Menapak Jejak dalam Puisi: In Memoriam Sapardi Djoko Damono
Bernas.id – Pada Suatu Hari Nanti, Perahu Kertas, dan Hujan Bulan Juni adalah contoh karyanya, Sapardi Djoko Damono. Sastrawan akademisi, seorang pujangga terkemuka Indonesia kelahiran 20 Maret 1940 yang baru saja mengembuskan napas terakhir kemarin hari Minggu (19/7) di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Menapak Jejak dalam Puisi: In Memoriam Sapardi Djoko Damono adalah sebuah seri webinar via aplikasi Zoom yang diselenggarakan hasil kerjasama antara Akademi Alhikmah dengan Basnaz Yogyakarta dalam bingkai perspektif budaya.
Webinar ini menghadirkan Drs. Heru Marwoto, M.Hum dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. M. Irfan Hidayatullah dari Universitas Padjajaran, Prof. Dr. Djoko Sarjono, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, serta menampilkan pembacaan karya SDD (Sapardi Djoko Damono, red) oleh Sri Peny Sigit seorang pegiat literasi Grobogan. Acara dimulai pukul 15.30 WIB yang seyogyanya dipandu oleh jurnalis TVRI Yogya Yona Wahyudi dengan terpaksa digantikan oleh Untoro Hariadi karena kendala sinyal yang tidak stabil.
“Nampaknya di era pandemi ini sinyal menjadi sebuah kebutuhan pokok laiknya nasi, tanpa sinyal seakan terpenjara tak bisa ke mana-mana. Mati gaya,” canda Untoro mengenai tugas dadakan yang diembannya menggantikan Wahyudi yang tak kunjung bisa bergabung dalam webinar.
Heru Marwoto menyampaikan bahwa SDD adalah sosok sastrawan akademisi yang terkenal dengan kesederhanaannya baik dalam kehidupan nyata maupun semua karya yang dihasilkan. Satu hal yang sangat Heru ingat “Beliau, Sapardi mempunyai semboyan bahwa menulis untuk menghindari kepikunan. Luar biasa, di usia senja SDD tetap berkarya dan ini dilakukan sebagai upaya menghindari kepikunan, penurunan fungsi otak yang jarang dilakukan banyak orang.”
Lain halnya dengan Heru, sosok dosen Unpad Irfan Hidayatullah menggambarkan sosok SDD sebagai seorang sastrawan pelintas, sosok yang mampu melintasi berbagai ruang. Setidaknya pelintas dalam 5 hal berikut:
SDD pelintas dari sederhana ke rumit dan sebaliknya
Sebagai salah satu mahasiswanya saat menempuh S2 dan S3 di UI, Irfan akhirnya bisa menyimpulkan bahwa SDD adalah dosen pembimbing yang berbeda dengan lainnya. Jika mayoritas dosen tebal dalam teoritis maka SDD sendirilah teoritis itu. Semakin tinggi keilmuan seseorang maka ia mampu menyampaikan sesuatu dengan sederhana. Itulah Sapardi, sederhana tetapi dengan kerumitan yang terkandung di dalamnya.
SDD pelintas akademisi dan sastrawan
Di dalam kelasnya, Sapardi tidak pernah menyebutkan apresiasi terhadap dirinya maupun karya ciptaannya. Ia benar-benar menjadi akademisi, memisahkannya dengan sastrawan. Akan tetapi prinsip kederhanaan tetap tercermin dalam dunia akademisi yang digeluti.
SDD mampu menjadi pelintas adi luhung dengan populer
Sejak berkarya di era tahun 60-an hingga 2020 saat ini, pesan adi luhung yang sarat makna menjadi ciri khasnya hingga mampu menjadi karya populer. Sebuah karya sastra yang tetap bisa dinikmati khalayak umum karena maknanya, sederhana tetapi populer.
Karya SDD mampu sebagai pelintas karya shining (cemerlang, bercahaya) ke karya dop (berat)
Berbeda dengan karya generasi sastrawan muda saat ini yang cenderung dop, penuh metafor bertingkat sehingga sulit dipahami pembaca. Karya SDD cenderung sederhana, shining tapi berkharisma, elegan.
SDD adalah sastrawan yang mampu menjadi pelintas imajisme ke poros lainnya
Misalnya dalam puisi Ayat-ayat Api yang sesungguhnya adalah puisi kritis tapi dikemas apik dengan kelirisannya.
“Sapardi tidak bisa menulis puisi saat dia marah, dia akan meredam dulu kemarahannya barulah menulis,” tutup Irfan dalam paparannya kali ini.
Menjadi akademisi bukan berarti tidak bisa menjadi sosok lainnya, demikian pula yang ditekankan dalam jurusan Kewirausahaan di Universitas Mahakarya Asia, sebuah perguruan tinggi yang memberikan ruang berkarya dan berkreasi pada mahasiswanya untuk berkembang dengan jati diri dan passion masing-masing. Kewirausahaan ini menjadi nilai tersendiri di tengah realita perkembangan jaman yang sangat dinamis. Sebagai bekal berharga selain ilmu-ilmu akademik ketika terjun ke masyarakat setelah lulus nantinya.