena ayahnya meninggal ketika melakukan balapan dan ia hampir pernah mencelakai seseorang yang ia cintai ketika ia melakukan balapan di masa lalu. Akan tetapi, pada suatu kesempatan, ia ingin melawan rasa traumanya itu dengan melakukan balapan lagi.

?Ferrel! Sadar!? tukas Arella, berusaha mengambil alih pikiran Ferrel yang sepertinya campur aduk.

?Ferrel! Dengerin gue!? pinta Arella keras. Ia menggucangkan pipi Ferrel, berusaha mendapatkan pandangannya.

Tatapan Ferrel masih kosong. ?Gue gak bisa,? gumamnya. (Catastrophe, 2017:70)

Kutipan di atas adalah bagian dari novel Catastrophe (2017) karya Melanie Jung. Dalam kutipan tersebut, digambarkan ekspresi Ferrel Ghio Ravaro yang takut dan panik ketika akan melakukan balapan mobil bersama Arella Rabella sebagai pendampingnya. Ekspresi Ferrel saja sudah tidak menyakinkan bahwa ia mampu mengatasi hal tersebut. Mengapa trauma balapan malah dibalas dengan balapan lagi untuk menghilangkannya? Apakah trauma akan sesuatu hal mampu diatasi dengan melakukan hal yang sama?

Menurut Rindu dalam Surau Terakhir (2016:126), gejala trauma dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, memutar kembali peristiwa traumatis atau menghidupkan kembali peristiwa traumatis. Gejala ini sering menyebabkan seseorang kehilangan ?saat sekarang? dan bereaksi seolah-olah mereka mengalaminya seperti awal trauma terjadi. Kedua, menghindari segala sesuatu yang mengingatkan mereka kembali pada kejadian traumatis. Ketiga, seseorang yang mengalami trauma akan terlihat sangat cemas, mudah gelisah, terlihat terus-menerus waspada, dan mengalami kesulitan konsentrasi.

Pada peristiwa ini, Ferrel mengalami gejala pertama dan ketiga karena ia bereaksi seolah-olah ia akan mengalami kejadian yang pernah dialaminya di masa lalu dengan ekspresi yang cemas, gelisah, dan tidak bisa berkonsentrasi. Gejala kedua sama sekali tidak ditunjukkan pada peristiwa ini karena Ferrel berusaha untuk mengatasi atau memusnahkan trauma masa lalunya.

Menurut Condra Antoni dalam Wacana Ruang (2012:76), trauma adalah luka emosi, rohani, dan fisik yang disebabkan oleh keadaan yang mengancam diri kita. Ferrel diceritakan memiliki trauma dan ia ingin melawannya tanpa berpikir solusi lainnya. Ketika ia melawan trauma, berarti ia memaksakan dirinya untuk menghadapi peristiwa traumatis tersebut. Hal ini yang kemudian menimbulkan ekspresi trauma seperti yang telah ia rasakan sebelumnya. Menghadapi peristiwa yang menyebabkan trauma tanpa mengubah sudut pandang  terhadap peristiwa tersebut tentu berpeluang besar mengulangi peristiwa traumatis.

Berdamai dengan pikiran sendiri

Berbicara mengenai mengatasi trauma, Andrie Setiawan dalam Komunikasi Dahsyat dengan Hipnosis (2010:233) mengatakan bahwa untuk mengatasi trauma, seseorang tidak seharusnya melawan pikiran tentang trauma tersebut, melainkan berdamai dengan rasa takutnya sendiri.

Ketika Ferrel memiliki trauma dan ingin mengatasinya, ia bisa memulainya dengan berdamai dengan rasa takut atau pikirannya sendiri. Maksudnya, ia harus mengubah cara berpikirnya dengan berpikir bahwa kejadian traumatis tersebut tidak penting untuk ditakuti lagi.  Hal itu dikarenakan tidak ada gunanya takut terhadap hal-hal yang sudah terjadi di masa lampau. Ferrel seharusnya berpikir bahwa ia hidup di masa sekarang, bukan di masa lalu. Oleh karena itu, seharusnya ia memikirkan kehidupannya di masa sekarang dan di masa mendatang, bukan di masa lalu.

Untuk memaknai hal buruk yang menimpanya di masa lalu, Ferrel juga harus terus berpikir positif dalam menjalani hidupnya. Hal ini dikarenakan trauma terjadi akibat dari pikiran negatif seseorang terhadap suatu hal di masa lalu.  

Dr. Ibrahim Elfiky dalam Terapi Berpikir Positif (2009:207) mengatakan bahwa berpikir positif adalah sumber kekuatan dan sumber kebebasan. Berpikir positif disebut sumber kekuatan karena berpikir positif membantu seseorang memikirkan solusi sampai mendapatkannya. Oleh karena itu, kita bertambah mahir, percaya, dan kuat. Berpikir positif disebut sumber kebebasan karena dengan berpikir positif seseorang akan terbebas dari penderitaan dan kungkungan pikiran negatif serta pengaruhnya pada fisik.

Ferrel ternyata tidak bisa mengatasi masa lalunya. Ia mencoba melawan rasa traumanya itu, tetapi tidak berhasil karena ia tidak mencoba untuk mengubah pola pikirnya terhadap hal yang menimpanya di masa lalu.  Jika Ferrel tidak bisa mengatasi rasa traumanya itu, ia sendirilah yang akan dirugikan karena sesungguhnya mengendarai mobil di arena balapan adalah kemampuannya. 

Ferrel seharus berpikir positif adalah sumber kekuatan. Ketika Ferrel berpikir positif, ia menyadari kemampuannya. Kemampuannya dalam balapan menjadi sumber kekuatan dirinya. Tentu saja kemampuan itu bisa ia gunakan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Misalnya, uang dan kehormatan sebagai pemenang perlombaan balapan. Ferrel seharusnya berpikir positif  adalah sumber kebebasan sehingga ia terbebas dari trauma masa lalu. Jika Ferrel selalu terbayang-bayang oleh masa lalunya itu, ia tidak akan bisa mengembangkan kemampuan yang dimilikinya tersebut. Dengan kata lain, seharusnya Ferrel tidak membiarkan rasa traumanya itu menghambat perkembangan dirinya.

Sensitivitas antaretnis akibat trauma masa lalu

Di dalam kehidupan sehari-hari, seseorang bisa melihat perwujudan dari trauma masa lalu yang beraneka ragam dan tentunya merugikan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Salah satu bentuk trauma yang dapat ditemui di sekitar masyarakat Indonesia adalah sentimen antaretnis akibat trauma masa lalu. Bangsa Tionghoa menjadi takut dan ?enggan? untuk berhubungan dengan bangsa ?pribumi? dikarenakan masa lalu kelam yang dialami mereka. Masa lalu kelam tersebut tidak lain adalah perlakuan bangsa ?pribumi? terhadap bangsa Tionghoa ketika kerusuhan Mei 1998 karena sensitivitas bangsa pribumi terhadap bangsa Tionghoa kala itu.

Menurut Ubed Abdilah dalam Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas (2002:108), pribumi mengacu pada orang atau kelompok yang mengklaim diri sebagai penduduk asli suatu daerah atau wilayah tertentu dan pribumisme akan menjadi suatu sentimen golongan yang akan mengental ketika faktor migrasi dan orang-orang migran mulai menyisihkan orang-orang pribumi dari berbagai sektor kehidupannya. Menurut sejarah, bangsa Indonesia sendiri bukanlah penduduk asli kepulauan Nusantara ini. Mereka datang dari Yunan secara bergelombang dalam dua fase, yaitu sekitar tahun 2000 SM ( gelombang Melayu Tua) dan sekitar tahun 500 SM- 300 SM (gelombang Melayu Muda). Oleh karena itu, setiap orang di Indonesia seharusnya tidak ada yang berpikir bahwa hanya dirinya atau kelompoknya yang paling berhak untuk berada di Indonesia ini. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa dirinya atau kelompoknya itu adalah penduduk asli Indonesia yang akhirnya memperlihatkan sensitivitasnya terhadap kelompok atau etnis lain. Akan tetapi, setiap orang yang berada di Indonesia, apapun latar belakangnya, seharusnya selalu bersatu untuk mewujudkan negara Indonesia yang maju, bukan saling menimbulkan konflik dan masalah yang dapat menimbulkan trauma di masa mendatang.

Meskipun masalah pada kerusuhan Mei 1998 tersebut sudah dapat teratasi, hal ini masih menimbulkan luka batin atau trauma di kalangan etnis Tionghoa. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Setiap orang juga diajarkan untuk saling memaafkan dan mengambil hikmah atas setiap hal buruk yang terjadi di masa lalu. Menurut Moch. Fakhruroji dalam Total Forgiveness (2008:150), memaafkan adalah membebaskan diri dari rasa amarah yang menggantung dalam dada kita, memaafkan juga membebaskan orang lain dari derita rasa bersalah. Oleh karena itu, trauma yang masih melekat di kalangan etnis Tionghoa akibat kejadian tersebut sebaiknya dihilangkan dengan cara memaafkan dengan ikhlas dan tetap berpikir positif.

Trauma masa lalu bagi bangsa Indonesia sebelumnya juga pernah dialami pada masa kolonialisme. Bangsa Indonesia telah dijajah oleh berbagai etnis, baik bangsa barat (Eropa) maupun bangsa timur (Asia). Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka, hubungan Indonesia dengan bangsa-bangsa tersebut membaik. Bangsa Indonesia tidak hanya merdeka dari penjajahan dan memperoleh kedaulatan atas dirinya sendiri, tetapi juga merdeka dari pikiran yang membelenggu akibat trauma pada masa penjajahan. Bangsa Indonesia telah merdeka dengan berpikir positif atas trauma penjajahan dan siap menata masa depannya dengan baik. Begitu pula dalam mengatasi sensitivitas antaretnis akibat trauma masa lalu, sebaiknya setiap orang memerdekakan pikirannya dengan berpikir positif satu sama lain sehingga tercipta hubungan yang damai dan pada akhirnya akan mengembangkan bangsa Indonesia.

Sebagai bangsa Indonesia, setiap orang di bumi Indonesia ini harus bersatu untuk membangun bangsa Indonesia. Semua sensitivitas antaretnis harus ditiadakan. Persatuan Indonesia seperti yang terdapat di dalam isi Pancasila sila ke-3 harus ditegakkan. Setiap orang harus berpikir bahwa setiap orang yang ditemuinya merupakan suatu kesatuan bersama dirinya, yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu, semua orang yang ada di Indonesia harus bersama-sama saling membangun bangsa ini dan mengambil hikmah dari kejadian di masa lampau untuk mencapai kesejahteraan bangsa. Trauma masa lalu harus dimusnahkan dan dijadikan pelajaran di masa mendatang untuk diperbaiki.  Setiap orang di Indonesia tidak boleh menyimpan trauma masa lalu karena itu akan memecah belah bangsa kita.

Reflektif kehidupan

Ferrel yang memiliki trauma seharusnya dapat mengatasinya dengan berdamai dengan pikirannya sendiri. Ia tidak boleh melawan rasa traumanya itu tanpa mengubah sudut pandangnya terhadap kejadian buruk yang menimpanya di masa lalu. Ia harus mengubah pola pikirnya dengan berpikir bahwa kejadian buruk di masa lalunya tidak penting untuk ditakuti lagi karena hanya akan menghambat kehidupannya di masa mendatang.

Untuk mengatasi trauma, Ferrel juga harus selalu berpikir positif agar semua pikiran negatif yang dapat menimbulkan trauma akan hilang. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada dengan membiarkan trauma masa lalunya menghambat segala kesempatannya. Masa lalu yang kurang baik seharusnya ia jadikan pelajaran untuk diperbaiki di masa mendatang, bukan untuk ditakuti dan diingat-ingat. Pada intinya, Ferrel harus mengatasi traumanya dengan selalu berpikir positif dan mengambil pelajaran dari kejadian yang menimpanya di masa lalu agar ia bisa mengembangkan dirinya dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

Begitu pula dengan bangsa Indonesia, setiap orang yang ada di Indonesia seharusnya tidak menyimpan trauma masa lalu dan terus berpikir positif untuk memajukkan negara ini. Sensitivitas antaretnis akibat trauma masa lalu harus dimusnahkan karena akan memicu perpecahan. Masa lalu kelam yang dilalui bangsa Indonesia seharusnya dijadikan pelajaran berharga di masa mendatang untuk diperbaiki sehingga tercipta bangsa Indonesia yang damai. Keberagaman etnis yang ada di Indonesia seharusnya dapat saling melengkapi untuk membangun bangsa Indonesia, bukan sebagai alat untuk memicu konflik dan perpecahan. (*Penulis: Natasya Emerald, Siswa SMAK PENABUR Harapan Indah)

 

Daftar Pustaka

Abdilah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: IndonesiaTera

Antoni, Condra. 2012. Wacana Ruang. Yogyakarta:CV Andi Offset.

Elfiky, Ibrahim. 2009. Terapi Berpikir Positif. Jakarta: Penerbit Zaman.

Fakhruroji, Moch. 2008. Total Forgiveness. Bandung:  Mizan Publika.

Jung, Melanie. 2017. Catastrophe. Bogor: Kubusmedia.

Rindu. 2016. Surau Terakhir. Jakarta: ACT.

Setiawan, Andrie. 2010. Komunikasi Dahsyat dengan Hipnosis. Jakarta: Visimedia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.