Berita Nasional Terpercaya

Menelaah Kondisi Terkini Masyarakat Adat Dan Hak Ulayatnya

0

JAKARTA,BERNAS.ID – Webinar Kondisi terkini Masyarakat Adat dan Hak Ulayatnya, digelar Universitas Negeri Andalas Padang dan USU Medan.

Ada bebebrapa masukan dari Dekan Fakultas Hukum Andalas tentang beberapa permasalahan tanah adat di Padang, khususnya tentang sengketa yang berkepanjangan sehingga mempersulit dlm proses pensertipikatan menjadi sulit, pemerintah abai atas beberapa kasus kasus yabg saat ini mencuat.

Dalam webinar pada siang hari ini untuk mengulas dan mengkaji lebih dalam tentang kekberadaan masyarakat adat dan ulayatnya

Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Prof Dr. Rosnidar Sembiring, SH,. M.Hum, menuturkan mengenai Masyarakat adat diakui oleh Indonesia, berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen: Pengakuan atas keberadaan, masyarakat hukum dalam UUD sebelum amandemen adalah mengakui masyarakat sudah ada dengan segala system yang berlaku didalamnya. 

Berpendapat mengenai Intervensi pemerintah dan pengusaha swasta dalam pemanfaatan sumber daya hutan telah menyebabkan keterdesakan ruang hidup masyarakat mengenai hukum adat untuk memperoleh kegiatan tersebut. Antiklimaks dari proses ini hilangnya ruang hidup masyarakat (lebensraum) dikarenakan Masukan industry kehutanan modern yang Ekspansif dan Ekstensif sifatnya.

Sementara itu, Budiman Dekan USU menerangkan, bahwa kondisi terkini hukum adat dengan wilayahnya, sangat menarik karena masyarakat hukum adat dengan wilayahny. Ia menanyakan apakah masyarakat adat masih ada dan wilayah hukum adat apakah masih ada, dan banyak kasus kasus pertanahan adat tergerus oleh investor yang ada dan mengkritisi mengenai masyarakat hukum adat masih ada di Indonesia. Contoh kasus dari Minangkabau memiliki Adat dari rapatan Anak Nagari dari padang masih memiliki adat. Hak hak adat dari waktu-kewaktu tergerus oleh Investor.

Tak hanya itu, dicontohkan Ketua Asosiasi Pengajat Hukum Adat Indonesia, Laksanto Utomo, sengketa hutan adat Pubabu yang meliputi Desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam diawali oleh keengganan masyarakarat adat Besipae, untuk menyetujui tawaran perpanjangan izin pinjam pakai lahan di kawasan hutan Pubabu.

Konflik lahan bermula pada 1982 ketika pemerintah dan Australia bekerja sama dalam peternakan dan penggemukan sapi, meminjam lahan masyarakat adat. Setelah kontrak selesai, pengelolaan lahan itu semestinya dikembalikan ke masyarakat adat.

Pada 1987, selama 25 tahun ke depan, wilayah itu digunakan sebagai areal proyek peternakan sapi. Pada tahun 2010, dua tahun sebelum kontrak kadaluarsa, tawaran perpanjangan dari Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan ditolak warga.  Akan tetapi, pada 2012, pemerintah daerah kembali mengeluarkan serfitikat dengan luas 3.780 hektare, tanpa sepengetahuan masyarakat.

Pada 2012, masyarakat Besipae menentang keputusan untuk memperpanjang izin atas tanah. Mereka berpendapat bahwa hutan adat diperlukan untuk dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai kawasan konservasi, yang oleh warga lokal dikenal sebagai Nais Kio.

Laksanto berharap, pada petemuan Guru besar memberikan dukungan penuh terhadap masyarakat Adat dari berbagai Akademisi.

Kesimpulan dari Webwinar yaitu pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan rancangan Undang Undang  Hukum Adat yang sekarang berhenti di DPR dan tidak ditindak lanjuti.(fir)

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.