Berita Nasional Terpercaya

Tentang Doa yang Kami Langitkan di Punden Desa

0

Cerpen oleh : Heru Sang Amurwabumi

 

Dalam kecamuk badai kerinduan kepada kampung halaman, aku terdampar pada sebuah kenangan tentang kasak-kasak kekuatan sebuah doa. Ya, jika berada di Desa Kedung Pingit dua atau tiga dasawarsa silam, kau akan menjumpai kisah tutur tentang tuah doa dan mantra puja-puji yang konon bisa menambah kelezatan makanan.

Benarkah doa dan mantra puja-puji memang memiliki tuah? Setiap kali teka-teki itu menyasar benakku, ingatan terhadap seorang pemimpin doa yang lekat dengan masa kecilku selalu datang kembali. Mantra-mantra yang dilafazkannya seperti hadir membawa aroma dan kelezatan ayam panggang yang dihidangkan sebagai penghormatan kepada Dang Hyang?makhluk imajiner yang dianggap sebagai pendiri desa?menusuk lubang hidung, lalu menyelubungi rongga dada dan mengaduk-aduk seisi ruang batin.

Adalah pohon trembesi tua yang berdiri kokoh di sudut tenggara Desa Kedung Pingit, yang menjadikan hikayat mantra bertuah ini bermula. Pohon yang memiliki lingkar batang hampir seukuran rentang tangan tujuh orang dewasa. Pohon yang menurut cerita Mbah Karta?kakekku, sudah ada sejak gantung siwur-nya1 masih hidup. Tentu usianya sudah ratusan tahun.

Tepat di bawah pohon trembesi itu, terdapat empat bongkah batu andesit berbentuk balok yang disusun bertumpuk. Entah sejak kapan batu-batu ada di sana. Orang-orang Kedung Pingit menyebutnya sebagai punden, tempat leluhur mereka melangitkan doa kepada zat yang mengatur segala kehidupan. Di punden itu pula, mereka meyakini bahwa arwah Dang Hyang Kedung Pingit abadi bersemayam.

Sebab kisah tutur tentang keberadaan Dang Hyang di punden itu mengakar kuat di benak orang-orang Kedung Pingit, setiap ada yang menggelar hajatan, maka dilangitkanlah doa dan mantra puja-puji kepada Sang Pencipta di sana. Mereka akan memasak nasi berikut lauk yang lezat-lezat: semur, kare, urap-urap, dan ayam panggang. Semua itu dibawa ke punden bersama kerabat dan tetangga, lalu melakukan doa selamatan yang dipimpin oleh seorang pangujub.2 Kebiasaan menjaga kearifan lokal secara turun-temurun itu turut pula mewarnai hajat tahunan desa: nyadranan.3

Di antara beberapa pangujub yang ada di Kedung Pingit, ada satu nama yang paling aku kenal: Mbah Soma. Ia tinggal di pinggiir desa, tak jauh dari punden. Mungkin itu sebabnya orang-orang lebih sering memintanya menjadi pemimpin doa di punden. Mbah Soma juga terhitung masih saudara nenekku, sehingga aku lebih akrab kepadanya dibandingkan pangujub lain.

Jika ada yang memintanya memimpin doa, Mbah Soma akan datang jauh lebih awal ke punden desa. Ia cabut rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar batu punden, menyapu daun kering trembesi yang berguguran, lalu menggelar tikar pandan yang ia bawa dari rumah. Ketika yang memiliki hajat datang, sudah bersih tempat melangitkan doa itu.

Mbah Soma juga selalu membawa beberapa genggam merang4 yang diikat dengan seutas lawe.5 Itu selalu ia lakukan untuk berjaga-jaga seandinya yang memiliki hajat tidak siap. Jika merang itu dibakar di dekat batu punden, mengepul asapnya terbang tinggi mengiringi doa dan mantra puja-puji yang dilangitkan Mbah Soma.

?Tidak semua orang tahan dengan aroma kemenyan. Ia juga dianggap sebagai pengundang makhluk lain, meskipun anggapan itu salah kaprah. Merang ini sebagai penggantinya. Asap yang mengepul hanyalah cara untuk memancing pikiran kita agar bisa kusyu? dan hanyut dalam doa dan mantra puja-puji,? terang Mbah Soma ketika suatu hari aku bertanya kepadanya perihal kegunaan merang pada selamatan.

Kepada orang yang memintanya memimpin doa, Mbah Soma akan bertanya apa hajat yang akan digelar. Bisa khitanan, pernikahan, tasyakuran, atau hanya sekadar mendoakan leluhur mereka yang sudah tiada.

Mbah Soma meneruskan permintaan itu dengan gurat wajah khusyu?. Bibir keriputnya akan menyebut nama-nama leluhur pemilik hajat agar diberi ketenangan dan tempat yang layak di kehidupan lain. Terlontar pula harapan agar keluarga pemilik hajat senantiasa berlimpah rezeki, keselamatan, dan kebahagiaan. Tak lupa, rasa hormat setinggi-tingginya disampaikan kepada Dang Hyang Kedung Pingit, berikut doa pengharapan kepada Sang Pencipta agar desa yang didirikannya dinaungi kedamaian, kemakmuran, serta jauh dari musibah.

Lafaz doa dan mantra puja-puji Mbah Soma sangat indah. Berirama, syahdu, dan terdengar mendayu-dayu. Bacaan itu seperti berputar-putar di udara punden, lalu terbang membubung tinggi ke atas pohon trembesi, meninggalkan orang-orang yang duduk melingkar di tikar pandan. Namun kemudian tiba-tiba seperti turun kembali menyelubungi punden manakala Mbah Soma mengeraskan volume suaranya. Begitu seterusnya berulang-ulang.

Di akhir doa, nasi berlauk semur, kari, urap-urap, dan ayam panggang itu dibagi-bagikan kepada kerabat dan tetangga yang ikut dalam selamatan. Sebagian diberikan kepada penghuni rumah-rumah yang ada di sekitar punden. Sebagian lagi mereka sisihkan dalam bungkusan daun pisan yang kemudian diletakkan di bawah pohon trembesi, dekat dengan punden batu bertumpuk. Konon makanan itu dipersembahkan sebagai penghormatan kepada Dang Hyang Kedung Pingit.

Setelah selamatan usai dan orang-orang meninggalkan punden, saat itulah anak-anak sebayaku akan berebut mengambil kokoh?sebungkus nasi berlauk urap-urap dan ayam panggang sebagai persembahan kepada Dang Hyang Kedung Pingit. Makanan itulah yang diyakini memiliki aroma dan rasa yang lebih lezat karena tuah dari doa dan mantra puja-puji yang dilangitkan oleh Mbah Soma. Aku sendiri tidak pernah merasakannya. Sebab aku yang bertubuh kerempeng selalu kalah berebut dengan anak-anak yang tubuhnya lebih besar dan jangkung.

Kebiasaan anak-anak seperti itu memang tidak dilarang. Menurut orang-orang tua, sebagai pendiri dan leluhur desa, Dang Hyang Kedung Pingit tidak pernah murka jika jatah makanannya diambil anak cucunya. Dang Hyang adalah sosok leluhur yang penuh kasih terhadap anak-anak Kedung Pingit.

Seperti halnya siang itu, setelah membantu Mbah Soma membersihkan area punden, aku sengaja mengikuti doa selamatan yang dilakukan Pakde Siman. Tetanggaku itu hendak mengirim doa permintaan keselamatan, sebab anak sulungnya yang seorang tentara akan dikirim ke daerah sengketa: Timor Leste.

?Jangan buru-buru pergi. Ikutlah selamatan bersamaku, Nang,?6 ucap Mbah Soma.

?Baiklah, Kung,?7 sahutku.

Setelah Pakde Siman dan kerabatnya datang, kami duduk melingkar di atas tikar pandan. Seperti biasa, sebelum doa selamatan dimulai, Pakde Siman mengutarakan harapannya. Selain mengirim doa untuk leluhurnya yang telah berpulang, ia juga berharap anaknya yang akan berangkat ke Timor Leste bisa pulang ke Kedung Pingir dengan selamat, kelak setelah selesai bertugas.

?Aamiin?,? sontak aku menyahut permintaan Pakde Siman dengan lantang, seolah-olah aku adalah wakil dari pangujub yang akan memimpin doa selamatan.

Kebetulan Pakde Siman tidak menyiapkan merang. Mbah Soma mengambil tiga ikat merang, lalu mengulurkan kepadaku. ?Bakarlah ini di dekat batu punden, Cung,? ucapnya.

Seperti terkena guna-guna, aku menurut saja perintah Mbah Soma. Kemudian aku letakkan merang itu bersandar pada sebuah akar pohon trembesi yang menonjol ke atas permukaan tanah, tak jauh dari batu punden. Begitu aku memantik korek bersumbu kapuk randu milik Mbah Soma,  asap tebal mengepul berputar-putar. Kepalaku terasa ikut berputar. Sekujur tubuhku gemetar. Denyut nadiku seperti berantakan. Rongga dadaku sesak. Aku lupa sedang melakukan apa. Mataku terpejam, dalam, dalam?.

Suara gaduh orang-orang yang mengikuti selamatan menyadarkan aku, ?Sumangga8 dimakan ? ayo dimakan? mangga-mangga.?

Usai selamatan, Mbah Soma tidak langsung menuju rumahnya. Ia justru mengajak pulang rumahku. ?Aku ingin menjenguk bapakmu,? ucapnya. Sudah dua hari memang bapak menderita demam.

Sebelum memasuki halaman rumahku, ia mengulurkan sebuah buntalan daun pisang, ?Ini untukmu. Makanlah.?

Aku tercengang menerima bungkusan nasi berlauk urap-urap dan ayam panggang dari sang pembaca doa dan mantra puja-puji. Meski sederhana, makanan seperti itu sudah menjadi menu istimewa bagi anak desa sepertiku. Gemetar lagi tanganku menerimanya.

Buru-buru aku membuka bungkusan daun pisang itu. Aku semakin terkejut mencium aromanya. Ternyata benar cerita orang-orang, nasi berlauk ayam panggang yang dibalut doa dan mantra puja-puji Mbah Soma menebar kelezatan berlipat-lipat.

***

Sudah bertahun-tahun aku hidup di kota perantauan, sudah banyak kelezatan berbagai jenis hidangan ayam panggang yang kumakan di warung kaki lima hingga rumah makan kelas atas. Di antara semua itu, ayam panggang bertabur doa dan mantra puja-puji Mbah Soma yang paling lezat. Aromanya tak pernah lampus oleh masa.

Kelezatan itu yang menyebabkan aku berniat menjenguk Mbah Soma ketika pulang ke kampung halaman sejak bertahun-tahun hidup merantau. Aku ingin mendengar lagi lafaz mantranya. Lafaz yang memiliki tuah penyedap makanan selamatan di punden, yang selalu menjadi rebutan anak-anak Kedung Pingit dahulu.

?Sudah lama tidak ada selamatan di punden, Mbah Soma sudah tak lagi memimpin doa dan mantra pemghormatan kepada Dang Hyang,? ungkap Lik Kardjo, adik bapakku, yang sontak membuat aku heran dan kecewa.

?Apa yang terjadi??

Menurut Lik Kardjo, Mbah Soma dilarang memimpin doa selamatan penghormatan kepada Dang Hyang Kedung Pingit sejak pohon trembesi yang menjadi punden tumbang disambar petir, suatu hari ketika turun hujan lebat disertai puting beliung. Anak-anak muda yang telah lulus mondok dan kembali ke Kedung Pingit menganggap itu sebagai simbol robohnya perbuatan syirik leluhur kami.

Meskipun larangan itu telah menciderai harga dirinya, sejak itu pula Mbah Soma menolak permintaan memimpin doa dari orang-orang yang masih setia terhadap tradisi turun temurun leluhur kami.

Entah ia merasa dikalahkan atau sengaja mengalah. Ada yang mengatakan bahwa Mbah Soma memilih mengalah sebab berprinsip bahwa memperdebatkan perbedaan keyakian adalah hal yang menjadi pantangan baginya. Tabu untuk diperuncing. Hanya akan mengoyak kerukunan orang-orang Kedung Pingit yang sudah terbentuk sejak zaman mbah-mbah mereka dulu. ?Crah agawe bubrah.?9 Begitu konon kata Mbah Soma.

Mendengar cerita itu, doa dan mantra puja-puji yang dulu dilafazkan Mbah Soma terasa menyasar ke lubang telingaku, menyusup semakin dalam hingga menembus rongga dada dan ulu hati. Harum mewangi. Berkelindan di langit malam. Membersamai lezatnya aroma ayam panggang persembahan kepada Dang Hyang Kedung Pingit. 

 

Catatan kaki:

  1. Garis keturunan ketujuh jika ditarik ke atas.
  2. Tukang memimpin doa.
  3. Kata bakunya sraddha, upacara penghormatan atas dua belas tahun kematian leluhur. Seiring waktu diubah menjadi acara sedekah bumi dan bersih desa.
  4. Jerami pilihan.
  5. Benang putih yang digunakan khusus untuk mengikat merang.
  6. Kependekan dari bocah lanang (anak lelaki).
  7. Kependekan dari simbah kakung (kakek).
  8. Silakan, bisa dipendekkan menjadi mangga.
  9. Bertikai akan merusak tatanan kehidupan.
Leave A Reply

Your email address will not be published.