Berita Nasional Terpercaya

Diskusi Fisipol UGM, Persoalan Papua Tak Sederhana, Banyak Kerepotan

0

SLEMAN, BERNAS.ID- Persoalan di Papua nyatanya tidak mudah untuk disederhanakan karena memiliki banyak kerepotannya tersendiri. Mulai dari urusan listrik, indeks kemajuan manusia yang rendah, tingginya kematian anak, dan penduduk asli yang menjadi minoritas, misal di wilayah pesisir Papua.

Dalam diskusi bertajuk “Papua dan Kebangsaan”, Profesor Moehtar Mas'oed, Guru Besar Fisipol UGM mengatakan konflik massal dengan kekerasan langsung lebih sering terjadi. “Sebelumnya, aparat negara melawan warga, tapi akhir-akhir ini, warga melawan warga. Kekerasan itu membuat manusia tidak mengaktualisasi diri,” ujarnya di Digilib Cafe Fisipol UGM, Jumat 6 September 2019.

“Menurut saya makin memburuk, kekerasan semakin horisontal sehingga dapat dianggap persoalan semakin memburuk,” imbuhnya.

Di sisi lain, Prof Mas'oed mengatakan upaya pemerintah untuk meningkatkan pembangunan nasional dengan mengintensifkan ektrasi sumber daya di daerah, terutama akumulasi kapitalisasi yang dipercepat juga mendorong warga untuk terus kompetitif. “Namun, secara sosiologi, kompetisi seperti itu akan berbenturan dengan pemerataan dan menimbulkan ketimpangan. Dampaknya, yang berhasil ya berhasil, nanti akan memunculkan pengkategorian kelompok masyarakat, misal tentang kepemilikan harta (orang kaya-red) yang dulu tidak ada menjadi ada,” katanya.

“Dampaknya, ketertinggalan akan dianggap lumrah. Bagi yang tidak berhasil, akan menganggap ketidakadilan, tapi yang berhasil juga akan menganggap kelumrahan,” imbuhnya.

Alhasil, menurut Prof Mas'oed jurang beda yang struktural ini akan menimbulkan kemerosotan toleransi antarkomunal terutama di kalangan penduduk asli. Ia pun menyebut kebijakan pembangunan ekonomi yang selalu menyesuaikan permintaan pasar dunia pasti tidak akan peka terhadap sektor sosio-kultural.

“Akan terjadi juga ketimpangan antarpelaku ekonomi sehingga muncul kompetisi tidak sehat antara pengusaha besar dan usaha mikro kecil. Ketegangan seperti inilah yanh mudah sekali mendorong terjadinya konflik, kalau ada peluangnya,” katanya.

Efeknya, Prof Mas'oed menyebut ada kecemasan massa akibat kehilangan atas urusan sendiri dan tidak mampu untuk ikut serta dalam pembuatan kebijakan publik yang mempengaruhi masa depan. Di sisi lain, ada dilema melting pot, yaitu mendatangkan penduduk luar atau sebuah migrasi yang terjadi demi memenuhi kebutuhan dari lokal (Papua-red) akan sumber daya manusia, tapi yang terjadi malah hilangnya kendali atas lokal.

Apa yang harus dilakukan?

Prof Mas'oed menjawab Subsiadiarity, yaitu kalau di dalam keluarga sudah bisa menyelesaikan persoalan, Pak RT tidak boleh campur tangan, dan seterusnya. Lalu, memperkuat citizenship, memberikan kesetaraan yang sama pada semua orang, seperti layanan untuk masyarakat atau hak untuk berserikat, berpendapat, dan berkumpul. Yang kedua, Solidarity, yaitu merajut kembali jejaring antar sesama warga.

Untuk mencapai kedua hal itu, Prof Mas'oed menyebut prasyaratnya, yakni kesatuan nasional dalam bentuk toleransi rasial dan religius dan penghargaan kesetaraan atau kendali warga atas urusan kolektif atau publik. “Kesetaraan di antara warga dalam pengendalian urusan umum,” ucapnya.

“Kita ini mau berdemokrasi, tapi tidak siap karena yang mayoritas gampang membully yang minoritas. Untuk itu, harus dimulai dengan saling menghormati dalam hal tradisi, keyakinan, dan ras. Juga melepaskan beban prasangka masa lalu, jangan terjadi lagi seperti kejadian di Bandung itu, ada polisi memberi minuman keras,” tuturnya.

Sedangkan, Dr Gabriel Lele yang berasal dari Papua tak memungkiri adanya kemajuan dari otonomi khusus yang diberikan ke Papua. “Kalau melihat perkembangan dari Otsus, saya jawab iya ada progres di Papua,” katanya.

Ia pun menghimbau agar tidak membandingkan capaian Papua dengan provinsi lain karena dari tahun-tahun, ada capaian tersendiri di Papua. “Jangan melihat dari data-data Makro, misal angka rata-rata kelulusan karena angka kelulusan di Papua itu tinggi, tapi mohon maaf, kualitas lulusan SMA di Papua masih setara dengan kelulusan kelas 3 SD terkait Calistung,” ujarnya.

“Pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi siapa yang menikmati. Untuk itu, kalau kita ingin memahami Papua, jangan konstruksi yang monolitik, Papua itu jauh lebih beragam dari Indonesia,” imbuhnya.

Ia pun menyebut untuk itulah intervensi pemerintah pusat yang selalu memiliki rumusan tunggal monolitik dalam melihat Papua itu selalu gagal. “Banyak Papua-papua mini atau bangsa-bangsa Papua kecil yang berbeda antara satu dengan yang lain di Papua. Orang Papua dari pantai pesisir atau orang Papua dari gunung tidak pernah akur. Belum lagi antarsuku, misal pilkada Intan Jaya, sampai sekarang belum jalan pemerintahannya, karena bupatinya dari orang Dani, bukan orang Moni. Orang Moni bilang ke Bupati dari Dani, urus saja sana Orang Dani,” bebernya.

Dr Gabriel pun mengingatkan jangan lupa di Papua itu konflik justru sebagai penyelesaian konflik. Kalau mendengar Festival Lembah Baliem dan Lembah Sentani, itu salah satu cara untuk melembagakan konflik,” katanya.

Terkait kerusuhan yang terakhir terjadi, Dr Gabriel merasakan ada perbedaan dengan yang lalu. “Konflik baru-baru ini sifatnya sangat masif, terencana, dan teroganisir,” ucapnya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.