Para Ojol Dibekali Sejarah Berdirinya Kota Yogyakarta
KOTAYOGYAKARTA, BERNAS.ID- Berpijak dari sejarah berdirinya, Yogyakarta merupakan satu-satunya kota istimewa yang ada di Indonesia. Sejarah yang sangat panjang mengiringi Kota Pelajar hingga saat ini.
Untuk itu, dalam kegiatan Pamong Pawiyatan, para ojek online (ojol) dibekali dengan sejarah keistimewaan Yogyakarta oleh KPH Yudhohadiningrat sebagai perwakilan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Ceritakanlah Yogyakarta ini menarik bagi wisatawan karena memang istimewa,” katanya di Gedung Punakawan Ragam Kriya, Kamis 14 Februari 2019.
KPH Yudhohadiningrat menceritakan cikal bakal Jogja berdirinya berasal dari Kerajaan baru bernama Mataram yang didirikan Panembahan Senopati dengan membabat Alas Mentaok atau Kota Gede.
Lalu, digantikan anaknya oleh Panembahan Hanyokrowati atau Panembahan Sedo Krapyak yang mangkat karena diseruduk banteng di Desa Krapyak, kemudian digantikan Sultan Agung atau Raden Mas Rangsang.
Untuk memperkuat pasukan melawan Belanda, pusat kerajaan Kota Gede dipindah ke Kerto atau Desa Segoroyoso sebagai pangkalan angkatan laut oleh Sultan Agung. “Jaman pemerintahan Sultan Agung, kerajaan Mataram makmur dengan budayanya yang berkembang pesat, misal rumah joglo, ikat kepala, surjan, dan keris,” ujarnya.
“Sultan Agung saat itu memerintahkan semua rakyat Mataram mempunyai keris untuk persiapan menyerang Belanda di Batavia, namun kalah pada tahun 1628, lalu mundur ke Matraman yang saat ini masih ada di Jakarta. Tahun 1629, nyerbu lagi kalah lagi hingga kembali ke Mataram. Tahun 1645, Sultan Agung mangkat dan dimakamkan di Imogiri,” urainya.
Kedudukan Sultan Agung digantikan oleh Sunan Amangkurat I yang memindahkan dari Mataram di Kerto ke Pleret Bantul. Namun, karena ada serangan dari Trunojoyo, Amangkurat I lari ke Tegal dan meninggal di sana. Digantikan anaknya Amangkurat II, lalu Mataram pindah ke Kartosuro. Kemudian, posisi tahta silih berganti dari Amangkurat III, lalu Sunan Pakubuwono I sampai Amangkurat IV hingga digantikan Sunan Pakubuwono II yang mempunyai dua adik, yakni Pangeran Mangkubumi yang nanti menjadi Sultan Hamengku Buwono I dan Pangeran Mangkunegoro.
Ketika masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, terjadi Geger Pecinan hingga Sunan Kuning bisa menguasai Kartosuro, lalu Sunan Pakubuwono II lari ke Ponorogo, mertuanya pada tahun 1743. Ia pun meminta bantuan ke VOC untuk mengalahkan Sunan Kuning dengan perjanjian setelah perang Kerajaan Mataram nanti diberikan ke Belanda. “Sunan Pakubuwono II dinobatkan kembali menjadi Raja dengan kerajaan yang dipindahkan ke Solo, lalu tahun 1746 pindah ke Surakarto.
Ketika mendengar kesepakatan itu Mataram akan diberikan ke Belanda, Pangeran Mangkubumi memilih berperang dengan VOC dengan diberikan modal emas untuk perang oleh Kakaknya Pakubuwono II. “Sembilan tahun lamanya perang hingga Baron Van Imhof tewas di Benteng Ungaran, lalu penggantinya Nicholas Harting mengajak perdamaian kepada Pangeran Mangkubumi di Desa Giyanti 1755. Setelah perjanjian selesai, Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan HB I. Beliau memilih nama kerajaan itu Ngayogyakarta Hadiningrat tanggal 13 Maret 1755,” bebernya.
Saat memilih Ibukota, Pangeran Mangkubumi diberi wisik untuk memilih lokasi yang tengah-tengah Gunung Merapi dan diapit dua sungai besar. Kondisi tanah itu melengkung berbentuk seperti tempurung kura-kura sehingga sampai sekarang di Jogja tidak pernah banjir. “Ia memilih hutan belantara bernama Hutan Beringan yang ada dusun kecilnya bernama Pacetokan dan ada mata air yang jernih, namanya Umbul Pacetokan,” katanya.
“September 1755, dibabatlah Hutan Beringin dan menjadi kota Yogyakarta sampai saat ini. Untuk mengenang Hutan Beringin dibangun Pasar Beringharjo. Dusun Pacetokan menjadi Kraton Yogyakarta dan Umbul Pacetokan menjadi Taman Sari,” tambahnya.
Dari Ambarketawang Gamping, Sultan HB I boyongan pindah ke Keraton Ngayogyakarta saat ini masuk melalui Magangan, Pasar Ngasem dengan ditandai Prasasti Dwinogo Roso Tunggal.
“Sultan HB I dalam membangun ibukota Yogyakarta lebih mementingkan aspek filosofi. Kota Jogjakarta satu-satunya kota di dunia yang memiliki makna filosofi berdasarkan UNESCO misal meletakkan Tugu dan Panggung Krapyak yang disebut sumbu filosofi. Lalu, sumbu imaginer, sangkaning paraning dumadi dari Gunung Merapi, Tugu, dan Laut Selatan,” imbuhnya.
Selain sosialisasi sejarah Yogyakarta, juga dilakukan sosialisasi Koperasi Jaladipa yang berdiri sejak tahun 2016. Koperasi Jaladipa memberikan fasilitas dan kemudahan bagi masyarakat.
Koperasi yang bergerak di bidang transportasi ini menaruh perhatian serius bagi para pekerja yang bermata pencaharian sebagai pengemudi angkutan umum berbasis aplikasi online. Hal ini dilakukan mengingat adanya ribuan pelaku usaha jasa transportasi yang membentuk koloni dengan ratusan anggota yang tidak berbadan hukum.
Sementara sesuai aturan pemerintah setiap individu yang bergerak di bidang transportasi harus memiliki badan hukum. ?Dengan koperasi ini setiap kebutuhan individu, termasuk perlindungan hukum bisa didapatkan,? kata Direktur Bisnis Koperasi Jaladipa Toni Jaladipa di sela kegiatan pawiyatan pamong untuk driver online.
Nantinya, kemudahan yang bisa didapatkan driver, di antaranya kepemilikan unit mobil, motor, handphone, dan sarana penunjang lainnya. Para driver bisa mendapatkan unit dengan sistem cicilan murah. (jat)