Berita Nasional Terpercaya

Kumbakarna, Brubuh Alengka dan Pergelaran Wayang Terakhir Bapak

0

Bernas.id – Menurut pengakuannya, bapak sudah mulai mendalang sejak belia, ketika belum menikah. Bapak juga mengaku bahwa pernah bercita-cita menjadi seorang dalang kondang. Setenar almarhum Ki Narto Sabdo, sebab konon gaya mendalang bapak memang berkiblat kepadanya. Meskipun aku pernah mendengar ibu mengatakan, bapak tak akan bisa mendalang lagi. Perkataan itu terbukti, setiap kali ada orang yang hendak mengundang bapak untuk mendalang, ujung-ujungnya dibatalkan.

?Aku dianggap sebagai seorang Lekra,? terang bapak ketika aku menanyakan kenapa pergelaran wayang kulitnya selalu gagal mendapatkan izin dari aparat keamanan.

?Apa kaitannya dengan pelarangan kepada Bapak??

?Pemenang konflik di zaman itu yang bertindak membabi buta, Dirgo.?

?Maksud Bapak??

Akhirnya bapak menceritakan bahwa setahun sejak menjalani debutnya sebagai dalang muda, terjadi peristiwa Gestok. Konon yang mendalangi adalah Partai Komunis Indonesia. Semua seniman dipaksa oleh penguasa kala itu untuk membuat pernyataan tidak tergabung dengan Lekra. Bapak menolak. Konsekuensinya, ia dicap sebagai simpatisan partai berlambang palu arit itu.

?Meskipun semua tuduhkan itu tidak terbukti.? Mata bapak terpejam sesaat. Ia seperti sedang mengingat-ingat sebuah peristiwa di masa lalunya. ?Cap Lekra itulah yang menjadi penyebab aku selalu dicekal untuk mendalang.?

Meskipun mendapat perlakuan seperti itu, tak pernah terlihat tanda-tanda keputusasaan pada diri bapak. Sering aku menjumpai bapak sedang merawat wayang-wayang kulit miliknya. Tak jarang pula kulihat ia sedang mencorat-coret lembaran kertas kosong. Ketika menanyakan hal itu kepadanya, bapak mengatakan bahwa sedang menulis naskah carangan dari lakon wayang kulit.

Tentu saja aku heran, untuk apa bapak masih menulis skrip naskah seperti itu, jika kesempatan untuk kembali mendalang sudah nyaris tertutup.

Dari sekian banyak wayang kulit miliknya, ada satu yang menurut bapak sangat diistimewakan keberadaannya. Wayang yang menjadi tokoh sentral ketika pertama kali bapak mementaskan pergelaran semalam suntuk dengan lakon Brubuh Alengka. Sesosok kesatria dengan wujud raksasa bernama Kumbakarna.

?Dirgo,? ucap bapak. ?Wayang Kumbakarna ini seharusnya kau anggap sebagai saudara tua,? sarannya ketika aku masih duduk di bangku SMP. Begitulah bapak, sering menjadikan wayang kulit koleksinya seperti anak sendiri. Bukan tanpa alasan bapak berkata seperti itu. Wayang-wayang kulit yang ia miliki, kebanyakan adalah peninggalan orangtuanya yang juga seorang dalang. Namun berbeda dengan benda yang diwariskan turun-temurun, wayang Kumbakarna milik bapak adalah buatannya sendiri.

?Usianya lima tahun lebih tua darimu,? lanjut bapak.

Bapak memainkan wayang Kumbakarma yang dipegangnya dengan gerakan seolah-olah wayang kulit itu sedang menari, ?Aku memahatnya ketika masih menimba ilmu pedalangan di Solo. Ketika itu aku baru mengenal ibumu yang juga sedang belajar jadi sinden.? Bapak terseyum, mungkin sedang teringat tentang sebuah peristiwa indah di masa mudanya, ?Kumbakarna inilah wayang kulit pertama buatanku sendiri.?

Akhirnya bapak mengaku, ketika pertama kali mendalang dengan wayang Kumbakarna itu, ibu yang seorang sinden muda ikut mengiringi. Benih cinta mereka pun tumbuh di sana.

Dari pengakuan itu, aku tahu bahwa alasan bapak menganggap wayang Kumbakarna sebagai saudara tuaku adalah waktu pembuatannya. Seperti halnya perlakuan kepada wayang kulit yang lain, Hanoman, bapak menyuruhku menghormatinya sebagai Simbah Kakung. Sebab ia dibuat oleh kakekku, lalu diawariskan kepada bapak.

?Kenapa bapak lebih menyukai Kumbakarna, bukan Ramawijaya??

Bapak menghentikan gerakan tari Kumbakarna, ?Banyak orang suka menghujat dan mencaci maki bangsa sendiri. Hanya karena tidak puas atau berseberangan pandangan dengan pemimpinnya. Kumbakarna mengajarkan kita arti kecintaan sejati kepada tumpah darahnya. Tak peduli siapa dan bagaimana perilaku pemimpin kita, jika bumi pertiwi sudah memanggil, kita harus pertaruhkan nyawa untuk membelanya.?

?Apakah masih ada kemungkinan bapak bisa mendalang lagi??

Lagi-lagi bapak tersenyum, ?Mendalang lagi atau tidak, itu tak penting. Bisa menulis lakon-lakon carangan sambil merawat wayang-wayang kulit ini, sudah menjadi kepuasan tak tenilai bagiku.?

***

Aku tak bisa menebak, apa yang sebenarnya ada dalam benak bapak ketika aku mulai masuk bangku SMA kala itu. Bertahun-tahun bersabar, sepertinya bapak mulai diuji dengan mengalami keputusasaan. Usia yang semakin menua mungkin penyebabnya.

?Sudah puluhan naskah lakon carangan kuselesaikan, masih saja belum ada kesempatan untuk mendalang lagi. Apa kumuseumkan saja semua wayang dan skrip naskah ini??

Aku tak menjawab. Sebab bapak memang tidak sedang bertanya kepadaku. Ia sedang menggerutu sendiri. Atau lebih tepatnya sedang berbicara dengan tumpukan wayang kulit dan lembar-lembar kertas berisi naskah tulisannya.

?Mungkin saat bulan Suro besok, aku sudah bisa mendalang. Mudah-mudahan tumbangnya sang Raja Tiran membawa banyak perubahan. Mereka tak lagi mempersulit seniman-seniman angkatan enam puluhan untuk kembali main.?

Untuk kesekian kalinya aku tetap tidak menyahut ucapan bapak. Hanya meng-amin-i dalam hati. Seandainya benar bahwa akhirnya bapak bisa mendalang lagi, aku juga ikut merasakan tuahnya. Setidaknya uang saku sekolahku bertambah.

?Ketika bulan Suro, biasanya banyak orangtua yang memiliki anak sukerta akan melakukan ruwatan. Tidak semua dalang sanggup meruwat. Hanya dalang-dalang tua sepertiku yang berani menerimanya.?

Namun jauh panggang dari api, alih-alih ucapan bapak menjadi kenyataan, justru penawaran untuk mendalang di bulan Suro tak kunjung datang. Setelah bulan berganti, kulihat bapak mengemasi lembaran-lembaran naskah lakon carangan yang beberapa tahun belakangan semakin rajin ditulisnya.

?Ada yang menyarankan bahwa naskah-naskah lakon carangan tulisanku ini dijual kepada dalang-dalang muda. Dengan begitu aku dianggap masih bisa mendalang meski hanya lewat tulisan,? terang bapak.

Sampai aku lulus SMA, aku tidak menjumpai bapak benar-benar menjual naskahnya. Begitu pula dengan tawaran dari seseorang untuk mendalang, tetap tak ada tanda-tanda akan datang. Hingga suatu pagi aku terkejut ketika menjumpai bapak sedang mengemasi naskah-naskah lakon carangan tulisannya, memasukkannya ke tiga buah kardus bekas air mineral, menutupnya rapat-rapat dengan isolasi.

Bukan itu saja, kulihat bapak juga mengeluarkan dua kotak kayu jati yang berisi ratusan wayang kulit dari sebuah kamar yang digunakan sebagai ruang penyimpanan. Raut mukanya seperti sedang marah. Dengan sisa-sisa tenaga di usia yang tak lagi muda, bapak nampak kelelahan menggeser kotak-kotak itu. Napasnya naik turun tak beraturan. Keringat membasahi kening dan lehernya. Aku buru-buru membantunya.

?Simpan naskah-naskah lakon Carangan itu. Barangkali kelak anak-anakmu ada yang bercita-cita menjadi dalang.?

Aku bisa menangkap maksud bapak. Sejak awal aku memang tak pernah berkeinginan untuk mengikuti jejaknya menjadi seorang dalang. Mungkin bapak masih berharap cucunya ada yang meneruskan cita-citanya.

Entah apa yang menumbuhkan keberanianku, mendadak dengan latah aku berkata, ?Ada kata bijak dari orang cerdik pandai, sebuah tulisan kelak akan menemukan nasibnya sendiri. Mungkin sebaiknya bapak mengirim naskah itu ke koran atau majalah. Siapa tahu mereka berkenan memuatnya.?

Dahi bapak seketika berkerut-kerut mendengar ucapanku. Hanya itu tanggapannya. Tak ada kalimat yang keluar sebagai jawaban.

***

?Aku sudah tak berkeinginan untuk bisa mendalang lagi,? ucap bapak.

Aku menaikkan dua alis sebab heran.

?Puluhan tahun menyiapkan naskah lakon carangan, merawat wayang-wayang kulit itu, tetapi tawaran mendalang tak kunjung tiba. Setelah selesai memilih mana yang perlu diwarnai ulang, aku akan menyumbangkan semua wayang kulitku ke sanggar wayang di kota.?

?Bapak tidak sedang salah ucap??

Ia menggeleng. ?Aku akan mengganti gapit yang patah, juga memberi kelir baru pada beberapa wayang yang sudah luntur warnanya. Maklum, usia mereka sudah tua. Bahkan ada yang seusia kakekmu Mbah Karta. Lumrah kalau mulai pudar.?

Aku mencoba menebak jalan pikiran bapak. Tetapi sulit menemukannya. Bagaimana ia bisa berubah pikiran seperti itu, merelakan melepas benda yang sudah dianggap seperti darah dagingnya sendiri?

***

Berbulan-bulan, aku menjumpai bapak dengan tekun mengganti gapit, juga mewarnai ulang wayang kulit yang akan disumbangkan ke sanngar wayang. ?Bertahun-tahun aku hidup bersamanya. Percayalah, tak akan pernah aku melupakannya,? ucap bapak ketika untuk kesekian kali aku kembali menanyakan keputusan nekadnya.

Belum sempat aku melanjutkan perbincangan, siang itu tampak sebuah mobil berplat nomor milik kepolisian berhenti di depan rumah kami. Dua orang berpakaian safari turun dari pajero berwarna hitam. Ibu tergopoh-gopoh menemui.

?Maaf, bapak sudah tidak mungkin mendalang lagi,? jawab ibu lembut.

Mungkin tamu itu menganggap penolakan ibu disebabkan harga yang ditawarkan terlalu rendah. Tamu itu menambah jumlah uang penawaran. Bahkan berani membayar di muka separuhnya. Namun ibu tetap tidak berani menyanggupi. Kondisi bapak yang mulai putus asa yang menjadi pertimbangannya.

?Jika yang menjadi alasan penolakan adalah perizinan, justru yang akan mengundang bapak untuk mendalang lagi adalah pimpinan kami, kepala kepolisian di kota ini, Bu,? jelas tamu itu.

?Benarkah??

?Benar. Dan beliau juga berpesan menginginkan lakon Brubuh Alengka.?

Aku tersentak mendengar lakon yang diucapkan tamu itu. Segera kubawa kabar menggembirakan itu ke bapak. Setengah berlari aku menuju teras belakang, tempat bapak biasa menghabiskan waktu dengan menulis dan merawat wayang-wayang kulitnya. Kulihat bapak sedang tidur dengan posisi duduk bersandar di atas kursi rotan. Aneh. Meskipun matanya terpejam, bapak tersenyum. Kusentuh pelan pundaknya. Bapak tak bergerak. Kuguncang tubuhnya berkali-kali. Tetap bergeming tanpa menjawab. Kuraba pergelangan tangannya. Dingin. Detak nadi bapak sudah berhenti. Tangannya yang sudah mulai kaku sedang menggenggam erat gapit wayang Kumbakarna buatannya. Setumpuk naskah tulisan tangan dengan judul yang sangat aku hapal tergeletak di atas meja.

Brubuh Alengka menjadi lakon pertama dan terakhir dari pergelaran wayang kulit bapak. (*Heru Sang Amurwabumi – Nganjuk)

 

Catatan kaki:

Lekra = Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia.

Gestok = Gerakan Satu Oktober.

Carangan = Pengembangan cerita dari pakem atau lakon standar wayang kulit.

Simbah Kakung (bahasa Jawa) = Kakek.

Suro = Bulan pertama pada kalender Jawa.

Sukerta = Jenis manusia yang menurut mitologi Jawa bernasib buruk.

Ruwatan (bahasa Jawa) = Kata dasarnya ruwat (lepas dari nasib buruk).

Gapit = Penyangga wayang kulit mulai kaki hingga rambut. Terbuat dari belahan tanduk kerbau.

Leave A Reply

Your email address will not be published.