Berita Nasional Terpercaya

Rendahnya Integritas Ancaman dalam Pemberantasan Korupsi

0

SLEMAN, BERNAS.ID —Keutuhan nilai-nilai luhur dari sikap dan perilaku seseorang menjadi modal utama bagi keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dan pembangunan integritas perlu diwujudkan di berbagai tingkatan mulai dari tingkat individu maupun tingkat organisasi dan di seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih di sektor politik.

Membangun integritas di sektor politik sangat penting karena politik merupakan pintu masuk praktik korupsi sekaligus upaya pemberantasan korupsi, karena modus korupsi sesungguhnya akibat tidak adanya integritas sehingga muncul manipulasi jabatan publik untuk keuntungan pribadi.

Demikian pokok pikiran yang muncul dalam Diskusi Publik “Pencegahan Korupsi di Sektor Politik” yang diadakan UII bekerja sama dengan KPK dan LIPI di Gedung Prof dr Sardjito, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang, Rabu (19/12/2018). Tampil sebagai narasumber Direktur Dikyanmas KP Giri Suprapdiono, Dosen Fisipol UGM Dr.rer.pol Mada Sukmajati MPP, Dosen FH UGM Dr Zainal Arifin Mochtar SH LLM, Peneliti P2P LIPI Dr Sri Nuryanti SIP MA dan Mantan Ketua Komisi Yudisial Dr Suparman Marzuki SH MSi.

Menurut Giri Suprapdiono, ada tiga isu mendasar yang menjadi penyebab praktik korupsi, yakni biaya politik yang tinggi, bantuan negara terhadap partai politik (parpol) yang kecil serta penghargaan dan apresiasi pemerintah terhadap pejabat yang rendah. Hal membuat para politikus, seperti para bupati/walikota maupun gubernur, berkosentrasi pada dua hal yakni bagaimana supaya terpilih dan membayar lalu setelah terpilih bagaimana mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan.

“Dilihat dari gaji mereka yang sangat kecil, sampai lima tahun menjabat sangat tidak mungkin bisa mengembalikan biaya yang sangat besar, yang dikeluarkan saat mencalonkan diri. Dan cara yang paling cepat dan mudah adalah dengan korupsi,” kata Giri Suprapdiono.

Dikatakan, upaya pencegahan dan penindakan sangat gencar dilakukan KPK untuk menekan praktik korupsi. Namun, praktik korupsi bukannya berkurang tapi justru terus meningkat. Mengapa itu terjadi? “Ada dua penyebab yakni kue pembangunan yang semakin besar dimana tiap tahun anggaran selalu meningkat mencapai ribuan triliun rupiah dan adanya desentralisasi sehingga pejabat-pejabat di daerah punya kewenangan membuat program yang memberi ruang untuk praktik korupsi. Misalnya, dalam hal pemberian izin tambang maupung belanja barang dan jasa,” kata Giri Suprapdiono.

Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan dan Alumni UII Dr Drs Rohidin SH M.Ag dalam sambutannya saat membuka diskusi mengungkapkan, hingga penghujung tahun 2018 ini, telah dilakukan 28 Operasi Tangkap Tangan (OTT) dengan berbagai bentuk kejahatan korupsi di Tanah Air.

Dari 105 kepala daerah yang kasusnya tengah ditangani KPK, 60 orang di antaranya terlilit kasus suap, sementara sisanya terkait kasus yang merugikan keuangan negara, gratifikasi hingga pemerasan. Banyaknya pejabat publik yang menjadi tersangka korupsi sampai menjadi bahan guyonan bahwa bisa-bisa kursi kepemimpinan daerah di Indonesia kosong karena krisis pejabat yang bersih dan berintegritas.

Dan data tersebut tentu menimbulkan interpretasi yang sangat menarik untuk dibahas. Dari segi penindakan hukum, dapat dilihat bahwa KPK bersama aparat penegak hukum tidak kendor dalam memberantas korupsi. Namun di sisi lain juga muncul pertanyaan, apakah penindakan hukum terhadap koruptor selama ini sudah menimbulkan efek jera dan deterrence bagi para pelaku dan calon pelaku.

Mengutip hasil pengamatan ICW (Indonesia Corruption Watch), menurut Rohidin, tren vonis pengadilan kepada kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi menyentuh rata-rata angka 6 tahun 4 bulan pidana penjara. Vonis kurungan penjara tersebut masuk level hukuman sedang. Sedangkan vonis hukuman berat dinilai masih jarang diterapkan. Perbedaan sudut pandang dan pemahaman terhadap tindak pidana korupsi di antara aparat penegak hukum ditengarai menjadi penyebab.

“Berkaca dari hal itu, kami melihat bahwa pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan multidimensional yang komprehensif. Tidak hanya penindakan, namun aspek pencegahan serta edukasi hendaknya dapat lebih ditekankan. Pendekatan dari sisi politik juga dapat lebih dieksplorasi, misalnya dengan menggandeng para ilmuwan politik untuk menelaah sistem demokrasi dan mekanisme politik di level daerah. Sebab tidak dipungkiri, biaya politik seseorang untuk menjadi pemimpin atau pejabat publik di daerah juga sangat tinggi,” kata Rohidin. (lip)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.