Berita Nasional Terpercaya

Pemerintah Minta di Kritik, Masyarakat Takut Ditangkap

0

YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Beberapa waktu lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat untuk lebih aktif memberi masukan dan kritik kepada pemerintah guna mewujudkan pelayanan yang lebih baik.

“Masyarakat harus aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan perbaikan,” kata Jokowi, Senin (8/2/2021).

Namun kenyataan dilapangan, banyak masyarakat yang enggan memberikan kritik kepada pemerintah karena takut ditangkap. Seperti yang baru saja terjadi seorang petugas Bhabinkamtibmas Desa Seraya Timur Polsek Karangasem, Denpasar, Bali karena diduga mengkritik pemerintah terkait kondisi jalan yang diterjang banjir akibat belum ada pembangunan jembatan, dia dicopot dari jabatannya.

“Terkadang masyarakat itu takut untuk mengkritik pemerintah karena takut ditangkap, barusan ini saja ada kasus di Bali seorang polisi dicopot gara-gara mengkritik pemerintah disana,” ujar Sunarto warga Yogyakarta, Jumat (19/2/2021) kepada bernas.id.

Dia mengungkapkan, seharusnya ada lembaga khusus atau tempat layanan yang menyediakan fasilitas bagi masyarakat untuk memberi masukan kepada pemerintah.

“Mungkin bisa melalui nomor layanan Whatsapp atau ada tempat khusus bagi yang mau melayangkan kritikan atau masukan kepada pemerintah, jangan sampai masyarakat memberikan masukan atau kritik semaunya tanpa aturan dan arahan yang jelas,” tambahnya.

Senada dengannya, Waljiman warga Sleman juga mengungkapkan hal yang sama. “Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintah dianggap tidak pantas atau kurang pas, tapi nanti kalau kita mengkritik, eh tahu-tahu kita ditangkap. Gimana itu, kita kan hanya rakyat kecil,” katanya.

Bahkan pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2021, Jokowi juga menyinggung soal ruang diskusi dan kritik. Pernyataan mantan Walikota Solo tersebut diperkuat oleh Pramono Anung yang menyebut, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers wajib dijaga. Sebagai negara demokrasi, kebebasan pers merupakan tiang utama untuk menjaga demokrasi tetap berlangsung. ?Bagi pemerintah, kebebasan pers, kritik, saran, masukan itu seperti jamu, menguatkan pemerintah. Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar,? ujar Pramono Anung.

Hal tersebut menuai reaksi dari berbagai kalangan termasuk Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) . Apalagi pernyataan Jokowi ini tak semanis dengan kenyataan, dihadapkan dengan banyaknya penangkapan kritikus di negeri ini. Ia mengibaratkan kritik seperti obat yang terasa pahit dan pujian bak gula yang rasanya manis. Pengibaratan ini disampaikan SBY dalam cuitan di akun Twitternya pada Sabtu (13/2/2021).

“Kritik itu laksana obat dan yang dikritik bisa “sakit”. Namun kalau kritiknya benar dan bahasanya tidak kasar, bisa mencegah kesalahan,” ujar SBY.

MantanWakil Presiden RI, Jusuf Kalla pun ikut bersuara dengan mempertanyakan cara mengkritik tanpa dipanggil polisi. “Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Seperti yang disampaikan Pak Kwik (Kian Gie), dan sebagainya,” ujar JK.

Terpisah Kadiv Humas Jogja Police Watch, Baharuddin Kamba mengatakan pemerintah harus memastikan adanya perlindungan dan jaminan hukum bagi masyarakat yang mengkritik pemerintah, tidak dipolisikan. “Sekali lagi dalam konteks kritik bukan makian dan sejenisnya. Maka wacana revisi UU ITE menjadi penting poin-poin atau yang dianggap pasal karet di UU ITE tersebut dapat direvisi,” katanya.

Kamba sendiri saat ini mengakui sudah banyak ruang-ruang untuk kritik bagi masyarakat terhadap pemerintah, misalnya pada kolom pembaca atau uneg-uneg di media cetak (koran). “Yang selama ini kritik masyarakat lebih banyak dituang pada media sosial, dimana kebanyakan kasus yang dijerat UU ITE menyampaikan kritik ruang media sosial meskipun menurut saya masih multitafsir. Saya sepakat pernyataan dari Kapolri Jenderal Polisi Lisyto Sigit Prabowo yang mengatakan, polisi harus selektif dalam menangani perkara yang ada kaitannya dengan UU ITE. Kita bisa membayangkan beban penjara yang semakin overcapasity dan beban keuangan negara di situasi pandemi Covid-19 saat ini, jika semakin banyak perkara UU ITE yang ditangani oleh pihak kepolisian, yang semestinya dapat diselesaikan diluar jalur hukum, maka beban semakin berat. Dapat menjadi tugas kepolisian sebagai mediator tanpa harus ke proses hukum pengadilan dalam perkara yang ada kaitannya UU ITE,” tandasnya.

Dia juga menganggap tidak perlu adanya lembaga khusus yang menampung semua kritikan kecuali memang diamanatkan oleh UU ITE itu sendiri. “Karena selama ini masing-masing daerah sudah punya kanal untuk menampung keluhan, masukan dan kritikan terhadap pelayanan publik,” tambahnya.

Menurut Kamba instrumen hukum sebanyak apapun, apabila pelaksanannya masih ambradul, maka perlu ada evaluasi secara tuntas atas pelaksanaannya di lapangan. Kita bisa lihat UU Nomor 9 tahun 1998 salah satu instrumen hukum yang sudah ada sejak reformasi 1998 lalu. “Terakhir, perlu ada edukasi dan sosialisasi tidak hanya ditujukan kepada masyarakat tetapi juga perlu ke penegak hukum atas UU ITE selain dapat membedakan mana kritikan, caci maki dan adu domba. Saya kira urgensi revisi UU ITE salah satu point pentingnya adalah bagaimana cara masyarakat mengkritik tapi tidak dipolisikan,” pungkasnya. (cdr)

Leave A Reply

Your email address will not be published.