Berita Nasional Terpercaya

Kepompong Besi, Hasil Pencarian Jati Diri Pelukis Afganishtan Amin Taasha

0

Bernas.idIron Cocoon, atau Kepompong Besi, itulah judul pameran seni lukis yang digelar oleh Amin Taasha, seorang mahasiswa ISI Jogja yang berasal dari Afganishtan. Pameran yang diadakan di Gallery Fadjar Sidik ISI Jogja ini tergolong unik dan menarik, karena menghadirkan 20 karya lukis Amin yang berasal dari pencarian jati dirinya sebagai pribadi yang kompleks dan multi budaya.

Dalam karya-karya yang dipamerkannya, Amin banyak menggunakan tinta hitam khas Asia Timur, dengan banyak gambar patung Buddha yang terpotong kepalanya. Ini adalah bentuk ekspresi pengalaman masa lalunya yang tumbuh besar di Bamiyan, Afganishtan, di mana tahun 2001, Taliban menghancurkan patung Buddha terbesar di dunia yang ada di sana. Pengalaman itu juga ia ungkapkan lewat karya tambahan sebuah instalasi sebuah patung Buddha tanpa kepala, di mana di depannya diputar film dokumenter tentang Afganishtan di masa Taliban.

“Saya ingin menceritakan kesamaan dan perbedaan budaya Indonesia dan Afganishtan, dua kebudayaan besar yang mempengaruhi kehidupan saya,” kata Amin dalam pembukaan pameran, Selasa (22/5/2018).

Ia mengungkapkan, dalam peradaban manusia, seni dan sejarah berperan sangat penting. Lewat karya-karyanya, Amin juga ingin membawa misi perdamaian dunia, karena semasa kecilnya ia sudah hidup di kawasan yang rentan dengan konfilk religio-politik, di mana rezim Taliban waktu itu berusaha menghapus bukti kejayaan sejarah Buddhis di Afganishtan.

“Kita harus jaga sejarah kita, karena itu yang paling penting. tanpa sejarah kita tidak bisa tumbuh. Seperti kepompong kalau dari besi tentunya kuat, dan ulat di dalamnya bisa tumbuh menjadi kupu-kupu yang cantik,” kata Amin yang tinggal di Jogja sejak 2014.

Mikke Susanto seorang kurator yang bertindak selaku penulis pameran ini menerangkan,  Amin Taasha adalah pribadi yang hibrid, unik, dan mencerminkan penduduk dunia yang mencerminkan berbagai kebudayaan. Kewarganegaraannya Afganistan, tetapi pikiran dan kreativitasnya melampaui identitas pada paspor yang dipegangnya. 

“Pikirannya berjejal jenis ideologi, mulai dari agama, budaya, hingga geo-politik yang berkecamuk secara intensif sepanjang waktu. Karya-karyanya menganulir sekaligus menyatukan tradisinya sendiri. Sejarah seni dan politik membaur. Improvisasi dan glorifikasi tersurat jelas dalam lukisan-lukisannya,” kata Mikke.

Ia menyebut, karya-karya Amin mengandung sejumlah kata kunci: lukisan miniatur, manuskrip, khat, maupun otentisitas ala Timur Tengah lainnya membaur dengan lukisan cat air klasik ala Tiongkok dan Jepang. Pikirannya tentang Jawa juga menguat, meskipun tak dilukiskan secara verbal.

“Lukisannya tidak semuanya besar, namun memperlihatkan budaya timur tengah yang menghasilkan seni rupa miniatur, dan menggunakan dominan warna emas digabung dengan tinta China, tanda-tanda Buddha, swastika, dan lain-lain. Ini sangat menarik,” kata Mikke.

Yang menarik, di setiap karya yang dipamerkan, disertai sebuah headset yang bisa dipakai. Ini memutar musik ilustrasi yang mampu membuat penikmat karya seni tercerap masuk ke objek visual yang dinikmatinya. Beberapa adalah musik brainwave atau binaural beat yang sangat menenangkan. Semuanya adalah karya musisi asal Serbia, Vanja Dabic, yang sempat mempelajari gamelan di ISI Jogja.

Pameran Iron Cocoon ini bisa dinikmati sampai 7 Juni 2018. (Den)

Leave A Reply

Your email address will not be published.