Kaki Gadis Cantik asal Manggarai Itu pun Harus Diamputasi
YOGYAKARTA, BERNAS.ID —Raut wajahnya selalu tampak ceria dan gaya bicaranya ceplas ceplos khas anak-anak. Tak sedikit pun terlihat kalau gadis cilik nan cantik asal Labuanbajo, Manggarai Barat, NTT itu baru saja kehilangan salah satu bagian tubuhnya yang paling vital.
Itulah Maria Grace Natali (10), siswi kelas IV SD Katolik Wae Wedu Labuanbajo, Manggarai Barat. Pada Jumat (8/2/2019) lalu di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, kaki kanan anak kedua dari empat barsaudara anak pasangan suami-istri Laurensius Harapan, Guru IT SMK Negeri I Labuanbajo, dan Dolorosa Sabur (ibu rumah tangga) ini, terpaksa diamputasi/dipotong di ujung paha bagian atas lutut. Praktis, sejak itu, Grace-sapaan Maria Grace Natali-harus hidup hanya dengan satu kaki.
“Ini pilihan terakhir dan jalan terbaik yang kami ambil. Berat memang, tapi itu yang terbaik. Lebih baik kehilangan satu kaki daripada kehilangan semuanya,” kata Laurens, sapaan Laurensius Harapan, saat ditemui Bernas.id di Wisma Atmajaya Babarsari, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY, Rabu (13/2/2019).
Menurut warga asal Desa Benteng Dompe, Kecamatan Pacar (hasil pemekaran dari Kecamatan Macang Pacar), Kabupaten Manggarai Barat, NTT ini, keputusan amputasi terpaksa diambil setelah melihat hasil Computed Tomography Scanner (CT-Scan) yakni pemeriksaan pencitraan tubuh menggunakan sinar-X. “Dari hasil CT-Scan terlihat tulangnya sudah keropos, hancur. Kata dokter, kaki Grace terkena tumor cruris. Kalau tidak diamputasi bisa merembet ke bagian lain dan sangat membahayakan kehidupan anak saya,” kata Laurens.
Tumor cruris atau tumor tulang adalah kondisi yang terjadi jika sel-sel tulang tumbuh secara abnormal. Sel-sel tulang yang tumbuh tidak terkontrol dapat membentuk pembesaran, tonjolan atau tumor pada tulang. Hingga saat ini, penyebab pasti tumor tulang masih belum diketahui. Namun, kemungkinan penyebab tumor tulang diketahui dapat berkaitan dengan kelainan genetik (keturunan), cedera,atau karena paparan radiasi.
Menurut Laurens, pada Juli 2017, muncul benjolan di samping tulang kering di bawah lutut kaki kanan Grace sebesar klereng. Awalnya biasa-biasa saja, namun kemudian mulai terasa sakit. Karena itu, pada Agustus 2017, benjolan kecil sebesar klereng itu diambil melalui operasi yang dilakukan di RS Siloam Labuanbajo. Sejak itu, kondisi kaki Grace membaik. Namun beberapa bulan kemudian Grace merasa kakinya sakit.
Beberapa orang pintar (ata mbeko) di kampung pun menebak-nabak (itang) karena ini itu. Mereka pun bergantian mengobati kaki Grace dengan cara tradisional. Ada yang mengurut-urut/memijat kaki Grace, ada yang memberi barak (bahasa Jawa : parem), namun bukannya sembuh malah sakitnya menjadi-jadi bahkan kakinya mulai membengkak/membesar dan sakitnya melebar.
“Pada Oktober 2018 kakinya sudah besar dan kami sudah mulai panik. Ketika hendak dibawa ke RS lagi, anaknya tidak mau, merasa trauma dengan operasi,” kata Laurens.
Ketika saudaranya, Pater Primus Jan SVD yang pulang berlibur dari tugas di Kongo, Afrika, pada 2 Desember 2018, berkunjung ke rumah, kaget melihat kaki Grace yang begitu mengerikan. Pater Primus Jan pun mengajak keluarga berdoa dan sampai pada akhir doa menyimpulkan bahwa kaki Grace harus diamputasi. Semua merasa shock, bahkan Grace langsung menangis dan meninggalkan tempat berdoa.
Sejak itu, Grace dan semua keluarga tetap tak memilih solusi amputasi. Apalagi dalam kondisi kaki membesar seperti itu, Grace masih bisa jalan, meski terasa sakit. Namun ketika hendak tampil menari pada acara perayaan Natal di sekolahnya pada 26 Desember 2018, Grace sudah merasa tak kuat lagi, sehingga akhirnya batal ikut tampil menari.
Karena melihat kaki Grace yang semakin membesar dan Grace merasa kesakitan, menurut Laurens, dia bersama keluarga memutuskan untuk membawa Grace ke Yogyakarta pada 9 Januari 2019. Sebelum dioperasi/amputasi di RSUP Dr Sardjito, 8 Februari 2019, Grace sempat dirawat di RS Panti Rapih Yogyakarta selama 5 hari.
“Sebenarnya dalam benak kami tidak sedikit pun ada pikiran kaki Grace harus diamputasi. Bahkan anaknya sendiri tidak mau kalau kakinya diamputasi. Namun, setelah melihat hasil CT-Scan dengan berbagai masukan dari para dokter mengenai resiko bila tidak diamputasi, Grace dan kami pun kemudian bersedia menerima keputusan itu,” kata Guru PNS Golongan II di SMK Negeri I atau Sekolah Menengah Pariwisata Negeri Labuanbajo ini.
Laurens yang bersama adik perempuannya menemani Grace di Wisma Atmajaya (belakang kompleks Kampus Universitas Atmaja Yogyakarta) Babarsari, berharap kondisi Grace segera pulih agar bisa pulang ke Labuanbajo, Manggarai Barat. Namun, keputusan pulang masih harus menunggu rekomendasi dari pihak dokter ahli yang mengoperasi Grace di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
“Kami masih menunggu rekomendasi dari para dokter. Pada Senin (18/2/2019) pekan depan, baru dilakukan kontrol pertama pascaoperasi,” kata Laurens yang mengaku sebagian biaya perawatan hingga operasi ditanggung BPJS Kesehatan, namun sebagian lagi tidak ditanggung BPJS Kesehatan karena ada beberapa tindakan medis yang di luar tanggungan BPJS.
Kondisi Grace saat ini sudah membaik dan tinggal pemulihan. Ia sudah bisa duduk dan mengangkat kaki meski masih terasa sedikit sakit. Dan keputusan pulang ke Labuanbajo masih menunggu rekomendasi dari dokter-dokter yang mengoperasinya di RS Sardjito. “Semoga Grace lekas pulih dan bisa kembali beraktifitas seperti biasa dan sekolah seperti sedia kala, meski hanya dengan satu kaki,” harap Laurensius Harapan yang berenca ingin membeli kruk atau bahkan kaki palsu untuk putri tercintanya. (lip)