Berita Nasional Terpercaya

Membangun Desa Anti Politik Uang: Sebuah Ikhtiar

0

SEANDAINYA masyarakat kita tanya perihal Pemilu atau Pilkada dan penegakan hukum pemilu di Indonesia, apakah bagus, sedang atau malah buruk. Bisa jadi mereka secara berjamaah akan menjawab atau justru balik mengembalikan pertanyaan kita, bagaimana dengan politik uang, apakah sudah tertangani dan ditindaklanjuti atau belum. Kalau politik uang tidak ada, maka pemilu di Indonesia dianggaplah sukses dan demokratis.

Harapan masyarakat di atas saya pikir ada benarnya, bahwa indikator pemilu sukses di antaranya adalah minimnya pelanggaran pidana pemilu di masyarakat, entah dilakukan oleh kontestan peserta pemilu ataupun publik yang melaksanakan pemilu sekaligus juga penyelenggara pemilunya. Satu di antara harapan mereka adalah pelanggaran pemilu berupa politik uang yang sudah menggurita bahkan membudaya ini harus hilang dulu sebagai prasyarat pemilu kita berjalan baik dan demokratis. Selama masih ada ?sedekah politik? ini niscaya penyelenggaraan pemilu sampai kapanpun ya tidak akan bergeser pada paradigma pembodohan masyarakat terutama dalam pendidikan politik.

Politik uang, kalau kita kaji, merupakan satu penyakit akut, ibarat kanker sudah memasuki stadium empat, yang terus menghampiri setiap penyelenggaraan pemilu. Bagaimana tidak, definisi teoritisnya politik uang adalah suatu bentuk pemberian janji atau janji menyuap seseorang supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilu. Definisi bebasnya adalah pertukaran uang dengan sebuah kebijakan atau keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi sesungguhnya membawa pada kepentingan partai/kelompok/komunitas maupun pribadinya. Kaitannya dengan bentuk politik uang ini pun bermacam-macam bisa uang (cash money), fasilitas umum, pemberian fasilitas lain yang dilarang dan sebagainya.

Menilik pengalaman dari pemilu satu ke pemilu lainnya, praktek politik uang baik berupa pemberian janji-janji maupun materi uang/barang kepada pemilih biasanya terjadi di kalangan masyarakat grassroot yang memang rentan terhadap praktek ini, bisa per individu, kelompok masyarakat, dusun, desa, dan sebagainya. Mereka menjadi bahan komoditi pasar yang bisa dijualbelikan sesuai dengan modal-kapital dari kontestan. Mereka yang biasa berpolitik uang maka bisa mendapatkan uang pangkal satu caleg, dua caleg atau bahkan akumulasi beberapa caleg biasa disebut sebagai makelar politik uang.

Dampak Politik Uang

Politik uang dalam segala bentuknya mempunyai dampak destruksi untuk tatanan demokrasi di Indonesia. Banyak kalangan menyebut setidaknya ada empat (4) poin yang bisa menyebabkan demokratisasi di Indonesia tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Pertama, politik uang bisa merendahkan martabat rakyat, bagaimana tidak hakikatnya hak politik, hak menentukan pilihan mereka harus tergadaikan dengan kepentingan sesaat, uang recehan, sembako murahan dsb. Kedua, Politik uang berimplikasi pada ketidakjujuran dan berujung pada nalar dan mental korupsi. Seperti kita tahu bersama, politik uang akan menjadi embrio bagi tumbuh kembangnya persoalan korupsi di Indonesia. Ketiga, politik uang menyebabkan kaderisasi politik terhenti, bahwa caleg-caleg yang jadi dan terlantik adalah mereka yang mampu meyakinkan rakyatnya dengan cara disuap, disogok, dan diming-imingi berbagai jawaban kebutuhan mereka. Dan rata-rata mereka yang berbuat demikian adalah caleg-caleg baru yang baru saja merambah dunia perpolitikan, sehingga bila ingin dikenal di masyarakat secara instant, salah satunya menggunakan perangkat ini. Keempat, politik uang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap para pemimpin dan wakil rakyat. Sudah menjadi pembicaraan umum bila kemudian, caleg atau pemimpin yang terpilih bagaimana caranya bisa menunaikan janji-janjinya saat kampanye, dan bila tidak tertunaikan janjinya, sudah jelas dia akan ditinggalkan masyarakat mengingat janjinya hanya omong kosong.

Mengapa Politik Uang Masih Terjadi

Ada sebuah guyonan yang mafhum di masyarakat tentang politik uang ini, diibaratkan dengan orang yang kentut dan baunya menyebar kemana-mana tapi siapa yang kentut tidak ada yang tahu atau malah terkadang saling tuduh siapa yang kentut. Guyonan tersebut sebenarnya bisa menggambarkan persoalan ini sudah banyak didengar di masyarakat, namun lagi-lagi proses penegakan hukum yang sering terkendala terkait keterpenuhan unsur-unsurnya, entah pelakunya, alat buktinya atau unsur lainnya.

Pertanyaan mendasar kita, mengapa politik uang masih terjadi di masyarakat dan semakin massif saja bila mendekati hari pemungutan suara. Adakah persoalan mental pada diri kandidat yang cenderung berlaku praktis pragmatis asal jadi ataukah sebab masih adanya pasal-pasal karet dalam regulasi pemilu kita sehingga menjadi celah politik uang terus dilakukan, ataukah juga budaya masyarakat yang paradigmatik menerima politik uang karena ewuh pekewuh, ora ilok kalau tidak menerima, pemberian (baca: politik uang) adalah bagian dari sedekah dan sebagainya. Dan yang paling memperihatinkan kalau politik uang adalah sistemik, transaksi ekonomi antara kandidat dan masyarakat atau sebaliknya di mana berlaku supply and demand di antara mereka.

Selain sebab di atas soal politik uang ini bisa dianalisis dengan sudut pandang yang lain bahwa ada faktor sistem pemilu kita mendorong adanya politik uang sehingga masih terjadi, meski alasan ini bukan angka mati sebab politik uang. Sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam Pemilu umum kita mengharuskan seorang kandidat calon anggota legislatif (caleg) ataupun perseorangan berkompetisi tidak hanya dengan caleg dari parpol lain tetapi juga caleg dari parpol sendiri. Kompetisi yang intens di antara banyaknya kandidat juga berarti bahwa mereka hanya memerlukan sedikit suara agar bisa menjadi anggota legislatif.

Desa Anti Politik Uang, Sebuah Ikhtiar

Melihat dampak yang disebabkan oleh adanya politik uang, ketidakpercayaan terhadap pemimpin yang terus bertambah di masyarakat, keterwakilan yang sia-sia karena janji palsu dan sebagainya, sepertinya butuh sebuah ikhtiar bersama untuk mencegah, menolak, dan melawan politik uang. Sudah saatnya masyarakat diajak terlibat secara langsung untuk melek politik, melek bahaya politik uang, sadar diri bahwa mereka bukanlah obyek komoditas yang bisa dijualbelikan seharga lima puluh ribu rupiah, paling banter seratus ribu rupiah dalam 1 jam untuk kurun waktu lima tahun, tidak masuk akal bukan.

Pelibatan masyarakat secara aktif untuk turut mengawasi pemilu harus dimaksimalkan. Salah satu bentuk yang bisa jadikan gerakan sosial masyarakat adalah gerakan Desa Anti Politik Uang atau Desa APU, sebuah istilah bagi desa yang mampu meneguhkan dirinya menjadi kawasan yang akan menolak politik uang dan melawan segala praktik politik uang dalam pemilu ataupun pilkada, dengan cara mengorganisasikan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada dan membanguan niatan mulia secara berjamaah bahwa politik uang sejatinya adalah perbuatan hina dan merusak tatanan demokrasi dan kemasyarakatan yang ada.

Desa Anti Politik Uang (Desa APU) yang sudah digagas dan diinisiasi oleh Bawaslu DIY bersama dengan Bawaslu Kabupaten/kota serta didukung penuh oleh beberapa desa di DIY pada saat Pemilu 2019 yang lalu harus dilanjutkan. Paling tidak, ikhtiar ini menjadi bagian dari amal mulia, mengajak kepada kebaikan secara bersama-sama menolak dan melawan politik uang yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Pada Pemilu 2019 yang lalu tercatat setidaknya terdapat 38 desa se-DIY yang sudah dan akan terus menggelorakan serta melanjutkan komitmen pencegahan terhadap politik uang sekaligus menjadi pendidikan politik dasar masyarakat. Desa/Kelurahan yang merupakan entitas terkecil dari pemerintahan diyakini akan berjalan efektif menggerakkan masyarakat ke arah demokratisasi yang lebih baik. 38 Desa percontohan/pilot project sebagai Desa Anti Politik Uang (APU) terbagi di Sleman dengan jumlah 2 desa APU, Bantul dengan jumlah 11 desa APU, Kota Yogyakarta dengan jumlah 1 desa APU, Kulonprogo dengan jumlah 6 desa APU, dan Gunungkidul dengan jumlah 18 desa APU.

Demokratisasi kita saat ini sedang berjalan ke arah kemapanan (establish democracy), tentu kita tidak berharap jalan ini tidak terciderai oleh kualitas pemilu yang buruk disebabkan adanya masifitas praktek politik uang di masyarakat. Itulah ikhtiar yang harus dijalankan bersama-sama antara Bawaslu sebagai lembaga pengawas struktural Pemilu dan Pilkada dengan diback up penuh oleh kesadaran masyarakat untuk setia memberangus penyakit akut bernama politik uang ini sampai ke akar-akarnya, semoga.

(M Abdul Karim Mustofa, Ketua Bawaslu Kabupaten Sleman)

Leave A Reply

Your email address will not be published.