Berita Nasional Terpercaya

Paguyuban Pengusaha Malioboro Minta PKL Digusur untuk Kembalikan Citra

0

Bernas.id ? Paguyuban Pengusaha Malioboro (PPM) telah menempuh jalur hukum guna memperjuangkan hak sebagai pemilik toko di kawasan Malioboro, Yogyakarta. Itu karena permintaan PPM kepada Pemkot Jogja agar menata pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal dan membuka lapak di depan toko-toko sepanjang Jalan Malioboro tak kunjung direalisasikan. 

Ketua PPM Budhi Susilo telah menggugat Walikota Jogja ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, karena dianggap tak konsisten menjalankan amanat Peraturan Daerah Kota Jogja Nomor 26 Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima dan Peraturan Walikota Jogja Nomor 37 Tahun 2010. Sidang perdana PTUN telah digelar, Senin (6/8) dengan perkara nomor: 2/P/FP/PEN-HS/2018/PTUN.Yk.

Budhi mengatakan, perda maupun perwal tersebut mengatur penataan PKL khusus Malioboro dan Jalan Ahmad Yani. Aturan tersebut menyebutkan bahwa para PKL harus mendapatkan persetujuan dari pemilik/kuasa hak atas bangunan/tanah yang berbatasan langsung dengan jalan. Karena tak ada persetujuan, ia mendesak PKL untuk ditata.

“Kembalikan citra dan wajah Malioboro sebagai pusat kebudayaan dan seni. Saat ini Malioboro terlihat kusam, kumuh, letih, dan jorok. Para PKL yang kebanyakan para pendatang tidak tahu sejarah Malioboro,” ujar Budhi, Kamis (9/8/2018).

Ia menerangkan, aidang selanjutnya akan digelar tanggal 13 Agustus mendatang. Masih akan ada empat kali sidang untuk menyelesaikan polemik ini.

“Harapannya peraturan dilaksanakan, lha sudah ada aturannya dibuat sendiri, kenapa ada pembiaran?” imbuhnya.

Budhi mejelaskan, telah melayangkan surat keberatan atas keberadaan PKL kepada UPT Malioboro dengan tembusan walikota Jogja pada 2017 lalu. Tak mendapat respons positif, PPM kembali melayangkan surat dengan tujuan sama pada 19 Juli lalu. Dalam surat ini Budhi juga menyebut adanya PKL liar tanpa izin UPT Malioboro. Masalah izin PKL di depan deretan toko sisi barat Malioboro yang sudah kedaluwarsa juga dia paparkan. Para PKL ini tergabung dalam Pemalni dan Tri Dharma.
 
Selain melayangkan surat ke Pemkot Jogja, Budhi juga telah minta bantuan mediasi lewat Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Yogyakarta. Namun Walikota Jogja Haryadi Suyuti tak sekalipun hadir dalam proses mediasi di kantor ORI. Pemkot Jogja hanya membalas surat, yang justru menyebutkan bahwa keberadaan PKL merupakan ikon wisata Malioboro. Budhi mengultimatum Pemkot Jogja untuk memindahkan para PKL hingga 1 Mei 2019.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Pelukis, Perajin, dan PKL Malioboro-Ahmad Yani (Pemalni) Slamet Santoso bersikukuh tetap akan berjualan di Malioboro. Dia berlandaskan pada pernyataan Gubernur DIY Hamengku Buwono (HB) X. Menurutnya, gubernur tetap menghendaki PKL ada di Malioboro. Menurutnya itu dibuktikan dengan kejadian Selasa malam (7/8), bertepatan dengan hari libur PKL Malioboro, di mana gubernur dan wakil gubernur DIY hadir untuk makan tumpeng bersama di sepanjang Malioboro. 

?Itu bukti sinergi kami (PKL) dengan pemerintah,? katanya. 

Slamet menambahkan, para PKL siap bersinergi dengan para pemilik toko yang tergabung dalam Paguyuban Pengusaha Malioboro Ahmad Yani (PPMAY).

“Selama ini komunikasi sudah dilakukan, pemilik toko tetap menghendaki PKL berjualan,? ujar Slamet.

Tanpa adanya PKL di Malioboro, Slamet menilai Malioboro bakal sepi pengunjung. Itu juga akan berpengaruh pada pemilik toko di Malioboro. 

?Yang rugi juga pemilik toko nantinya,? katanya.

Sampai sejauh ini belum ada respons dari Walikota Jogja terkait masalah ini. (Den)

Leave A Reply

Your email address will not be published.