Berita Nasional Terpercaya

Pengamat Sebut Indonesia Masuk Resesi Bila Tak Tertangani Bisa Terjun Ke Krisis

0

JAKARTA,BERNAS.ID – Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor gunjangnya ekonomi dunia, tak terkecuali Indonesia.

Bahkan dilansir dari hasil  Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata ekonomi Indonesia mengalami oenurunan hingga minus  5,32% di kuartal II-2020 dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).

Jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (q to q) maka ekonomi nasional minus -4,19%. Realisasi ini juga membuat ekonomi Indonesia dua kuartal berturut-turut terkontraksi, pada kuartal I-2020 secara kuartalan sebesar -2,41%.

Data otoritas statistik mencatatkan, PDB Indonesia sepanjang April – Juni 2020 mengalami kontraksi -5,32% dibandingkan periode sama tahun lalu (year on year/yoy). Adapun dibandingkan kuartal sebelumnya, PDB kuartal I1-2020 mengalami kontraksi -4,19%.

Dua kontraksi berturut-turut iniakhirnya membuat Indonesia masuk ke fase resesi teknikal. Pasalnya, pada kuartal -2020 secara quarter to quarter, PDB Indonesia mencatatkan minus 2,41%.

Untuk diketahui, berdasarkan data BPS pada kuartal IV-2014 -2,07% dan pada kuartal I-2015 -0,16%. Selanjutnya pada kuartal IV-2015 -1,73% dan pada kuartal I-2016 -0,36%, lalu ada juga pada kuartal IV-2016 -1,81% dan pada kuartal I-2017 -0,30%. Bahkan, ekonomi Indonesia secara kuartal pernah tiga kali berturut negatif, yaitu pada kuartal IV-2019 yakni -1,74%, kuartal I-2020 yaitu minus -2,41%, dan kuartal II-2020 yaitu -4,19%.

Sebelumnya, BPS mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 minus 5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Jika dibandingkan dengan triwulan I-2020 maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2020 mengalami kontraksi 4,19%. Sementara kumulatif semester I terhadap semester I-2019 kontraksi 1,26%.

Lalu, apakah Indonesia masuk resesi ? 

Pengamat ekonomi Salamuddin Daeng menyingkapi hasil dari BPS tersebut. Salamuddin menyebut Ekonomi Indonesia Masuk Resesi, jika tak tertangani maka terjun Ke Krisis.

Sebetulnya menurut Salamuddin, sejak tahun 2019 ekonomi Indonesia sudah menuju resesi. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan cenderung menurun. 

Seharusnya sejak 2019 tersebut pemerintah harus terfokus membenahi ekonomi pada lapisan bawah masyarakat kita, yakni petani, UMKM, koperasi, memperkuat daya beli melalui instrumen subsidi dan insentif pada seluruh lini ekonomi. Namun hal ini tidak dilakukan. 

“Tim ekonomi yang buruk, rangkap jabatan, konflik kepentingan dalam lingkaran oligarki, dan para pejabat publik yang tersandera oligarki,” jelas Salamuddub pada Bernas.id, Rabu (5/8/2020).

Dalam bidang ekonomi, pemicu utamanya adalah penurunan harga komoditas minyak, batubara dan komoditas lainnya yang merupakan andalan ekspor.

Pada bagian lain konsumsi terus menurun karena daya beli masyarakat yang melemah. Banyak PHK, pengangguran dan kondisi petani yang tidak membaik karena dihajar barang impor, banyak industri yang gulung tikar.

Pemerintah kelihatan tidak berbuat banyak. Hanya menonton keadaan yang terus memburuk. 

Kemampuan pemerintah dalam melakukan _countercyclical economic policy_ tidak ada dikarenakan kondisi APBN yang makin sulit, defisit terus melebar, anggaran negara tekor karena sangat bergantung pada minyak dan batubara serta komoditas. 

Datangnya Covid-19 makin memperburuk keadaan dikarenakan Covid menyerang ekonomi secara significant, harga komoditas makin memburuk, aktivitas ekonomi melemah, konsumsi melemah. 

Bagian terburuk di saat Covid adalah APBN yang minus. Kemampuan belanja pemerintah menurun drastis dikarenakan penerimaan pajak dan PNBP tekor. 

“Target pemerintah untuk menambah utang hingga Rp. 1039 triliun sangat tidak mungkin terealisasi. Global bond tidak laku sebagaimana yang diharapkan. Sementara pinjaman bilateral dan multilateral makin sulit,” bebernya.

Selain itu, pemerintah membuat blunder dengan berbagai kebijakan yang keliru, mulai dari tax amnesti yang gagal, mega proyek listrik gagal, mega proyek kilang gagal, pemindahan ibukota gagal dan lain sebagainya.

Proposal pemerintah seperti revisi UU melalui omnibuslaw malah ditolak oleh bank dunia. Dianggap merugikan ekonomi. Selain itu omnibuslaw makin menambah inkonsistensi kebijakan, ketidakpastian hukum, dan ketidaktaatan pada regulasi yang telah dibuat pemerintah sendiri.

Perubahan formasi tim ekonomi yang baru baru dibuat oleh pemerintah tanpa disertai dukungan regulasi angaran dan personel yang kompeten.  Ketua tim pemulihan ekonomi di tangan menko perekonomian dan ketua pelaksana menteri BUMN makin membuat runyam karena tidak diatur dalam protokol penanganan krisis utamanya Perpu No 1 2020 dan UU No 2 Tahun 2020 serta Perpres  dan PP tentang penanganan krisis akibat Covid. 

“Pelemahan ekonomi hasil release BPS merupkan lampu merah bagi pemerintahan Jokowi, terutama akan berdampak pada makin memburuknya keadaan APBN karena tingkat penerimaan negara akan lebih rendah lagi,” terangnya.

Bulan bulan mendatang yang harus diwaspadai adalah APBN yang gagal. Artinya pemerintahan tidak lagi ada uang untuk membiayai aparatur penyelenggara negara.(fir)

Leave A Reply

Your email address will not be published.