Ironi BPJS, Anggaran untuk Orang Miskin Dipakai Menalangi Orang Kaya
SLEMAN, BERNAS.ID- Perkiraan Defisit BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) saat ini sekitar 18 trilyun rupiah lebih. Untuk menalangi defisit BPJS itu, dana untuk orang miskin PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang bersumber dari APBN dipakai BPJS. Alhasil, setiap tahun dana PBI APBN sekitar 21 trilyun rupiah dari APBN, hanya tersisa 3- 4 milyar rupiah per tahunnya berdasarkan data tahun 2014-2018.
Prof dr Laksono Trisnantoro selaku Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM mengatakan dengan pola satu kantong di BPJS menimbulkan kesan ketidakadilan bagi masyarakat miskin karena dana orang miskin dipakai untuk menomboki defisit iuran BPJS dari Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang banyak diisi masyarakat mampu, tapi 45 persen menunggak pembayaran iurannya. “Tiga tahun defisit terus, semakin lama semakin meningkat. Kami sudah memperkirakan JKN itu bisa defisit,” ujarnya dalam konferensi pers di UGM, Selasa 8 Oktober 2018.
Ia memaparkan sistem satu kantong BPJS saat ini yang berisi tiga kategori, (1) PBI APBN yang terdiri dari sekitar 95 juta orang masyarakat miskin dan tidak mampu, (2) Pekerja Penerima Upah (PPU) sekitar 34 juta orang, dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) sekitar 32 juta orang. “Kalau sistem satu kantong itu, dana dari pemerintah akan tercampur. Otomatis bisa dipakai (BPJS-red) untuk kelompok lain yang minus iurannya. Tidak ada dipilah-pilah,” ujarnya.
“Konsekuensinya, kalau ini tidak diubah, keadaan akan semakin memburuk. Dana yang miskin untuk membiayai orang yang kaya,” imbuhnya.
Dengan premi yang murah dan dibuka selebar-lebarnya, kelas atas atau masyarakat yang mampu pun akan bertumpu pada BPJS dengan kegiatan tanpa batas akibatnya terjadi defisit, misal yang mahal itu biaya hemodialisis dan obat kanker. “Permasalahannya saat ini BPJS membuka pintu untuk orang kaya di PBPU dengan bisa naik kelas dan terjadilah defisit itu,” ujarnya.
“PBPU paling banyak membuat defisit dengan penggunaan sangat banyak dan premi sangat murah,” tambahnya.
Ia pun menyarankan BPJS membuat kompartemenisasi dengan membuat batas yang tegas antara PBI, PPU, dan PBPU agar anggaran dari ketiganya itu tidak bercampur seperti yang terjadi saat ini dalam satu kantong. “Kita mengamankan dana PBI untuk orang miskin dan tidak mampu. Dipakai yang miskin dulu, baru yang kaya,” ujarnya.
Profesor Laksono pun mencontohkan negara Thailand terkait sistem BPJS yang mereka kelola. “Di Thailand itu ada BPJS pekerja, BPJS PNS, dan BPJS orang miskin dengan anggarannya tidak boleh dipakai untuk sana-sini, misal BPJS orang miskin menalangi defisit BPJS PNS atau BPJS Pekerja,” ujarnya.
“Di Thailand sana, masyarakat mampu suruh menggunakan askes komersial saja kalau mau naik kelas. Di Thailand, ada slogan Proud to Pay jika bisa membayar jaminan asuransi kesehatan komersialnya sehingga tidak membebani APBN,” tambahnya.
Profesor Laksono pun menyarankan agar pemerintah daerah terlibat dalam pembiayaan defisit, semacam tanggungjawab dengan adanya revisi undang-undangnya. “Pemerintah daerah harus ikut menanggung defisit iuran BPJS sehingga harus ada revisi undang-undang agar memaksa pemda,” katanya.
“Misal BPJS di DIY itu habis 1 trilyun maka Pemda DIY harus ikut menyumbang 500 milyar untuk menutup defisit itu,” imbuhnya.
Selain itu, Profesor Laksono juga menyebut harus ada batas klaim, misalnya 200 juta per tahun atau adanya kelas standard yang tidak boleh naik kelas untuk PBPU. “Kalau ada biaya tambahan lainnya, bayar sendiri,” katanya.
Sebagai penutup, Profesor Laksono menegaskan sebaiknya tidak lagi menggunakan PBI dari APBN untuk menutup defisit PBPU.”Dana pemerintah harus mampu untuk masyarakat yang miskin dengan pelayanan yang bagus,” tandasnya. (jat)