Berita Nasional Terpercaya

Wayan Supadno : Teknologi, Inovasi dan Kreasi dalam Imajinasi

0

Prinsipnya, jika harga pangan naik jadi mahal berdampak pada kenaikan biaya hidup, lalu kenaikan biaya hidup berdampak pada kenaikan upah kerja, lalu kenaikan upah kerja berdampak pada inflasi, jika inflasi naik maka suku bunga Bank (interest rate) pasti naik juga dan pada akhirnya biaya produksi ikut naik yang berujung makin tidak kompetitif lagi

 

KADANG kala ada baiknya kita merenungi dan mengevaluasi kenapa pihak lain bisa begitu produktifnya. Kenapa kita belum sampai pada tahap itu, tentu ada sebab skala makro maupun mikro. Tentu juga ada dampak rantai lanjutannya bagai rantai energi. Multi sebab akibat inilah yang kadang belum dipahami oleh masayarakat luas.

Semisal, di Brazil dan India, harga gula tebu hanya maksimal Rp 4.000/kilogram itupun petaninya sudah laba besar hingga mampu ekspor jutaan ton per tahunnya. Sebaliknya di Indonesia harga gula minimum Rp 9.000/kilogram, itupun petaninya dapat laba pas – pasan sehingga banyak petani tebu alih profesi meninggalkan profesi tanam tebu. Karena berlarut – larut maka jumlah luas tanam tebu makin menyempit di saat kebutuhan gula makin meningkat seiring dengan cepatnya penambahan jumlah penduduk Indonesia. Jadilah impor gula makin besar yang saat ini sekitar 7 juta ton/tahun.

Di Vietnam dan Brazil, produktivitas lada kopi rempah rimpang lainnya bisa 3 kali lipatnya di Indonesia. Pada posisi itu biaya produksi realatif sama dengan di Indonesia. Sehingga indeks harga pokok produksi (HPP) per kilogramnya sangat rendah. Dampaknya mampu bersaing dengan produk sama dari negara – negara penghasil. Otomatis jadi pemimpin pasar mendunia. Jadilah komoditas yang berkontribusi pencetak devisa jumlah besar jangka panjang. Petanipun makin sejahtera lalu betah menekuni profesi tersebut.

Di dalam negeri, seorang sahabat biaya produksi di kebun sawitnya usia 12 tahun hanya Rp 20 jutaan/hektar/tahun tapi mampu menghasilkan TBS 38 ton/hektar/tahun. Jadi HPP nya hanya di bawah Rp 500/kilogram padahal harga saat ini sekitar Rp 1.500/kilogram. Praktis dapat laba Rp 1.100/kilogram. Profit marginnya hampir 300 persen.  Kebun sawit launnya yang masih belum menghasilkan usia di bawah 30 bulan ditanam nanas, labu, rumput odot pakan sapi, jagung, padi gogo dan lainny. Semua berkontribusi laba memacu percepatan kembalinya modal (ROI).

Di dalam negeri, seorang sahabat petani padi, umumnya masyarakat jumlah panennya hanya 5,6 ton GKP/hektar/musim. Tapi dia mampu lebih dari 10 ton GPK/hektar/musim. Dengan biaya produksi relatif sama yaitu sekitar Rp 12 juta non sewa tanah. Praktis HPP nya Rp 1.200/kilogram. Padahal harga pasar gabah Rp 4.500/kilogra.. Labanya Rp 3.300/kilogram. Profit marginnya juga hampir 300 persen pada tiap 4 bulan seumur padi. Pasca tanam padi selalu berusaha menamam hortikutura yang nilai ekonominya tinggi agar apresiasi omset lahan per hektarnya bisa besar agar laba besar dan cepat kembali modal investasinya. Misal saja ; melon, semangka, cabe, tomat dan lainnya. Juga selalu pertimbangan pasar yang membendung impor. 
Menyenangkan.

Semua di atas berkat adaptasi dengan teknologi, inovasi dan berusaha selalu kreatif di lapangan.

(Wayan Supadno, Praktisi Pertanian)

Leave A Reply

Your email address will not be published.