Berita Nasional Terpercaya

Makna Dibalik Kata Marah

0

HarianBernas.com – Satu kata yang membuat banyak orang menuliskan teori dan dugaan bahwa marah itu ada gunanya atau tidak. Dengan marah, banyak para pelatih dan motivator membuktikan kekuatan emosi tersebut untuk membawa team dan dirinya sukses sampai ke tingkat kejuaraan dunia.

Bila mereka memberikan testimoni dan pelatihan tentunya harus disampaikan dengan penuh berapi-api bahkan cenderung memarahi para pesertanya. Dan para peserta karena sudah kadung membayar, mau dan rela untuk di?marahi? dan membayarnya pula. Yang mereka dapatkan ketika mencoba me?marahi? kembali team-nya jauh lebih sering mudaratnya ketimbang manfaatnya. Sudah untung tidak dapat bonus sakit jantung.

Dengan marah pula, seseorang memanas-manasi kompetitornya supaya ketahuan dimana ?panic button?-nya dan terpancing membuat kesalahan sendiri. Sangat jelas terlihat di arena tinju dan olah raga lainnya, bahkan saat di dalam perdebatan para politisi. Justru tidak jarang provokatornya yang malah terpancing dan keluar panggung dengan memalukan.

Marah juga yang dipersalahkan kalau seseorang memberikan suatu nasehat baik kepada pasangan dan anaknya, yang walau isi nasehatnya benar tetapi bila cara penyampaiannya dengan penuh amarah, maka hasilnya adalah lingkaran setan didalam keluarga.

Teman, amarah itu sangat penting. Karena tidak ada satupun teknologi yang bisa menggantikan fungsi marah. Jadi bila tidak bisa tergantikan dengan apapun, selain sebuah emosi manusia mengapa kita tidak berusaha mengerti lebih dalam?

Beberapa orang mengumpamakan soal marah itu ibarat seseorang yang berteriak marah mengakibatkan pasangannya tambah marah dan berteriak juga, karena kedua hati orang tersebut menjadi tuli. Semakin marah seseorang berteriak akan menyebabkan orang yang terpancing marahnya ikut menjadi tuli.

Menarik bukan ilustrasinya? Bandingkan dengan dua orang kekasih yang sedang PDKT, jangankan berbisik, belum ngomong saja mereka bisa mendengarkan lho apa yang diinginkan pasangannya padahal dulu belum ada HP (ini kisah nyata penulis sendiri).

Marahnya seseorang juga bisa diibaratkan secara ekstrim soal ke-fanatik-an seseorang atau sekelompok orang terhadap apa yang dianggap berbeda. Hal ini sungguh nyata terjadi di suatu negeri antah berantah dimana maling harus lebih keras berteriak maling.

Prinsip ini ada benarnya karena sesungguhnya di dunia ini tidak ada orang yang tidak pernah ?maling? dimata kompetitornya. Tidak ada orang yang tidak punya dosa, jadi sah-sah saja saling tuduh dan akhirnya yang menang adalah yang jago teriak paling keras. Sungguh ironis negara tersebut.

Demikian juga dengan orang yang terlampau ?gampang marah?, maka respon yang dihasilkan sangat luar biasa dampak kehancurannya! Ada salah satu client senior kami bercerita puluhan tahun yang lalu ketika ybs traktir makan karyawan-karyawan yang berprestasi. Maka ketika ada menu yang miss, ditambah pemilik restoran yang sombong, maka meluaplah amarahnya dan langsung menghancurkan benda-benda kaca di restoran tersebut yang tentunya tidaklah murah ketika ybs harus mengganti rugi.

Beliau sangat berubah perilakunya ketika menceritakan kepada kami dan teman-teman, bahwa kalau seseorang memang mau ngotot memelihara tabiat marah, harus punya uang untuk mengganti rugi. Itu baru konsekwensi material. Konskwensi non material, beresiko kehilangan teman akrab. Tambahan dari penulis, mungkin beresiko kehilangan teman seumur hidup atau bahkan nyawanya sendiri.

Sebaiknya kita mencoba melampiaskan energi marah tersebut dengan sesuatu yang memang memerlukan ENERGI yang sangat besar! Contohnya dengan olah raga (sudah mulai masuk akal kan info diawal tulisan tadi?), memberikan semangat kepada orang lain (juga relevan dengan awal tulisan), dan membuat buah pikiran besar seperti sebuah ciptaan (hal ini juga banyak penulis lihat dan alami). Energi yang besar sangat dibutuhkan untuk INOVASI yang kreatif bukan?

Berarti, marah adalah sesuatu yang sangat unik, tidak sama dengan setiap orang (alasannya), tidak bisa pura-pura, dan tidak bisa tergantikan. Hasil yang merusak adalah contoh marah yang tidak diantisipasi. Hasil yang luar biasa juga contoh dari marah yang bisa diantisipasi.

Berdasarkan hasil konseling dengan ratusan client yang berhasil total atau gagal total, maka kami menyimpulkan bahwa, marah itu adalah sebuah INDIKATOR. Ibarat kita mengenal indikator kebakaran melalu sirene yang meraung-raung, atau indikator kelap-kelip tanda bensin mobil mulai kosong, atau alarm berbunyi tanda waktunya bangun tidur dan sebagainya.

Apabila hal ini sudah bisa kita pahami, maka tentu saja kita tidak akan membuang indikator seperti alarm, kebakaran/bensin/waker tersebut bukan? Karena sekali kita buang kita tidak akan pernah tahu adanya bahaya/apa yang akan terjadi kecuali sudah sangat-sangat terlambat.

Didalam konseling, apabila seseorang masih bisa marah (konflik) ini adalah sesuatu yang sangat bagus artinya ybs masih hidup semangatnya. Tentunya dengan diagnosa yang tepat dan cepat, kami biasanya bisa langsung memberikan apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh client SEUMUR-HIDUP kami tersebut.

Lain halnya bila seseorang yang sudah tidak ada lagi rasa marah (apatis) terhadap konflik yang terjadi. Anda sudah pernah dan mengerti perasaaan tersebut? Sangat tidak enak sekali bukan? Misalnya, kalau ada orang juga sudah tidak punya keinginan untuk apapun (termasuk membantu dirinya atau orang lain), ini bukan soal ada atau nggak ada uang lho, pasti kalau dekat orang tersebut sangat berasa dengan ?bau tanah? bukan?

Jadi, marah bukan hasil tetapi adalah INDIKATOR ALAMI. Nah, latihlah dengan ?petunjuk/manual? karakter Anda sehingga tahu apa tindakan kita selanjutnya secara otomatis/spontan untuk menghasilkan sesuatu karya yang besar

Anda masih kesulitan mengendalikan atau membaca amarah Anda? Jangan buang waktu, Anda sudah tahu kemana untuk menghubungi kami bukan?

 

Salam Karakter!
(William Wiguna, 8 July 2016)

Leave A Reply

Your email address will not be published.