Berita Nasional Terpercaya

Rifka Annisa dan Kuasa Hukum AL Keberatan dengan Diksi Damai

0

SLEMAN, BERNAS.ID- Meski Senin (4/1) lalu telah ada kesepakatan damai antara AL dan HS terkait dugaan kasus perkosaan dan pencabulan di UGM, Rifka Annisa yang diwakili Suharti dan Tim Kuasa Hukum AL yang diketuai Catur Udi Handayani menolak penggunaan diksi “damai” di banyak media massa.

Menurut, Suharti, Direktur Rifka Annisa, selaku juru bicara Rifka Annisa dan Tim Kuasa Hukum AL lebih senang menyebut kesepakatan damai itu dengan “Komitmen UGM untuk Memenuhi Tuntutan Penyintas”.

“Kami sangat keberatan, menolak, dan terganggu dengan penggunaan diksi ?damai? di berbagai media massa, sebab hal tersebut menjadi pemicu anggapan bahwa AL menyerah dengan perjuangannya,” katanya di Aula Rifka Annisa, Rabu sore, 6 Februari 2019.

Menurut Suharti, penggunaan kata damai menegasikan tahapan demi tahapan perjuangan AL amengusahakan kebenaran dan keadilan untuk dirinya, dan membuat capaian-capaian perubahan yang dibuat oleh AL dan gerakannya selama hampir satu setengah tahun seolah tampak tak membuahkan hasil. “Keyakinan kami bahwa kejadian yang dialami AL adalah kekerasan seksual, yaitu tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan dari korban kekerasan,” ucapnya.

Dalam proses pendampingan bagi perempuan penyintas kekerasan, Suharti menyebut pihaknya akan mengedepankan prinsip-prinsip pendampingan seperti, keamanan dan keselamatan bagi perempuan penyintas, empowerment dan self determination/pengambilan keputusan oleh penyintas kekerasan. “Bahwa tujuan utama dalam proses pendampingan adalah terpenuhinya rasa keadilan bagi penyintas kekerasan. Untuk mencapai hal ini maka suara penyintas menjadi sangat penting untuk didengarkan,” katanya.

Suharti mengatakan pilihan penyelesaian kasus non-litigasi yang diambil oleh AL dan Tim Hukum pada hari Senin, 4 Februari 2019 merupakan pilihan yang tidak mudah diambil. “Kata ?damai? yang menjadi topik pemberitaan di beberapa media memicu anggapan bahwa AL menyerah dengan perjuangannya. Berbagai pemberitaan ini lantas terkesan menegasikan tahapan demi tahapan perjuangan yang telah ditempuh AL untuk mengusahakan kebenaran dan keadilan bagi dirinya. Akibatnya, perubahan yang berusaha dicapai oleh AL dan gerakannya selama hampir satu setengah tahun seolah tampak tak membuahkan hasil,” tukasnya.

Karena itu, pihak Rifka Annisa dan kuasa hukum AL merasa penting untuk menjabarkan apa yang terjadi sesungguhnya dan potensi-potensi apa yang dihadapi AL ke depan agar kita semua dapat melihat kasus ini dari perspektif penyintas. Ruang-ruang perjuangan yang harus dihadapi oleh AL akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Sejak awal, AL telah berjuang agar kasus kekerasan seksual ini dapat ditangani oleh Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) Universitas Gadjah Mada. HS telah mengakui perbuatannya di depan teman-teman setim KKN-nya dan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) melalui telepon. Sampai September 2017, AL belum memperoleh kejelasan mengenai penyelesaian dan rekomendasi apa yang diberikan DPkM kepada HS melalui Fakultas Teknik. Pada Oktober 2017, AL menemui kenyataan bahwa ia mendapatkan nilai KKN C dan perlu waktu 1 tahun untuk berjuang hingga pada tanggal 14 September 2018 nilai KKN AL dipulihkan menjadi A/B.

2. Tim Investigasi Rektorat UGM?yang belakangan diketahui sebenarnya bernama Tim Evaluasi KKN-PPM 2018 berdasarkan SK Rektor Nomor 795/UN1.P.III/SK/HUKOR/2018?dibentuk dari tanggal 20 April 2018 sampai 20 Juli 2018 untuk mencari fakta tentang kasus yang dialami AL. Sampai saat ini, AL belum mendapatkan salinan hasil Tim Investigasi, bahkan AL hanya diminta mendengarkan hasilnya dibacakan saja dan di dalamnya terdapat kesimpulan bahwa telah terjadi pelecehan seksual.

3. Berdasarkan informasi dari situs web wisuda UGM nama HS terdaftar dalam daftar wisudawan bulan November 2018 sementara belum ada kejelasan tindak lanjut Tim Investigasi. Akhirnya wisuda HS dibatalkan sampai kasus ini selesai.

4. Penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Maluku pada tanggal 19 November 2018 yang berlangsung selama 12 jam telah menyebabkan AL kembali mengalami depresi;

5. Adanya Laporan Polisi Nomor LP/764/ XII/2018/SPKT tertanggal 9 Desember 2018 adalah langkah tanpa persetujuan dan konsultasi dengan penyintas. Pertimbangan utama kami akhirnya memilih penyelesaian non-litigasi adalah kondisi psikis AL Perkembangan kasus hukum semakin melemahkan posisi AL, mulai dari berita acara pemeriksaan AL, informasi yang kami terima dari pemeriksaan saksi-saksi, permintaan dari Polda DIY untuk melakukan visum et repertum terhadap AL yang kami tolak karena bekas luka fisik sudah hilang mengingat waktu kejadian yang sudah terlalu lama, hasil pemeriksaan psikologi AL dan tidak adanya tanggapan tehadap permohonan visum psychiatricum.

Kasus semakin berkembang karena perbedaan definisi perkosaan yang terdapat di dalam pemberitaan di Balairung yang menggunakan term dalam website Komnas Perempuan dengan definisi perkosaan sesuai Pasal 285 KUHP.

Selain itu, Polda juga menyatakan adanya ketidaksesuaian fakta di lapangan, bahwa lokasi kejadian dekat dengan permukiman dan tidak banyak binatang liar, serta pondokan putri berjarak hanya 50 meter dengan pondokan putra. Padahal, yang dimaksud AL sejak awal dan disampaikan juga oleh laporan Balairung sebagai jarak yang jauh adalah jarak dari pondokan AL ke pondokan salah seorang teman perempuannya, dan di lokasi tersebutlah terkadang ada babi hutan. Pernyataan tersebut mengarah pada indikasi Balairung menyebarkan berita bohong artinya, ada tendensi bahwa Balairung juga akan dikriminalisasi. Kemungkinan SP3 yang kami antisipasi pada akhirnya semakin jelas berdasarkan kutipan pemberitaan media Kapolda DIY pada hari Selasa (5/2/2019) yang menyatakan kepada wartawan bahwa, ?Kan hasilnya kemudian di antara mereka (HS dan korban) sendiri ternyata berdamai, itu yang kita harapkan, karena perkosaan tidak ada, dan pelecehan tidak ada.? Bertambah besarnya kemungkinan SP3 dan tendensi kriminalisasi baik untuk AL maupun  pihak lain (Balairung) menjadikan proses ini semakin jauh dari rasa keadilan AL.

Kami mempertimbangkan akibat dari proses ini terhadap AL dan pada Balairung.

6. Pada tanggal 21 Januari 2019, AL diberi tahu hasil kerja Komite Etik di mana dari 7 orang anggota komite etik, 4 orang menyatakan tidak ada pelecehan seksual, yang terjadi adalah perbuatan asusila dan menolak mengkategorikannya sebagai pelanggaran sedang atau berat. Namun, terdapat anggota Komite Etik lainnya mengeluarkan dissenting opinion yang menyatakan bahwa kasus tersebut adalah pelecehan seksual dan pelanggaran berat.

Kesimpulan ?tindak asusila? sangat melukai rasa keadilan AL, karena di awal pertemuan AL dengan Komite Etik, AL dijanjikan penyelesaian yang berperspektif dan berkeadilan gender. Kondisi ini hanya mempertegas adanya budaya victim blaming. Perkembangan kasus yang semakin hari menjadi semakin tidak jelas justru berpotensi memperbesar tekanan psikis bagi AL.

Kami menyadari bahwa semua pilihan penyelesaian memiliki resikonya maisng-masing. Karenanya, kami berdiskusi untuk mempertimbangkan penyelesaian mana yang resikonya paling minimal bagi AL, memenuhi rasa keadilan dan mengutamakan perlindungan hak-hak AL.

Beberapa poin capaian perjuangan dari sisi AL dalam kasus ini adalah:

1. Penyelesaian nonlitigasi ini menjadi solusi yang lebih mampu menjamin pemulihan hak-hak penyintas dan mencegah terjadinya tendensi kriminalisasi terhadap AL maupun jurnalis Balairung Press;

2. Draft kesepakatan penyelesaian mengacu pada Laporan Polisi Nomor LP/764/ XII/2018/SPKT tertanggal 9 Desember 2018 dimana di dalamnya terdapat posisi HS, AL dan dugaan tindak pidana yang dilaporkan yaitu pemerkosaan dan pencabulan;

3. Permintaan maaf telah dinyatakan HS kepada AL dengan disaksikan oleh Rektorat UGM. HS juga diharuskan mengikuti mandatory counselling agar terjadi perubahan perilaku, sementara kelulusan HS akan ditunda hingga psikolog klinis menyatakan HS tuntas melakukan konseling;

4. Hak- hak AL sebagai penyintas dengan jelas dijamin pelaksanaannya dalam kesepakatan;

5. Adanya klausul perbaikan sistem mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih jelas definisi, tahapan penanganan dan sanksi terhadap pelaku serta penanganan dan pemulihan hak-hak penyintas terjadi di UGM agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi dalam kesepakatan penyelesaian

6. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik juga telah melakukan penyusunan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tingkat Fakultas, sembari mengupayakan penyelesaian terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelumnya;

7. Membangkitkan kepedulian, dukungan, dan gerakan dari masyarakat untuk mendorong penyelesaian kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan yang kerap tidak tuntas dan mengabaikan pemenuhan hak-hak penyintas.

8. Pihak UGM wajib memberikan dukungan dana yang dibutuhkan untuk penyelesaian studi setara dengan komponen dalam beasiswa BIDIK MISI (UKT dan Biaya Hidup) kepada AL

Suharti berharap penjelasan dari perspektif AL ini dapat memberikan pemahaman dan membuka mata masyarakat betapa besar resiko yang harus dihadapi seorang penyintas kekerasan seksual dalam memperjuangkan penyelesaian kasus yang dialaminya. AL telah berusaha memperjuangkan keadilan dengan berani dan tangguh selama satu setengah tahun lebih.

Keputusan penyelesaian non-litigasi diambil karena situasi saat ini semakin tidak menguntungkan bagi AL dan memperkecil kemungkinan AL untuk memperoleh keadilan. Perjuangan untuk mengajukan poin-poin kesepakatan yang berperspektif penyintas, mendudukan posisi penyintas secara benar dan pemakaian diksi-diksi dalam kesepakatan penyelesaian tersebut juga bukan hal yang mudah.

Untuk itu, Suharti selaku juru bicara Rifka Annisa dan Tim Kuasa Hukum AL memohon kepada semua pihak, terutama media massa, untuk tidak menyederhanakan seluruh proses dan capaian perjuangan AL dengan menggunakan diksi ?berakhir damai? karena hal itu memperburuk kondisi psikis AL. “Perjuangan AL belum selesai. Kami masih membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk memastikan, mengawal dan memantau proses penyelesaian agar setiap poin kesepakatan dapat terlaksana dengan baik,” tuturnya.

Menurut Suharti, AL saat ini membutuhkan dukungan semua pihak untuk dapat memulihkan kondisi psikisnya, lebih berdaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya, serta menuntaskan kuliahnya. “Mari kita lanjutkan perjuangan AL dan terus mendukung AL yang telah banyak berkontribusi bagi perbaikan sistem penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan,” tandasnya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.