Berita Nasional Terpercaya

Demokrasi Kita Sarat Politik Transaksional

0

KOTAYOGYAKARTA, BERNAS.ID- Demokrasi identik dengan alat untuk mencapai kekuasaan yang dianggap ideal saat ini. Namun, dalam prakteknya, untuk mencapai kekuasaan itu diselipi politik transaksional.

Drs HM Idham Samawi, Anggota DPR MPR RI, mengatakan demokrasi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan tidak tabu kalau dalam perjalanan tujuan itu tidak sampai.

“Kita harus mengoreksi alatnya karena demokrasi bisa berada dalam politik transaksional,” katanya Diskusi Kebangsaan XXIV bertajuk “Demokrasi dalam Politik Transaksional”, Resto Cangkir, Bintaran, Sabtu 23 Februari 2019.

Terkait politik transaksional, Idham menceritakan pernah ada satu kampung, bukan di daerah DIY, sebelum pemilu caleg dan capres tahun 2014, di depan rumah, ditulis menerima serangan fajar. “Saya foto, saya simpan. Seperti itu yang terjadi, ilustrasi kecil,” ujarnya.

Ia pun bercerita lagi tentang politik transaksional yang terjadi di daerah Yogyakarta. “Ada Pak Lurah, di sebuah Desa di DIY, ngomong, kami tahu Pak Idham mau maju DPR dari Dapil DIY. Kami sepakat untuk mendukung Pak Idham. Kami punya daftar DPT dan fotokopi KTP. Bila berkenan, Bapak Idham untuk memberikan setiap pemilih, 80 ribu rupiah,” bebernya.

“Saya jawab, Pak Lurah, agama dan orangtua saya melarang melakukannya. Lebih baik saya tidak jadi DPR RI daripada dengan cara demikian. Rusak kalau bangsanya seperti ini,” ujarnya.

Idham pun mengatakan demokrasi kita ini demokrasi sing ora cetho, bahkan lebih liberal daripada Amerika ketika urusan pemilu. “Menurut saya ada yang salah,” katanya.

Sedangkan, Drs Mohammad Najib, Msi, Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia Yogyakarta mengatakan demokrasi itu prakteknya seringkali mengecewakan karena hal-hal yang tidak sesuai dengan konsep idealnya.

“Dari hulu sampai hilir, demokrasi sarat dengan praktek money politic. Ketika memilih ketua umum partai sarat dengan praktek jual beli suara. Tradisi transaksional bukan rahasia lagi,” katanya.

Lalu, ketika menjadi anggota dewan, Najib menyebut ketika membuat kebijakan juga harus terlibat praktek jual beli suara. “Terkait money politic, pengertiannya adalah suatu upaya memengaruhi orang lain dengan imbalan materi, misal membujuk dengan uang bukan dengan cara keyakinan,” jelasnya.

“Bisa duit partai, bahkan duit para pemilihnya,” imbuhnya.

Terkait modus-modus money politic, Najib menyebut beberapa kategorinya. Pertama, pembelian suara dengan uang atau barang seperti sembako kepada pemilih. “Kalau pemberian dilakukan secara terus-menerus akan sulit untuk melepaskan diri untuk memilih,” katanya.

Kedua, Najib menyebut pemberian barang pribadi yang biasanya barang kenang-kenangan, misal kalau yang suka burung, dikasih burung dan kandang-kandangnya. Ketiga, pemberian dalam bentuk aktivitas, senam bareng, atau tanggapan, serta ambulan gratis. Keempat, pemberian barang-barang kelompok, yang disuap komunitas atau asosiasi, misal dengan genset, tenda, dan modal.

“Kelima, pemberian dalam proyek, ketika sudah terpilih, anggaran publik yang ada untuk membangun jembatan atau jalan di daerah para pemilihnya dulu. Itu menyalahgunakan kebijakan,” tambahnya.

Najib pun menyebut politisi sekarang pintar-pintar karena kalau membagi uang tidak melalui dirinya sendiri-sendiri, tapi melalui tim sukses atau relawan. “Terjadinya money politic karena semakin menguatnya budaya pragmatis dan permisif. Saat ini budaya tidak peduli semakin kuat. Yang penting dirinya untung dan aman,” ujarnya.

Mantan Ketua Bawaslu DIY ini juga merasa tidak percaya kalau ada deklarasi desa anti money politic. “Saya khawatir itu hanya formalitas saja. Tidak ada jaminan untuk tidak melakukan money politic,” tukasnya.

Sementara itu, Dr Hamdan Daulay, Msi, MAWakil Dekan II Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga mengatakan karakter demokrasi, yaitu semua punya hak setara untuk memilih. Namun, ia menyebut masih adanya politisi yang melakukan politik transaksional atau istilahnya politik dagang sapi, ada yang memberi dan menerima dengan lebih mementingkan kelompoknya.

“Politisi yang menggunakan politik transaksional merugikan kepentingan keadilan sosial rakyat. Identik dengan politik yang kolutif, tidak kompetitif,” katanya.

Ia mengatakan jika antara penguasa dengan masyarakat sipil sudah berkolusi akan mengikis daya kritis dan kontrol sosial. “Tidak berani mengatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah,” katanya.

Hamdan pun menyebut politik transaksional akan menghalalkan segala cara sehingga muncul ujaran kebencian, hoaks, fitnah dan media massa tidak bisa netral karena mementingkan kepentingan kelompok. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.