Jokowi Dikirimi Nota Keberatan dari Jogja
SLEMAN, BERNAS.ID- Santer kabar revisi UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di DPR RI dianggap banyak pihak melemahkan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Untuk itu, jejaring pusat kajian hukum dan antikorupsi perguruan tinggi seluruh Indonesia ikut menyatakan sikap menolak RUU KPK melalui aksi pengiriman nota keberatan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) FH UGM.
Aksi pengiriman nota keberatan kepada Presiden Joko Widodo dihadiri oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Dekan Fakultas Hukum UGM, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) FH UGM, Pusat Kajian Antikorupsi FH UNDIP, Pusat Studi Transparansi Publik dan Antikorupsi (PUSTAPAKO) UNS, dan masih banyak lagi.
Kemarin, Selasa (10/9), Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengirim surat presiden (surpres) ke DPR hari itu juga terkait dimulainya pembahasan revisi Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK meski sampai hari ini, Rabu (11/9), DPR belum menerima surat presiden tersebut.
Menyikapi hal itu, Agus Rahardjo, Ketua KPK RI di Korupsi RI, Dekan Fakultas Hukum UGM, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) FH UGM berharap agar hati Presiden Jokowi diubah oleh Allah SWT sehingga mengurungkan niat mengirim surat presiden tersebut. “Saya sangat masih berharap Presiden diubah hatinya oleh Allah SWT. Semoga Pak Jokowi digerakkan hatinya oleh Allah SWT,” ujarnya saat konferensi pers Aksi Pengiriman Nota Keberatan kepada Presiden Joko Widodo, Rabu 11 September 2019.
Agus mengatakan KPK itu bisa berhasil karena dukungan dari media massa dan seluruh rakyat Indonesia yang konsern terhadap pemberantasan korupsi. “Nanti, kalau itu terjadi (revisi UU KPK-red), kita tanya teman-teman yang selalu mendukung kita karena dukungan kepada kita sangat masif,” ujarnya.
Agus mengatakan Indonesia seharusnya menuju untuk memperbarui UU Tipikor (bukan malah merevisi-red) yang mulai memperhatikan sektor swasta dengan trading influence yang uangnya tidak kelihatan, bukan malah kembali (setback) ke era sebelum Reformasi yang menimbulkan krisis waktu itu. Ketua Lembaga Antirasuah ini mencontohkan negara seperti Singapura yang sudah melakukan penindakan korupsi, tidak hanya kepada penyelenggara negara. “Singapura itu memulai lembaga seperti KPK sejak tahun 1952 saat masih di bawah protektorat Inggris. Saya saja belum lahir waktu itu,” katanya.
“Kenapa Singapura bisa bersih betul karena mereka menindak tidak hanya penyelenggara negara. Di sana sopir truk, operator forklift, pedagang ikan, atau restoran yang nyogok pihak hotel agar menerima suplainya, ditangkap. Gratifikasi dalam bisnis itu atau fee dalam bisnis terlarang betul,” imbuhnya.
Ketua KPK ini pun merasa prihatin karena mestinya Indonesia sudah menuju ke tahap memperhatikan korupsi di level private sektor atau swasta itu. Kalau pembahasan revisi UU KPK dimulai, Agus mengingatkan tentang amanat Reformasi yang terwujud dalam keputusan MPR, misal No.11 tahun 1998 terkait penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dan No.8 tahun 1998 terkait rekomendasi roadmap pemberantasan korupsi akan dibawa ke mana. “Jadi ini pesan yang sangat penting, jangan lupa kepada sejarah dan amanat reformasi karena itu kita harus berjalan di atas amanat itu. Saya sangat mohon kepada penerus-penerus pemerintah ini karena kita sudah melewati zaman reformasi,” tuturnya.
“Kalau tidak ada zaman Reformasi, tidak mungkin akan ada pilihan langsung, yang mendudukkan Presiden Jokowi menjadi presiden karena demokratisasi yang terjadi waktu itu. Mestinya kita malah memperbarui agenda kita mengenai korupsi, ini kita malah balik kepada waktu itu yang menimbulkan krisis. Apa kita mau krisis lagi?”imbuhnya.
Agus pun berpesan agar tidak melupakan semangat Reformasi. “Mestinya perubahan yang kita lakukan selalu searah dengan tata kelola dan perbaikan sistem yang lebih baik,” ucapnya berpesan.
Sedangkan, Oce Madril, Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM mengatakan ada dua kemungkinan untuk menolak UU Tipikor KPK hasil revisi. “Sebagai warga masyarakat, kita bisa mengupayakan langkah hukum untuk menggugat pelanggaran-pelanggaran prosedur ini dan kebijakan yang kita nilai sangat bertentangan dengan amanat reformasi dan Tap MPR,” katanya.
“Gugatan itu sangat mungkin dilayangkan kepada dua kekuasaan itu (DPR dan Presiden-red). Kalau memang ini dibahas, pelanggaran prosedur atau cacat formil akan menjadi bukti lanjutan di dalam sebuah gugatan hukum, apakah itu di Mahkamah Konstitusi di tahapan akhir,” imbuhnya.
Secara formil, menurut Oce, UU Tipikor KPK hasil perubahan tersebut dibentuk dengan cara melanggar hukum. “Sudah ada preseden UU yang dibentuk dengan cara pelanggaran secara formil itu akan dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi ada potensi besar itu,” katanya.
“Kami mengingatkan kepada presiden, jangan mau melakukan pembahasan yang jelas-jelas melanggar prosedur karena ujungnya apabila ada langkah hukum yang dilakukan, kemudian proses dibatalkan nanti akan menurunkan wibawa Presiden dalam konteks pembuatan undang-undang,” imbuhnya.
Terkait surat presiden sendiri, Oce menyebut bisa dipersoalkan secara hukum. “Gugatan administratif bisa dilakukan kepada pemerintah karena alasan yang sangat konkret bahwa surat itu keluar dengan cara melanggar prosedur seperti yang dijelaskan terang-benderang dalam pasal 49 dan pasal 66 UU No.12 Tahun 2011,” terangnya.
“Kemungkinan caranya bisa tiga, pertama PTUN, kedua gugatan warga negara di pengadilan umum, dan terakhir Judicial Review ketika bukti-bukti cacat formil itu kita lihat,” tutupnya. (jat)