Berita Nasional Terpercaya

“Aku Melawan Lupa”, Antologi Puisi yang Ceritakan Tanah Papua

0

Bernas.id – Banyak orang pasti akan mengernyitkan dahi ketika diminta untuk menyebutkan nama sepuluh sastrawan/penyair dari wilayah timur Indonesia. Beberapa nama mungkin bisa tersebut, tetapi pasti akan segera berhenti sebelum mencapai nomor sepuluh. Tentu, akan lebih mudah menjawab nama-nama penyair dari daerah barat Indonesia seperti dari Sumatra atau Jawa, yang jumlahnya pasti lebih banyak.

Baca juga: Contoh Paragraf Induktif, Deduktif, Campuran, dan Ineratif

Antologi puisi milik W Yuventus Opki ini menjadi oase yang istimewa di tengah rumor lesunya dunia puisi Indonesia, khususnya dari Indonesia bagian timur. Antologi puisi ini berjudul Aku Melawan Lupa. Sampul bukunya yang berwarna merah dengan gambar telapak tangan ini telah mencuri perhatian banyak orang karena tipe font dan gaya tulisannya identik dengan pamflet-pamflet perlawanan yang banyak bermunculan akhir-akhir ini.

Lewat sampulnya, tak dipungkiri, buku ini memang menempatkan dirinya sebagai puisi perlawanan. Menegaskan posisinya secara jelas di tengah buku-buku puisi yang ramai membahas betapa pedihnya percintaan, keterasingan, dan kecemasan-kecemasan yang tidak jelas juntrungnya.

Ada 52 puisi di dalam antologi ini. Semuanya membahas mengenai beragam ketidakadilan yang terjadi di Papua. Sebagai penduduk asli Kabupaten Pegunungan Bintang, penyair mengungkapkan apa yang dia lihat, terlebih alami, lewat baris-baris puisi yang tajam. Isi dari buku layaknya catatan harian yang tidak kehilangan segi estetisnya sebagai puisi. Padahal, dalam beberapa larik tersimpan energi besar yang menyerukan perlawanan hingga yang bernada tantangan.

            “Kau datang, duniaku lahir nyanyian duka/

            Lupakanlah dunia balas-dendam, ciptakan rasa manusia/

            Karena di sini masih ada kematian//”

            (Kehancuran)

Dalam beberapa larik di atas terlihat bagaimana penyair ingin menunjukan bahwa metafora dan berbagai gaya bahasa tidak cukup untuk membungkus perasaannya akan ketidakadilan yang terus terjadi. Hal ini bukan berarti menghilangkan kenyataan bahwa karya penulis tetaplah sebuah puisi. Tentu pembaca perlu menghilangkan sejenak bahwa puisi melulu berbunga-bunga dan penuh ketidakterusterangan. Puisi Opki sekali lagi menjadi oase di tengah literasi puisi yang mungkin mulai membosankan.

Baca juga: Bagaimana Cara Membuat Teks Persuasif Sesuai Jenis dan Strukturnya?

Kita tentu sepakat bahwa bingkai pemberitaan media kita masih sangat Jawasentris, atau lebih ekstrem Jakartasentris. Media massa masih minim menyediakan porsi khusus untuk daerah-daerah seperti pelosok-pelosok Papua, kecuali mungkin urusan pariwisatanya. Peran media sebagai ‘anjing pengawas’ ini yang coba digantikan oleh Opki lewat puisi-puisinya dalam antologi “Aku Melawan Lupa”.

Dalam kata pengantarnya, Opki dengan jelas menyatakan kredo kepenyairannya. Beberapa nama yang dicatut, ikut mengompori Opki selama proses kreatifnya. Salah satunya adalah Paulo Freire asal Amerika Latin yang mendedikasikan hidupnya melawan penindasan. Dari dalam negeri nama-nama seperti Seno Gumira Ajidarma dan Wiji Thukul membakar semangat Opki untuk menerbitkan buku puisi pertamanya ini.

Membaca antologi Aku Melawan Lupa milik Opki memberikan sudut pandang baru tentang cara kita melihat Papua. Pun, Anda harus siap dengan gagasan-gagasan baru yang ditawarkan dalam puisi-puisi di dalamnya. Membekali diri dengan pikiran terbuka akan membantu pembaca memahami apa yang terjadi di sana. Sekurang-kurangnya, Anda dapat memetik pelajaran bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Atau, jika Anda ingin merasakan kegelisahan Opki, beberapa larik dari puisi “Larang” dapat menjelaskannya.

            “Semuanya aku dilarang/

            Kehendaknya aku harus mati/

            Dari tanahku sendiri//”

Karya puisi dalam antologi ini sekurang-kurangnya dapat memperpanjang napas perlawanan yang ada di tempat tinggal penulis. Setidaknya menjadi bahan bakar baru untuk terus melanjutkan perjuangan. Buku ini dapat menjadi contoh bahwa perlawanan dapat dilakukan dalam berbagai cara. Salah satunya menulis puisi. (*Penulis: Agustinus Rangga Respati, Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma)

Baca juga:

Leave A Reply

Your email address will not be published.