Berita Nasional Terpercaya

Identitas Agama dan Etnis Semakin Rentan Dipakai untuk Ciptakan Kekerasan Kolektif

0

Bernas.id – Etnis dan agama benar-benar menjadi persoalan yang memanas di Indonesia, sejak tumbangnya Orde Baru, hingga saat ini. Kedua isu tersebut sangat rentan dipakai untuk memanipulasi massa guna menciptakan kekerasan kolektif.

Yustinus Tri Subagya Ph.D, dosen psikologi Universitas Sanata Dharma (USD) memaparkan dalam tersebut dalam seminar “Menyoal Identitas, Meretas Diskriminasi dan Kekerasan Kolektif” di kampus USD. Acara digelar Jumat (8/6) di Ruang Koendjono kampus tersebut.

“Konflik tersebut bukan disebabkan oleh frustrasi atau kebingungan orang, namun karena ada perebutan atas sumber daya dan kontestasi ideologi,” kata Tri.

Ia menguraikan, kekerasan kolektif banyak terjadi di 14 provinsi, pasca tumbangnya Orde Baru, paling tidak selama satu dekade. Konflik yang terjadi cukup rumit, karena isu identitas menjadi bagian penting. SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) justru menjadi faktor utama yang dipakai untuk melakukan manipulasi massa.

“Yang menonjol adalah kekerasan berbasis agama, diikuti kekerasan berbasis etnis,” terangnya.

Karena itulah menurutnya bila identitas seseorang semakin kuat, semakin tinggi pula kemungkinannya terlibat dalam kekerasan kolektif. Tri yang pernah meneliti konflik Ambon itu menyebut, kini orang cenderung lebih kuat menunjukkan identitas keagamaannya, ketimbang identifikasi etnik,” jelasnya.

“Berdasar penelitian, orang Muslim lebih kuat menunjukkan identitas keagamaannya dibandingkan orang Kristen,” ungkapnya.

Ia menerangkan, sikap dan pola pikir religiosentris kimi cenderung menguat, menganggap agamanya sendiri paling benar. Sangat memicu munculnya kebencian hingha kekerasan terhadap pemeluk agama lain.

“Seharusnya orang memandang kitab suci tidak sekedar secara tekstual, namun bisa secara hermeneutik, untuk mereduksi kekerasan terhadap agama lain,” katanya.

Pembicara lain, Monica Eviandaru Madyaningrum Ph.D, yang juga dosen psikologi USD mengungkapkan, diskriminasi masih dialami kaum minoritas, tak hanya terkait agama atau etnis, namun juga pada kelompok identitas lain, termasuk pada kelompok penyandang disabilitas. 

“Para orang tua dengan anak autis hingga kini masih kesulitan mencari sekolah bagi anak-anaknya,” ungkap Monica.

Ia mengungkapkan diskriminasi terhadap kaum difabel turut dipicu oleh adanya aturan ketenagakerjaan terkait disabilitas. Meski ada aturan yang mewajibkan perusahaan mempekerjakan 1 persen karyawan difabel, ada aturan ketenagakerjaan lain yang memperbolehkan perusahaan mengeluarkan karyawan bila karyawan itu diketahui mengalami disabilitas

“Yang paling banyak ditemui adalah diskriminasi tata kota,  belum adanya ruang publik di kota manapun di Indonesia yang memadahi bagi kaum difabel,” katanya. (Den)

Leave A Reply

Your email address will not be published.