Berita Nasional Terpercaya

Polemik Pembelajaran Daring pada Masa Pandemi Covid-19

0

Oleh Wiastiningsih, WNI yang sedang kuliah di Tokyo

Sejak wabah Covid-19 terjadi akhir tahun 2019 di Wuhan dan meluas hampir ke seluruh penjuru dunia, semua lini kehidupan terdampak dan perlu beradaptasi agar kehidupan tetap berlangsung. Salah satu lini kehidupan yang sangat penting yang terdampak besar adalah dunia pendidikan formal. Hal ini tentu saja karena sekolah formal merupakan tempat berkumpulnya orang banyak dalam satu ruangan pada waktu yang cukup lama, dan ini merupakan keadaan yang berpeluang besar menularkan virus Covid-19. Pengertian sekolah formal dalam tulisan ini saya batasi berupa sekolah yang dilaksanakan baik oleh pihak swasta maupun pemerintah berupa proses belajar mengajar secara langsung di kelas.

Salah satu kebijakan pemerintah terkait sektor pendidikan pada masa pandemi Covid-19 adalah terbitnya Surat Edaran Mendikbud yang diunggah di laman Kemdikbud pada tanggal 17 Maret 2020. Dalam surat edaran ini disebutkan bahwa sebagai upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19, di daerah yang sudah terdampak Covid-19 diberlakukan pembelajaran secara daring dari rumah bagi siswa dan mahasiswa.

Karena penularan Covid-19 di Indonesia terjadi dengan cepat dan jumlahnya meningkat hampir di semua daerah, maka surat edaran ini tentu saja mempengaruhi proses belajar mengajar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan persiapan yang dapat dikatakan kurang memadai dan tanpa penjajagan kondisi di lapangan yang cukup, kebijakan sekolah daring diberlakukan secara nasional sejak bulan Maret 2020. Baik pihak sekolah, pihak wali murid, maupun pihak murid secara tiba-tiba harus melaksanakan sekolah daring tanpa kesiapan yang memadai.

Kebijakan sekolah daring memang merupakan salah satu solusi yang dapat dipilih pada masa pandemi Covid-19 ini, namun apakah semua pihak memiliki kemampuan dan kesiapan untuk melakukannya dan apa saja kesulitan yang dihadapi orang-orang yang terlibat di dalam pelaksanaanya?

Tulisan ini akan memaparkan data hasil survei yang saya laksanakan selama bulan Mei 2020 ketika di Indonesia telah melaksanakan sekolah daring hampir secara nasional dan di Jepang sedang diberlakukan “Status Darurat Nasional” sejak 7 April hingga 25 Mei 2020 sehingga sekolah diliburkan dari tingkat TK sampai SMA. Saya membagikan angket secara daring kepada wali murid yang memiliki anak bersekolah di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Indonesia dan wali murid orang Indonesia yang tinggal di Jepang. Pemilihan tingkat Pendidikan SD dan SMP sebagai sampel dalam penelitian ini karena jenjang SD dan SMP merupakan jenjang wajib belajar di Indonesia dan juga di Jepang.

Pemilihan Jepang dan Indonesia sebagai tempat pengambilan data adalah karena saat ini saya tinggal sementara di Jepang dan ingin mengetahui kondisi di lapangan pelaksanaan sekolah daring di Indonesia. Dari data hasil angket ini, saya ingin memaparkan keadaan di lapangan dan melihat lebih dalam sisi positif dan negatif masing-masing kebijakan dan berharap dapat memberikan sedikit kontribusi pada masa pandemi Covid-19 saat ini.

Angket penelitian saya bagikan secara acak melalui rekan-rekan yang saya kenal dan meminta bantuan agar dibagikan di grup-grup wali murid yang diikutinya. Semua responden yang datanya saya paparkan dalam tulisan ini adalah data yang berasal dari wali murid yang memiliki anak bersekolah di jenjang SD dan SMP. Fokus penelitian ini bukan pada banyaknya jumlah responden, namun pada luasnya jangkauan wilayah persebaran angket. Hal ini bertujuan untuk mengamati pelaksanaan proses belajar mengajar di berbagai wilayah yang berbeda pada masa pandemi yang sama dan diharapkan responden dari satu wilayah yang sama merepresentasikan pelaksanaan kebijakan pemerintah di wilayah tersebut.

Total data yang diperoleh berasal dari 211 orang responden, dengan 30 orang responden tinggal di Jepang dan 181 orang responden tinggal di Indonesia. Persebaran wilayah di mana responden tinggal dapat dilihat pada table dan grafik berikut ini.

 

RESPONDEN TINGGAL DI INDONESIA

RESPONDEN TINGGAL DI JEPANG

Domisili responden

Jumlah reponden

Domisili Responden

Jumlah Responden

DIY

35

Tokyo

10

DKI Jakarta

4

Matsuyama

4

Jawa Tengah

21

Chiba

3

Jawa Timur

8

Kanagawa

1

Jawa Barat

72

Ibaraki

10

Kalimantan Barat

11

Tochigi

1

Nanggroe Aceh Darussalam

1

Ishikawa

1

Papua

4

Subtotal

30

Sulawesi Selatan

3

 

Banten

15

Lampung

1

Kepulauan Riau

5

Kalimantan Timur

1

Subtotal

181

           

Pada pertanyaan pertama mengenai pelaksanaan belajar mengajar daring diperoleh data seperti berikut. Dari 181 responden yang tinggal di Indonesia, 177 (98%) responden menjawab sekolah anaknya melaksanakan pembelajaran daring sedangkan 4 orang (2%) responden menjawab sekolah anaknya tidak melaksanakan pembelajaran daring. Sedangkan dari 30 responden yang tinggal di Jepang, 12 orang (43%) responden menjawab sekolah anaknya melaksanakan sekolah daring dan 17 orang (57%) responden menjawab sekolah anaknya tidak melaksanakan sekolah daring. Dari data ini tampak bahwa sekolah di Indonesia yang melaksanakan pembelajaran daring jauh lebih banyak daripada yang tidak melaksanakan pembelajaran daring sementara di Jepang terjadi hal yang sebaliknya.

Hal berikutnya yang saya tanyakan dalam angket adalah rasio jumlah anak yang dimiliki terhadap ketersediaan gawai yang diperlukan untuk mengikuti pembelajaran daring. Dari 117 responden di Indonesia yang sekolah anaknya melaksanakan pembelajaran online, 20 responden (11%) memiliki anak lebih banyak dari gawai untuk belajar daring, 58 responden (33%) memiliki jumlah anak sama dengan jumlah gawai untuk belajar daring dan 99 responden (56%) memiliki anak lebih sedikit dari jumlah gawai untuk belajar daring. Kemudian dari 12 responden orang Indonesia yang tinggal di Jepang dan sekolah anaknya melaksanakan pembelajaran online, 2 responden (17%) memiliki anak lebih banyak dari jumlah gawai untuk belajar daring, 3 responden (25%) memiliki jumlah anak sama dengan jumlah gawai untuk belajar daring dan 7 responden (58%) memiliki anak lebih sedikit dari jumlah gawai untuk belajar daring.

Dari data ini dapat diprediksi bahwa ada kemungkinan gawai yang dimiliki 33% responden yang tinggal di Indonesia dan memiliki anak sama dengan jumlah gawai untuk sekolah daring adalah termasuk gawai yang digunakan oleh orangtuanya, sehingga dapat diperkirakan 11%~44% orang tua murid menghadapi masalah kurangnya ketersediaan gawai untuk pembelajaran daring anaknya. Dengan asumsi yang sama, dapat diprediksi juga bahwa 25% dari orang tua murid orang Indonesia yang tinggal di Jepang dan menjawab jumlah anaknya sama dengan jumlah gawai yang dimilikinya termasuk gawai yang digunakan oleh orangtuanya, sehingga sekitar 17%~42% wali murid juga menghadapi masalah kurangnya ketersediaan gawai untuk pembelajaran daring anaknya.

Meskipun baik di Jepang dan di Indonesia lebih dari 50% wali murid tidak mengalami kekurangan jumlah gawai untuk fasilitas anaknya belajar daring, namun jumlah 11%~44% di Indonesia dan 17%~42% responden yang jumlah gawainya tidak memadai merupakan angka yang cukup besar dan tidak bisa begitu saja diabaikan ketika pemerintah menentukan kebijakan terkait metode pembelajaran selama masa pandemic Covid-19 ini.

Kendala yang dihadapi orang tua murid bukan hanya masalah ketersediaan gawai saja karena untuk pembelajaran daring juga diperlukan tersedianya jaringan internet. Dalam angket yang saya bagikan saya juga menanyakan mengenai berapa persen penghasilan yang digunakan untuk menyediakan akses internet untuk pembelajaran daring. Hasilnya tampak dalam table berikut ini.

Persentase penghasilan yang digunakan untuk menyediakan akses internet untuk pembelajaran daring

Persentasi penghasilan yang digunakan untuk menyediakan akses internet

Jumlah responden (persentase)

Tinggal di Indonesia

Tinggal di Jepang

<5%

75(42,4%)

8 (66,7%)

5~10%

60 (33,9%)

3 (25%)

10~20%

26 (14,7%)

 

30~50%

13 (7,3%)

 

Tidak ada biaya karena langganan wifi

1 (0,6%)

1 (8,3%)

Tidak disebutkan persentasenya

2 (1,1%)

 

 

Dari data tersebut, tampak bahwa dari 177 responden yang tinggal di Indonesia, 135 orang (76,6%) di antaranya menggunakan 0~10% penghasilannya dan 39 orang (22%) menggunakan lebih dari 10% penghasilannya untuk biaya akses internet agar anaknya bisa mengikuti pembelajaran daring. Dan dari 12 responden yang tinggal di Jepang, 11 orang (91,7%) menggunakan 0~10% penghasilannya untuk biaya akses internet agar anaknya bisa mengikuti pembelajaran daring.

Jika dilihat persentasenya, lebih dari 75% responden di Indonesia maupun di Jepang menggunakan 0%~10% penghasilannya untuk menyediakan akses internet meskipun nilai tertinggi 10% akan dianggap besar atau kecil memang sangat relatif. Namun, pemangku kebijakan sama sekali tidak bisa mengabaikan bahwa ada sebagian masyarakat (22%) yang mengunakan 10% lebih dari penghasilannya untuk biaya akses internet pembelajaran daring anaknya bahkan 7,3% di antaranya terpaksa menggunakan 30% lebih penghasilannya untuk menyediakan akses internet untuk pembelajaran daring.

Dari data tersebut, jika kita ilustrasikan penghasilan seseorang dalam satu bulan adalah 1 juta, maka 7,3% responden ini terpaksa menggunakan minimal 300.000 rupiah untuk biaya akses internet pembelajaran daring anaknya dan sisanya yang 700.000 rupiah baru bisa digunakan untuk keperluan hidup sekeluarga, ini adalah rasio yang sangat tidak berimbang secara matematis. Saya sengaja tidak membuat ilustrasi dengan nilai UMR di daerah tertentu karena tidak sedikit dari masyarakat kita yang pendapatannya di bawah UMR. Jangankan berpenghasilan 1 juta sebulan, bahkan orang-orang yang bekerja pada bidang-bidang pekerjaan yang terdampak Covid-19 seperti pariwisata, hotel, transportasi dan lainnya sangat mungkin pendapatannya berkurang atau bahkan hilang sama sekali selama pandemic Covid-19 ini.

Pemangku kebijakan tidak boleh menentukan kebijakan pembelajaran daring ini dengan memukul rata kemampuan ekonomi semua lapisan masyakarat dan tentu saja juga perlu memikirkan alternatif-alternatif metode pembelajaran lain agar tidak memperburuk kemampuan finansial masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.

Selain masalah biaya akses internet di atas, saya juga menanyakan kepada responden apakah mereka mengalami kesulitan-kesulitan lain. Saya memberikan lima pertanyaan berikut ini yang hasilnya saya tampilkan dalam table dan grafik berikut ini.

 

Pilihan

Ya

Tidak

1. Anda juga harus melaksanakan pekerjaan secara daring sehingga akses internet di rumah tidak stabil

99

71

2. Anda harus terlibat dalam pelajaran daring anak Anda sementara Anda sendiri wajib melakukan pekerjaan dan rutinitas lain

166

25

3. Jumlah gawai (gadget) yang tidak mencukupi untuk keperluan pelajaran daring anak Anda

106

35

4. Biaya akses internet untuk pelajaran daring terpaksa menggunakan pos-pos pengeluaran rumah tangga rutin yang lain

81

82

5. Anda harus mencari informasi dan pengetahuan untuk membantu menjelaskan pelajaran yang tidak dipahami anak Anda.

158

28

 

 

Dari table dan grafik di atas, kesulitan yang paling banyak dialami adalah orang tua juga harus melakukan pekerjaan daring dan sekaligus mendampingi pembelajaran daring anaknya dengan kemampuan dan pengetahuan yang dia sendiri tidak menguasainya. Hal ini tentu saja membawa efek domino bagi murid dan orang tua dan juga sekolah. Anak yang tidak memahami pelajaran mau tidak mau tentu memerlukan bantuan orang tuanya yang secara fisik ada di dekatnya, sementara orang tua juga dituntut untuk menyelesaikan pekerjaannya, baik pekerjaan domestik rumah tangga ataupun pekerjaan daringnya. Anak tentu saja akan merasa terbebani jika tugasnya tidak selesai atau tidak memahami pelajarajan yang diikuti. Dan orang tua yang mengalami tambahan volume tugas, yaitu pekerjaannya sendiri dan tugas mendampingi pelajaran daring anaknya tentu akan mengalami kelelahan fisik dan psikis. Secara logis, pada situasi normal di sekolah setiap mata pelajaran diampu oleh masing-masing guru yang berbeda dan berkompeten, sedangkan di rumah orang tua dituntut mampu membimbing semua mata pelajaran yang ia sendiri tidak memiliki kompetensinya, maka tentu akan menjadi beban yang berat. Dan pada akhirnya tugas murid yang tidak tuntas atau murid yang tidak optimal memahami pelajaran akan menjadi beban berat bagi sekolah selaku penyelenggara pembelajaran daring yang tentu saja dituntut untuk menuntaskan silabus dari masing-masing pelajaran.

Dari beragam kesulitan yang dihadapi orang tua, bebas psikologis adalah hal yang perlu mendapat perhatian pemangku kebijakan. Jika dibandingkan dengan beban finansial dan fisik, dalam table dan grafik berikut ini, masalah dari sisi psikis tampak lebih dominan dirasakan oleh orang tua murid yang mendampingi pembelajaran daring.

 

Pilihan

Ya

Tidak

  1. Segi keuangan

60

129

  1. Segi psikis orangtua dan anggota keluarga serumah lainnya

111

81

  1. Segi fisik

64

114

 

Setelah reponden menyampaikan pendapatnya mengenai kesulitan yang dihadapi, pada pertanyaan selanjutnya saya menanyakan penilaian responden terhadap efektifitas pembelajaran daring. Dengan skala 0 sampai 10, sejumlah 42% reponden memberikan penilaian 0~5 dan 58% responden memberikan penilaian 6~9. Menurut saya, penilaian minimal 6 ini cukup bagus untuk sebuah metode pembelajaran baru yang dilaksanakan secara tiba-tiba dan tanpa persiapan yang cukup. Tentu saja pendapat saya ini sangat relatif dan tentu ada yang tidak sepakat.

         Meskipun, 58% persen responden menilai efektifitas pembelajaran daring lebih dari 6 dengan skala 0 sampai 10, namun pada pertanyaan berikutnya mengenai pilihan metode pembelajaran, ternyata hampir 47% responden menghendaki adanya penggantian metode pembelajaran dari daring ke metode yang lain. Dan ketika saya minta untuk memberikan masukan metode lain apa yang bisa digunakan, ada beragam ide di antaranya adalah tatap muka dengan protokol kesehatan baru, video pelajaran yang dikirim oleh guru, tugas yang dikirim melalui pos, siaran televisi dan gabungan antara pembelajaran daring dan tatap muka dengan protokol kesehatan baru.

 

Dalam angket, saya juga menanyakan kepada responden di Jepang yang sekolah anaknya tidak melaksanakan pembelajaran daring, apa metode yang digunakan selama sekolah diliburkan akibat pandemic Covid-19? Responden menyebutkan bahwa beberapa metode pembelajaran berikut ini digunakan selama sekolah diliburkan akibat pandemic Covid-19:  siaran televisi nasional NHK online school, pekerjaan rumah yg dikirimkan melalui pos yang kemudian dilanjutkan dengan informasi melalui laman sekolah, pekerjaan rumah yang dibagikan berkala dengan diantarkan ke rumah masing masing, tidak ada aktifitas pengganti pembelajaran, dan di sekolah negeri pekerjaan rumah yang dibagikan berkala dengan diambil siswa ke sekolah dengan pembagian jadwal kedatangan maksimal setengah kapasitas kelas dan PR dibagikan dalam 10 menit. Hal ini memungkinkan dilakukan karena diberlakukan system zonasi dan jarak sekolah dengan rumah terjangkau dengan jalan kaki untuk jenjang SD dan SMP.

           Di Jepang sejak kebijakan status darurat nasional dicabut pada 25 Mei 2020, sekolah perlahan kembali dibuka. Mulai 15 Juni 2020 sekolah berjalan seperti biasa dengan protokol kesehatan di antaranya wajib mengukur suhu badan, bermasker dan disediakan hand sanitizer di pintu masuk gedung meskipun terjadi lonjakan kasus positif Covid-19 pada akhir Juli 2020 terutama di wilayah Tokyo, sekolah tetap berjalan normal sampai saat ini. Selain itu, pada akhir Mei 2020, sekolah membuat angket mengenai ketersediaan gawai dan koneksi internet di rumah rumah masing-masing siswa. Kemudian pada akhir Juli dan awal Agustus pemerintah daerah menyosialisasikan laman yang disusun oleh bidang pendidikan  pemerintah daerah yang berisi materi pelajaran yang bisa diakses siswa secara daring dengan akun yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah juga berencana meminjamkan gawai kepada siswa yang tidak memiliki gawai meskipun jumlahnya tidak bisa dipastikan apakah bisa memenuhi seluruh kebutuhan atau tidak. Penyusunan laman berisi materi pelajaran ini bersifat manasuka bagi yang ingin menggunakannya sejak Agustus 2020 bersamaan dengan sekolah yang berjalan normal dan merupakan rencana cadangan jika di waktu yang akan datang pandemi Covid-19 memburuk dan sekolah terpaksa diliburkan kembali.

            Dengan melihat data di atas, menurut pendapat saya, pemangku kebijakan perlu meninjau ulang pelaksanaan sekolah daring. Tidak semua masyarakat siap secara finansial, sarana dan prasarana untuk melaksanakan sekolah daring. Selain itu, beban psikologis orangtua juga salah satu masalah penting untuk diselesaikan. Angket ini baru melihat sebagian kecil kesulitan yang dihadapi wali murid, tentu saja dari sisi murid dan guru pun memiliki berbagai kesulitan dan kendala yang lain dan memerlukan perhatian dari pemangku kebijakan.

Kita mungkin perlu belajar dari apa yang dilakukan pemangku kebijakan di bidang pendidikan di Jepang yang melakukan survei terlebih dahulu tentang kesiapan masyakarat sebelum  melaksanakan sekolah daring. Selain itu, pendapat dari responden di Indonesia mengenai alternatif metode belajar selain daring, yaitu tatap muka dengan protokol kesehatan baru, video pelajaran yang dikirim oleh guru, tugas yang dikirim melalui pos, siaran televisi dan gabungan antara pembelajaran daring dan tatap muka dengan protocol kesehatan baru hampir mirip dengan apa yang dilaksanakan di Jepang pada masa “Status Darurat Nasional” dan sekolah diliburkan.

Jika selama ini, kita merasa seolah sekolah daring adalah satu-satunya pilihan, dengan belajar dari pengalaman bangsa lain dan dengan menyerap pendapat dari masyarakat Indonesia sendiri, ternyata kita bisa juga mempertimbangkan alternatif metode pembelajaran lain atau kombinasi sekolah daring dengan metode yang lainnya. Tentu saja, pemilihan metode pemeblajaran atau kombinasi metode tersebut harus disesuikan dengan kondisi pandemi di masing-masing tempat. Namun, hal yang sangat penting dipertimbangkan adalah jangan sampai kebijakan yang diberlakukan membebani masyarakat pada umumnya, baik beban finansial, psikologis, maupun sarana dan prasarana.

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.