FPPR Ancam Tutup Toko Modern Tak Berijin di Sleman
SLEMAN, BERNAS.ID- Forum Peduli Pasar Rakyat (FPPR) mendesak DPRD Kabupaten Sleman menertibkan toko modern yang tidak berijin. Forum ini juga menuntut agar memasang label berijin dan tidak berijin kepada toko modern.
Ditemui setelah melakukan pertemuan dengan DPRD Kabupaten Sleman, Koordinator FPPR, Agus Subagyo mengatakan bahwa meski Raperda Toko Modern tahun 2018 belum disahkan atau dicatat dalam perundangan, tapi sudah banyak toko-toko modern yang berdiri.
“Nah, kita minta pengawasan daripada FPPR atau masyarakat sekitarnya menutup sendiri toko-toko itu. Kami mengadu banyak toko yang tidak berijin,” katanya di Kompleks DPRD Kabupaten Sleman, Senin 11 Februari 2019.
Agus juga mengusulkan agar toko-toko modern berlabel belakang mart itu diberikan label berijin atau tidak berijin. “Teman-teman Dewan tanggal 18 berjanji akan koordinasi. Ini bukan raperdanya ya, tapi banyaknya toko-toko yang tidak berijin, itu kan jelas pelanggaran” ujarnya.
Ia mengilustrasikan banyaknya uang yang disedot toko modern berlabel mart. “Jumlahnya, ada 203 toko-toko modern dari 86 desa di Kabupaten Sleman. Rata-rata ada 4 toko modern di setiap desa. Satu bulan saja 100 juta, hitung saja sekian trilyun per tahun sendiri dihisap mart-mart,” bebernya.
“Raperda itu katanya sudah diberikan Gubernur dan sudah sampai di DPRD di Sleman. Nah kita mengajak untuk tidak usah dibahas agar tertunda sehingga Raperda itu tidak ada,” imbuhnya.
Sedangkan, M Atiatul Muqtadir dari BEM UGM yang menjadi bagian dari FPPR juga mengkritisi Raperda Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan yang bermuara pada persaingan bebas. “Kita melihat Raperda ini sudah mengoper ke persaingan bebas. Kalau sudah persaingan bebas, pasar rakyat ini akan kalah dengan toko modern yang mempunyai modal-modal besar,” katanya.
“Bayangkan dia (toko modern-red) membeli produksi secara massal, harganya pasti lebih murah, padahal pemerintah punya kewajiban untuk melindungi ekonomi lokal,” imbuhnya.
Atiatul mengatakan BEM UGM akan membantu FPPR dari ranah kajian-kajian intelektual bersama dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. “Fungsi dewan itu melindungi dengan cara regulasi. Kita mengajukan kembali apa-apa saja yang sudah diatur, misal pasal 12, pasal 14, pasal 16, dan pasal 19 yang dianggap bermasalah,” ujarnya.
“Pasal 12, 14, 16, itu soal rasio dari tempat berdirinya toko modern terhadap penduduk, kemudian soal jarak dan soal pengecualian dari pertimbangan-pertimbangan yang ada. Alhamdulilah, kemarin di Pisowanan, sudah diberikan jaminan, kampus tidak jadi dikecualikan. Kalau sampai kampus dikecualikan, koperasi kampus juga akan kena dampak,” bebernya.
Atiatul juga menyoroti soal kerjasama toko modern dengan UMKM. “Kita usulkan beberapa diperbaiki. Dari data yang disajikan, mereka (dewan-red) menyimpulkan jarak tidak menjadi alasan orang untuk berbelanja di toko modern atau pasar, tetapi orang berbelanja ke toko modern karena barang-barangnya,” katanya.
“Di forum, saya sampaikan sebenarnya memang bisa berdampingan asalkan segmen pasarnya berbeda antara toko modern dan pasar tradisional, tapi realitanya toko modern tetap menjual barang-barang yang ada di pasar tradisional. Inilah kenapa jarak itu harus diperhatikan,” imbuhnya.
Dari studi-studi, Atiatul menyatakan jarak itu sangat mempengaruhi. “Ketika lebih dekat, persaingan lebih intens. Akhirnya, persaingan harga. Kalau sebelah bisa lebih murah, toko sebelahnya akan sebisa mungkin lebih murah. Siapa yang bisa lebih murah, ya toko modern karena modal lebih besar dan ongkos produksinya lebih besar,” tuturnya.
Atiatul juga menyoroti nomenklatur raperda toko modern di jalan nasional. “Ketika di jalan nasional, jaraknya nol, tidak ada jarak. Ini yang bahaya sehingga sebisa mungkin ada jarak 500-1000. Perda yang lama, untuk toko modern 1:1500 meter dan 1:1000 meter,” tandasnya. (jat)