YOGYAKARTA, HarianBernas.com – Tokoh-tokoh besar dunia teruji kebesarannya lewat dua hal. Pertama, ketangguhannya di masa kritis. Kedua, peninggalan pemikirannya.
Tak sedikit kisah kebesaran tokoh-tokoh tersebut terlahir justru di penjara atau pengasingan. Soekarno menulis Mencapai Indonesia Merdeka di penjara Sukamiskin. Pramoedya Ananta Toer menulis Tetralogi Bumi Manusia di pembuangan di Pulau Buru. Dan, Pangeran Diponegoro juga menulis Babad Diponegoro saat diasingkan di Manado, Sulawesi Utara (1832-1834).
Baca juga: Filosofi Tari Serimpi Sangupati, Melawan Penjajah dengan Kelembutan
Di sela peringatan 230 tahun Pangeran Diponegoro (11 November 1785 – 8 Januari 1855), Manu Widyaseputra, keturunan ke-5 Diponegoro, menggelar Babad Diponegoro koleksinya. Dosen FIB UGM ini mengklaim bahwa babad koleksinya merupakan karya tulis asli goresan Diponegoro–yang oleh Peter Carey disebut ditulis oleh Dipowiyono, asistennya.
“Babad ini berisi perjalanan pribadi Diponegoro, kenangan bersama nenek di Yogyakarta, bagaimana belajar kebudayaan Jawa, dan tentu saja kisah kekuasaan di keraton Yogyakarta,” ungkap Manu.
Kisahnya, Diponegoro merasakan intrik di dalam istana. Mencari jalan keluar, ia bertapa di Goa Secang, di atas Selarong. Ia berjumpa sosok Ratu Adil, laki-laki berbaju hijau, berkain parang rusak. Sosok itu mengatakan bahwa mau tidak mau Diponegoro harus menjadi penguasa di Yogyakarta dengan gelar Sultan Ngabdul Khamid.
Babad ini juga disebutkan berisi petunjuk saat situasi genting. Diponegoro bergerilya untuk kembalikan eksistensi keraton, yang 50% dalam kekuasaan kolonial. Ia lari dari Selarong sampai Begelen, hingga ditangkap di Magelang dan diasingkan di Manado.
“Buku ini sebagai peringatan kepada keturunan agar apa yang dilakukan jangan diulangi. Diasingkan, bagaimana pun, menyakitkan bagi seorang satria keraton. Dan, menariknya, babad ini dituturkan secara didaktik-moralistik. Yakni, bagaimana menjadi satria. Pertama, melindungi bumi. Urip bareng karo bumi. Kedua, melindungi manusia. Lindungi rakyat sebagai penopang keraton. Sekarang satria sibuk dengan diri sendiri. Akibatnya terjadi krisis ekologi dan eskatologi. Lingkungan rusak. Rakyat bingung masa depan. Banyak orang frustrasi,” pungkas filolog yang banyak berkutat dengan teks-teks kuno ini.
Baca juga: Memahami Pentingnya Integrasi Nasional dan Faktor Pembentuknya