Berita Nasional Terpercaya

Golput Dipengaruhi Faktor Administrasi dan Ideologi

0

JOGJA, BERNAS.ID- Menurut Robert A Dahl, dalam demokrasi, selain kompetisi, kesuksesan sebuah pemilu ditandai dengan partisipasi masyarakat. Namun, fenomena golput (golongan putih) atau mereka yang tak menentukan pilihan tak dipungkiri bisa menurunkan partisipasi masyarakat.

Jamaludin Ghafur, SH, MH, Pengajar hukum Tata Negara dan peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII mengatakan dalam demokrasi, pemilu menjadi sarana rakyat untuk memberikan suaranya maka menjadi penting partisipasi masyarakat.

“Menjadi penting seberapa besar rakyat kita antusias memilih. Kemerosotan partisipasi berarti kemerosotan demokrasi,” katanya dalam diskusi dengan awak media dengan tajuk “Golput Tanggungjawab siapa?” di Ruang Sidang PSHK, Kotabaru, Jumat 15 Maret 2019.

Jamaludin mengatakan kekuasaan itu harus legal, benar secara hukum dan mempunyai legitimasi, didukung masyarakat luas. “Kekuasaan yang diperoleh penguasa bisa dipertanyakan legitimasinya karena pernah ada kepala daerah yang angka legitimasinya lebih rendah dari angka golput,” ujarnya.

“Partisipasi, mengharuskan ada pertimbangan-pertimbangan yang rasional untuk memberikan suara. Bukan seperti saat ini sebagian masyarakat memilih karena money politics,” imbuhnya.

Ia pun memuji KPU yang menargetkan angka 77, 5 persen untuk partisipasi masyarakat, sebab demokrasi tidak mungkin 100 persen. “Partisipasi itu ada dua, yaitu partisipasi sukarela atas kemauan sendiri dan partisipasi mobilisir, misal ada ancaman. Selain itu, problem partisipasi yang lain, yaitu kekacauan dalam menentukan DPT antara instansi yang satu dengan yang lain. Data kependudukan kita tidak pernah beres, misal syarat  pemilu harus sudah melakukan e-KTP, tapi masih ada warga yang belum e-KTP,” bebernya.

Selain itu, ia juga menyebut adanya temuan Bawaslu tentang data ganda yang hampir 1 juta dan kini sudah ditindaklanjuti sehingga akan berkurang. “Golput seringkali muncul  juga karena kecewa performa partai politik,” ucapnya.

Sedangkan, Puguh Windrawan, Kepala Departemen Politik Hicon Law & Policy Strategic lebih berbicara ke arah politik praktis. Ia pun menyoroti jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya pasca Reformasi bahwa antara pemilu tahun 1999 dan 2015 ada trend meningkat jumlah pemilih golput sekitar 30 persen dari jumlah pemilih yang tidak golput.

“Ini mengkhawatirkan bagi demokrasi meski golput ini sebuah hak,” tuturnya.

Puguh pun melihat pemilu tahun 1971 sebagai pemilu yang agak berbeda karena parpol menjadi sedikit atau ada partai yang dilikuidasi dari jumlah partai yang sangat banyak pada pemilu 1955.

“Saat itu, ada demonstrasi besar. Saat itu, golput dimaknai sebagai perlawanan ideologis karena sistem yang tidak transparan, tapi saat ini, golput mengalami pendangkalan makna karena terjadi karena alasan liburan dan kendala administrasi, belum perekaman e-KTP dan tempat tinggal jauh dari TPS,” imbuhnya.

Puguh mengatakan sebetulnya kontestasi politik seperti pemilu itu kompleks, tapi saat ini pemilu hanya terfokus ke pemilihan presiden, padahal kita punya DPR, DPD, DPRD. “Itu menjadi terlupakan. Kita lihat dewasa ini pertempuran ada di media sosial yang hanya fokus kepada dua calon presiden,” ujarnya.

“Polarisasi juga  terjadi, pendukung arus bawah melakukan pembenaran terhadap calon presiden yang didukung, entah itu akademisi atau tidak. Meski calon presiden kita itu melakukan kesalahan, akan ada pembenaran-pembenaran di arus bawah. Kita tidak melihat kontestasi yang sehat,” urainya.

Puguh mengatakan golput ideologis saat ini terjadi karena di dalam dua calon presiden menemukan banyak kelemahan dan tidak percaya pada sistem pemilu dengan 2 isu besar, yaitu (1) Isu HAM,  tidak memenuhi ekspektasi terkait HAM, misal soal penegakan dan bagaimana harus bertanggungjawab dan (2) Merebaknya kabar hoaks sehingga orang akan jengah ketika banyak menemukan hoaks bersautan di media sosial sehingga tidak lagi melihat program-program dari kedua calon presiden.

“Golput di media sosial pun terkonsentrasi pada Pulau Jawa, banyak diikuti kalangan terdidik yang lepas dari pendidikan formal,” tandasnya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.