Berita Nasional Terpercaya

Tahun 2019, PSSI Bisa Apa?

0

TAHUN 2018 meninggalkan banyak catatan minus dalam persepakbolaan Indonesia. Kepercayaan publik terhadap Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) selaku induk organisasi bal-balan di negeri ini, merosot tajam. Tiada hari tanpa kritikan pedas dan cacian yang dilontarkan warganet terhadap federasi yang dipimpin Edi Rahmayadi tersebut. Masalah dan isu yang timbul sebetulnya lagu lama yang seperti sudah menjadi virus dalam persepakbolaan kita, siapa pun pimpinannya.

Kini semuanya bertambah kronis ketika sang pucuk pimpinan federasi mengendalikan bawahannya dari daerah. Acara talkshow Mata Najwa bertajuk ?PSSI Bisa Apa? di salah satu stasiun televisi swasta pada 28 November 2018 membuka noda memalukan sepakbola kita tahun ini. Pengaturan skor, mafia, itu-itu lagi. Tidak terlalu mengejutkan sesungguhnya.

Dari hal tersebut, muncul dugaan ?juara setingan? pada dua kasta liga sepakbola Indonesia. Januar Herwanto, Manajer Madura FC, yang menjadi narasumber dalam acara talkshow tersebut buka-bukaan tentang praktek percobaan jual beli pertandingan yang dialaminya. Ia mengaku ditelepon seseorang agar timnya bersedia mengalah ketika bersua PSS Sleman, Mei 2018 lalu dengan imbalan sejumlah uang. Januar menolak mentah-mentah tawaran itu dan Madura FC memenangi pertandingan. Ironisnya, seseorang yang menelepon Januar adalah Hidayat, salah satu anggota Komite Eksekutif PSSI. Belakangan Hidayat diketahui mundur dari jabatannya.
    
Kisah Bambang Suryo, mantan bandar pengatur skor pertandingan sepakbola, semakin menguatkan indikasi adanya permainan yang melibatkan pemangku jabatan sepakbola negeri ini. Bambang merinci besaran transaksi dalam kerja sama mengatur skor. Iajuga menyebut satu nama yang merupakan mafia terbesar sepakbola Indonesia. “Saya tidak akan menyebut nama, sebut saja sontoloyo. Orang yang pertama kali bekerja sama dengan saya,” ujar Bambang dalam acara itu.

Pria berkepala plontos tersebut menegaskan, PSSI masih membiarkan semua ini terjadi. Sungguh miris mendengarnya. Orang- orang yang seharusnya menjaga kehormatan sepakbola kita, justru berbuat sebaliknya. Gatot Dewa Broto, Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora), yang turut hadir dalam talkshow yang dikomandoi Najwa Shihab itu berpendapat, PSSI membutuhkan leadership Edy Rahmayadi. ?Alangkah indah jika konsentrasinya mengurus PSSI ya di Jakarta, tetapi kehormatan beliau sebagai Gubernur Sumatera Utara tentu banyak yang diurus,? tegasnya.

Pernyataan Gatot tersebut seolah menegaskan kembali dugaan publik perihal komunikasi jarak jauh Edy dengan bawahannya yang membuat lemahnya kontrol oleh sang ketua umum. PSSI seperti anak ayam yang kehilangan induk. Namun di balik noda tersebut, terselip sedikit cahaya dari keberhasilan Timnas U-16 yang berhasil menjuarai Piala AFF U-16 2018. Timnas U-19 juga menuai pujian dari publik lewat penampilan cantik dan heroik di Piala Asia U-19 walaupun gagal memenuhi target lolos ke Piala Dunia U-20 karena dikandaskan Jepang 2-0 di perempatfinal.

Untuk pertama kalinya, PSSI juga menggulirkan kompetisi usia belia, Liga 1 Elite Pro Academy U-16, yang pada edisi 2018 ini dijuarai Persib Bandung. Namun semua itu terasa kurang bagi pecinta bola kita karena kegagalan timnas senior di ajang Piala AFF 2018. Bagaimana pun, tolok ukur keberhasilan federasi sepakbola suatu negara adalah pencapaian timnas seniornya. ?Tujuan suatu federasi adalah membawa sepakbola negaranya sampai kepada prestasi internasional tertinggi yang bisa diraih. Ukurannya adalah Timnas dan peringkat kita di FIFA,? ujar pengamat sepakbola, Anton Sanjoyo, dalam diskusi Pangeran Mingguan bertajuk ?Blak-Blakkan Soal PSSI? di channel YouTube Asumsi.
    
Permasalahan timnas senior ini juga cukup menyita perhatian khalayak luas. Kegagalan di Piala AFF sejatinya tidaklah mengejutkan. Kemelut penunjukan pelatih yang berlarut-larut turut mengganggu persiapan. Publik sangat menginginkan Luis Milla mengomandoi perjuangan Hansamu Yama dkk di ajang sepakbola paling bergengsi Asia Tenggara tersebut. Bukan tanpa alasan, walau belum mampu mencapai target-target yang dibebankan PSSI, Milla dianggap berhasil meletakkan pondasi permainan yang jelas selama menangani Timnas U-23. Namun entah mengapa pelatih asal Spanyol itu urung menandatangani perpanjangan kontrak yang selepas Asian Games 2018.

Dalam keadaan terdesak, PSSI mengambil langkah dengan menunjuk Bima Sakti yang belum banyak berpengalaman di dunia kepelatihan untuk menangani Timnas di Piala AFF. Hasilnya, lihat sendiri. Pada 21 Oktober 2018, lewat akun Instagramnya, Milla berpamitan kepada Indonesia sekaligus menyampaikan kritik kepada PSSI terkait level profesionalisme dan menajemen yang buruk serta pelanggaran kontrak yang terjadi berkali-kali.

Langkah Tahun 2019
    
Jika sudah begini, pertanyaan di benak kita semua hanya satu. Apa langkah PSSI pada 2019 untuk menjawab segala keraguan dan kemarahan publik? Pada 20 Januari 2019, PSSI akan menggelar Kongres Tahunan di Bali. Ada dua agenda utama dalam kongres tersebut, yaitu laporan kerja 2018 dan program kerja 2019. Tidak ada agenda untuk mengganti Edi Rahmayadi pada kongres tersebut seperti yang disuarakan para gibolis Tanah Air. Beberapa waktu lalu, Edi sendiri menegaskan tidak akan mundur dari PSSI hingga masa jabatannya berakhir pada 2020 mendatang. ?Saya tak mau mundur karena cinta dengan PSSI,? tukas mantan Pangkostrad itu.

Menjawab segala kritik, PSSI tidak tinggal diam. Mereka merilis daftar pencapaian yang diraih pada 2018, seperti membangkitkan sepakbola wanita, pertama kali menggelar AFC Pro Course, kerja sama kepelatihan dengan DFB (PSSI-nya Jerman), dan menggelar kompetisi usia muda. Semua itu patut kita apresiasi. Toh, diharapkan muaranya adalah prestasi yang kita idam-idamkan. Dalam hal ini, PSSI sudah berusaha menjalankan statuta FIFA yang menyebut setiap federasi bertanggungjawab membawa sepakbola di negaranya meraih prestasi tertinggi yang diakui induk organisasi sepakbola dunia tersebut. Lagi pula sebagai organisasi, mereka juga harus punya program kan?
    
Namun itu semua hanya tampak baik dari luar saja. Anton buka-bukaan soal itu. ?Mereka mengklaim membuat program ini itu. Kelihatan di ujungnya saja, tetapi prosesnya berantakan,? kata pria yang akrab disapa Joy tersebut. Ia mencontohkan penyelenggaraan kompetisi usia belia dimana klub-klub seolah mendidik anak-anak muda tersebut, padahal sebagian besar hanya mengambil dari banyak Sekolah Sepakbola (SSB) yang berkompetisi di liga kelompok umur yang diselenggarakan pihak lain. Kalau begitu kita pantas ngrasani, PSSI ini adalah Event Organizer yang bertujuan membuat banyak acara dan program untuk diekspos atau sebuah federasi yang betul-betul serius membawa sepakbola kita lepas landas ke level lebih baik melalui sebuah sistem terpadu dan bersih?
    
Jangankan kita berbicara mengenai prestasi dahulu karena sepakbola kita masih punya penyakit kronis yang mesti disembuhkan : mafia. Selama itu dibiarkan, sepakbola kita akan terus jalan di tempat. Selama ini, adakah langkah tegas PSSI terhadap terduga pelaku permainan kotor dalam sepakbola kita? Adakah yang sampai diproses hukum? Apakah mereka berani membersihkan tubuh organisasi sendiri dari anggota yang diduga terlibat? Mungkin kita bisa mengibaratkan PSSI dengan seorang mahasiswa.

Percuma membanggakan pencapaian berupa IPK, tetapi diraih tidak dengan proses yang benar. Masih ada masalah moral yang mengganjal.  Jika berbicara skandal mafia sepakbola, kita bisa flashback ke medio 2006 ketika dunia terguncang oleh skandal Calciopoli di Italia. Diduga banyak konflik kepentingan dalam sepakbola mereka pada masa itu. Tentu itu sangat mencoreng wajah sepakbola Negeri Pizza. Semua yang terlibat dalam skandal tersebut langsung dihukum sesuai hukum yang berlaku di negara tersebut dan klub-klub yang terseret dihukum sesuai porsinya masing-masing. Franco Carraro, Presiden FIGC (PSSI-nya Italia) mengundurkan diri dari jabatannya. Setelah skandal memalukan itu, persepakbolaan mereka melakukan pembenahan besar-besaran.
    
Kasus di Italia sebetulnya serupa dengan apa yang dalami dalam sepakbola Indonesia. Belakangan PSSI bekerja sama dengan Barsekrim Polri membentuk Satgas Pemberantasan Pengaturan Skor Sepakbola. Tentu kita semua berharap langkah ini tidak hanya sebagai gagah-gagahan untuk menjawab tekanan publik yang begitu besar untuk membersihkan hal-hal kotor dalam persepakbolaan kita.Sebetulnya tidak hanya masalah skandal mafia saja yang mendesak untuk diselesaikan. Masih banyak PR yang menunggu PSSI tahun depan. Ambil contoh, penjadwalan liga yang masih amburadul sehingga bertabrakan dengan agenda timnas, verifikasi setiap klub peserta liga yang sering menimbulkan perdebatan dan sebagainya.

Publik sangat mengharapkan perombakan besar-besaran dalam tubuh federasi. Bahkan Anton secara tegas menyebut PSSI dikendalikan orang-orang yang tidak kompeten mengurus sepakbola. Semua akan terlihat pada Kongres Januari 2019. Mau dibawa ke mana sepakbola kita? Mampukah para pemangku jabatan persepakbolaan negeri ini membalikkan citra demi nama baik mereka sendiri, federasi dan sepakbola kita?

Jangan sampai visi yang diusung Edi Rahmayadi ?PSSI Profesional dan Bermartabat? hanya menjadi kata-kata tanpa tindakan nyata. Apakah semua persoalan yang sudah menjadi gunung es ini akan mencair dengan revolusi besar-besaran di semua lini? Kita tentu mengharapkan demikan. Kita sudah lelah dengan persoalan itu-itu saja yang datang lagi dan lagi. Kita hanya ingin sepakbola sebagai hiburan rakyat yang bersih, profesional dan bermartabat. Prestasi urusan belakangan, toh, jika semua sudah dilakukan secara benar, prestasi juga akan datang dengan sendirinya. Bravo sepakbola Indonesia!*** (Dionisius Sandytama Oktavian, Mahasiswa Semester VII Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

    

    

Leave A Reply

Your email address will not be published.