Gadis TK Hidup Tak Layak Bersama Kakek di Tengah Kota
PURWOREJO, BERNAS.ID –Sungguh ironis di tengah hiruk-pikuk masyarakat perkotaan yang hidup serba wah, ada gadis kecil berusia Taman Kanak-kanak (TK) hidup bersama kakek-nenek tua renta di rumah yang sangat tak layak. Gadis kecil bernama Cindy Uristiyanti (7) yang ditinggal pergi sang ayah entah kemana sejak lahir dan sang ibu yang tinggal di panti rehabilitasi jiwa karena mengalami gangguan jiwa itu, kini tinggal bersama sang kakek Cokro Utomo Parimin (72) dan neneknya Tukiyem (70) di sebuah rumah tak layak di RT 03/RW 01 Desa Kledung Karangdalem, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo.
Setelah ditinggal kedua orangtuanya, Cindy dididik dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak usia tiga bulan. Kedua orangtua Cindy berpisah sejak ia lahir. Ayahnya merantau di Jakarta menjadi buruh, sementara ibunya mengalami gangguan jiwa sehingga kini tinggal di panti rehabilitasi jiwa di Purworejo setelah beberapa kali masuk rumah sakit jiwa di Magelang.
“Saya merawat Cindy sejak usia tiga bulan. Kedua orangtuanya berpisah,” kata Parimin (72), sang kakek, dalam bahasa Jawa yang kental saat ditemui Bernas.id di rumahnya di RT 03/RW 01 Desa Kledung, Karandalem, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2019).
Ketika Bernas.id mendatangi sekolah Cindy, TK Perintis Kledung Karangdalem yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumahnya, ia duduk agak terpisah dari temannya. Cindy tampak murung dan diam, entah apa yang ada dalam benaknya. Ia baru bergeser perlahan saat diminta Kepala TK Kismiyati untuk merapat bergabung dengan temannya di ruang kelas yang berada di belakang Kantor Desa Kledung Karangdalem itu.
Tidak seperti teman-temannya yang selalu ceria dan langsung menjawab setiap kali ditanya, Cindy tampak pelit berbicara. Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun ketika ditanya Bernas.id mengenai perasaannya saat bermain bersama teman-temannya. Begitu pula saat ditanya cita-citanya kelak ketika dewasa, Cindy hanya berbisik tanpa suara menyebut kata dokter.
Menurut Kismiyati, Kepala TK Perintis Kledung Karangdalemi, Cindy memang sangat berbeda dibanding teman-teman sekelasnya. “Mungkin merasa minder dengan kondisi rumah kakeknya yang sangat sederhana,” kata Ibu Kismiyati setengah menduga.
Dikatakan, pada awal masuk TK tersebut, Juli 2018, Cindy secara tak sengaja datang ke TK tersebut. Melihat kondisi Cindya yang sangat memprihatinkan, Kismiyati mengajak Cindy untuk bersekolah. “Bajunya kotor, rambutnya panjang dan banyak kutunya. Pokoknya lusuh. Namun, kami mengajak untuk masuk TK. Dan ketika masuk TK, kami memberikan baju, sepatu dan seragam secara gratis. Rambutnya dipotong dan didandani sehingga bersih hingga sekarang,” kata Ibu Kismiyati seraya menyebutkan bahwa Cindy hanya membayar SPP Rp 50.000 per bulan dan selebihnya tidak membayar apa pun alias gratis bahkan baju seragam, sepatu dan lain-lain gratis.
Seorang guru lainnya, Widihediyanti, mengatakan bahwa mereka menginginkan Cindy masuk SD umum setelah lulus TK, bukan masuk SLB seperti permintaan sebagian warga. “Banyak yang bilang setelah lulus TK, Cindy masuk SLB saja, tapi kami bilang tidak, dia harus masuk SD umum karena sebenarnya anaknya normal. Kalau sekarang kondisinya seperti ini bisa jadi karena ia sempat dididik ibunya yang mengalami gangguan jiwa,” kata Widhihediyati.
Setiap hari, Cindy diantar-jemput sang kakek dengan sepeda onthel yang sudah butut/karatan. Dengan segala keterbatasan, sang kakek dengan setia mengantar-jemput sang cucu ke sekolah. Ketika ia terlambat menjemput karena sepeda onthelnya rusak atau karena alasan lain, guru-guru di sekolah tetap mendampingi Cindy sampai sang kakek datang. “Bu guru pasti tunggu sampai saya datang menjemput,” kata Cokro Utomo Parimin yang pendengarannya sedikit terganggu.
Boleh jadi apa yang dialami Cindy saat ini sebagai akumulasi dari kondisi kedua orangtuanya yang berpisah (cerai), lebih-lebih setelah sang ibu kemudian mengalami gangguan jiwa dan tinggal di panti rehabilitas. Hal ini diperparah dengan kondisi kakek-nenek Cindy yang tinggal di rumah tak layak. Rumah dengan tembok berwarna putih kusam dan berlumut itu berlantai tanah. Meski pada siang hari, kondisi rumah berusia puluhan tahun warisan mbah buyut Cindy itu gelap dan pengap karena hampir tak ada ventilasi udara.
Rumah tersebut terdiri tiga bagian/ petak besar yang memanjang dari timur ke barat. Di bagian depan, terdiri dari ruang tamu di sisi barat atau kanan dari pintu masuk dengan tiga kursi lusuh dan sebagian sudah jebol, sementara di sisi timur atau kiri adalah ruang tidur terbuka Cindy bersama sang kakek dengan sebuah dipan yang dipenuhi pakaian yang bertumpukkan tak teratur.
Sementara di bagian tengah juga terdiri dari dua kamar. Kamar sebelah barat untuk tempat tidur sang nenek yang juga dipenuhi tumpukkan pakaian, sementara di sisi timur tempat menyimpan berbagai barang kebutuhan dapur. Sedangkan petak bagian belakang terdiri dari dapur (sebelah barat) dan tempat cuci di sisi timur. Selain gelap, kondisi rumah tampak basah/ lembab sehingga terasa pengap.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Cokro Utomo Parimin mengaku bekerja sebagai buruh tani dengan upah Rp 50.000 per hari. Dan itu pun kalau ada pekerjaan. “Kalau pas tidak ada pekerjaan ya mengandalkan kiriman dari anak saya di Jakarta. Kalau kirim antara Rp 200 ribu-Rp 300 ribu dan kadang Rp 500 ribu tapi sangat jarang,” kata Parimin yang mengaku memiliki 4 anak, dua tinggal di Jakarta, seorang merantau di Jambi dan satu lagi berada di Purworejo, yakni ibunya Cindy yang kini tinggal di panti rehabilitasi jiwa.
Subardadi, Ketua RT 01/RW 01 Kledung Karangdalem yang mengantar Bernas.id ke rumah Parimin mengatakan, kondisi Parimin memang memprihatinkan. Selain mendapat upah sebagai buruh tani, ia juga mendapat bantuan dari pemerintah berupa raskin. Hal ini juga dibenarkan Sunaryo, Staf Kantor Desa Kledung Karandalem. Namun, Sunaryo sendiri mengaku tidak tahu persis bantuan apa saja dari pemerintah yang diberikan kepada Parimin. “Maaf soal bantuan untuk Mbah Parimin saya tidak tahu persis. Pak Lurah mungkin yang bisa menjelaskan,” kata Sunaryo.
Bernas.id belum mendapatkan informasi/konfirmasi dari Lurah Kledung Karangdalem karena sedang tidak berada di tempat. Parimin sendiri mengaku mendapat Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari pemerintah, namun ia mengaku tidak tahu soal bantuan lainnya. “Saya dapat KIS,” kata Parimin yang tak bisa berbahasa Indonesia ini.
Apa yang dialami Parimin, terutama kondisi rumah yang tak layak, sungguh ironis. Betapa tidak, rumah yang sebenarnya berada di wilayah perkotaan dan tak jauh dari jalan utama menuju kota Purworejo itu luput dari perhatian pemerintah setempat. Padahal banyak program pemerintah maupun swasta dalam hal bedah rumah, namun rumah Parimin yang- maaf-mirip kandang hewan itu, sama sekali tak tersentuh oleh program peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk program bedah rumah. (lip)