Berita Nasional Terpercaya

Direktur Binmas Polda DIY Paparkan Faktor-faktor yang Pengaruhi Kebhinekaan NKRI

0

Bernas.id – Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) mengadakan Seminar Kebangsaan bertajuk ?Menjaga Keutuhan NKRI dari Radikalisme dan Politisasi Agama di Gedung Teatrikal Fakultas Dakwah. Latar belakang diadakan seminar ini karena di masyarakat muncul potensi konflik horizontal semakin menguat jelang tahun politik, Selasa 24 April 2018.

Salah satu pemateri, Kombes Pol Rudi Heru SH MH, Direktur Binmas Polda DIY menceritakan tentang pengalaman menariknya. ?Saya punya pengalaman menarik, saya pernah dinas di daerah yang tidak enak, yaitu di daerah Maluku yang kebetulan pas konflik pertama dan kedua. Tahun 1999 adalah konflik yang pertama. Konon ceritanya, Ambon akan dicoba diadu domba berkaitan tentang suku, tetapi rupanya diadu dengan suku tidak mempan karena di sana tua-tua adat/agama memegang peranan yang sangat penting. Namun, pada saat itu, diadu domba dengan kaitannya agama. Itu panjang ceritanya, tidak selesai-selesai,? bebernya.

Diceritakan Kombes Pol Rudi Heru, ada sepuluh negara yang terhebat dan ternyaman, di antaranya Islandia, Denmark, Austria, Selandia Baru, Australia, dan Jepang. ?Kenapa negara hebat dan ternyaman, di sana ruang tahanannya hampir tidak ada orangnya, bagaimana di Indonesia, over,? jelasnya.

Kemudian di sana, lanjut cerita Kombes Pol Rudi Heru, kepatuhan hukumnya sangat bagus. Tahanannyan tidak ada karena menghargai hukum. ?Ada satu dari negara tersebut, lima puluh persen warga negaranya sarjana, tidak ada buta huruf. Itu berdasarkan penelitian badan internasional setiap tahunnya, kesehatannya bagus, tidak bayar. Demokrasinya bagus, tidak pernah konflik, tidak pernah membedakan agama. Indonesia bagaimana,  rangkingnya menduduki angka 125 dari 197 negara. Jadi, kondisinya Indonesia seperti itu,? paparnya.

Untuk faktor yang memengaruhi kebhinekaan Indonesia, Kombes Pol Rudi Heru menyebut bahwa di era mahasiswa demontrasi dan era turunnya Presiden Soeharto, demokrasi dan demografi Indonesia seperti sebuah piramida yang di atas runcing, makin ke bawah makin melebar. “Gambarannya begini, saat ini Indonesia, yang runcing (Upper Class) kebutuhan pendidikan bagus, sandang pangan bagus, tidur nyenyak, sejahtera. Itu ada di kerucut, jumlahnya cuma sedikit, kecil,? jelasnya. 

Lanjut Kombes Pol Rudi Heru, makin ke bawah, disebut dengan Middle Class. ?Itu agak gede sedikit. Jumlahnya sedikit, bisa dihitung dengan angka. Yang paling bawah di piramida adalah Lower Class, diduduki masyarakat yang pendidikannya rendah, miskin, kurang sandang pangan. Kiranya, kalau era demokrasi sekarang, dikasih uang dua puluh ribu, kamu bakar itu mobil polisi, langsung siap saya bakar Pak! Tambahin lima puluh Pak, kantor polsek saya bakar Pak! Sebuah gambaran karena masyarakat lebih banyak yang Lower Class,? tuturnya.

Yang kita inginkan, menurut Kombes Pol Rudi Heru adalah kondisi yang Upper Classnya tidak terlalu besar, tapi Middle Class cukup gemuk, dan Lower Class sedikit. ?Itu akan memengaruhi kebhinekaan di samping faktor eksternal, misal ISIS yang teriak keras,? imbuhnya.

Kombes Pol Rudi Heru menceritakan kilas balik setelah Perang Dingin. ?Pasca perang dingin, Afghanistan diduduki Uni Soviet, lalu Amerika melakukan kontra dengan melakukan proxy war, istilah Jawanya mudah, nabok nyilih tangan. Didengungkan oleh Amerika bahwa di sana kaum muslimin di Afghanistan dijajah oleh Uni Soviet. Akhirnya kaum Mujahidin siap berperang dengan Uni Soviet. Amerika tinggal mengirim intelijen, memberikan alat dan peluru. Uni Soviet ketakutan dan kabur. Mujahidin di Afganistan karena menang mengembangkan sayapnya, membesar terus membesar, lama-lama Mujahidin keluar dari jalur akidah yang benar. Mengembangkan sayap sampai ke Filipina dan Indonesia, di Palu, Sulawesi Tengah, yang namanya Santoso Cs,? urainya panjang.

Dikatakan Kombes Pol Rudi, sekarang ini kalau melakukan kegiatan radikalisme secara organisasi akan mudah diketahui karena intelijen kita kuat. ?Yang paling susah itu Lone Wolf, dia belajar sendiri dari internet, kemudian menjadi radikal, dia masuk masjid seperti di Jakarta, ada anggota brimob yang setelah selesai sholat ditikam. Setelah masuk di kosnya, laptopnya dibuka isinya adalah lone wolf. Dia belajar terorisme melalui internet, melalui jaringan Bahrun Naim, yang menyebarkan konten-konten radikal melalui internet dan medsos,? imbuhnya.

Ditegaskan Kombes Pol Rudi Heru, media social (medsos) sangat berperan penting dalam merusak NKRI. ?Hati-hati bermedsos. Hati-hati dalam lima tahun ke depan, sel tahanan akan lebih banyak tahanan berkaitan dengan undang-undang ITE daripada kejahatan narkotika. Setelah muncul perbedaan persepsi yang cukup besar terjadilah konflik-konflik horisontal yang awalnya didasari dari medsos. Anda kenal namanya Saracen. Itu siapa yang mau beli, buat proposal mau jelekan siapa, sini bayar, tak jelek-jelekin. Tantangan NKRI banyak, salah satunya kebebasan medsos, yang hoaks, bohong atau palsu,? ucapnya. (Jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.