Cita-cita, impian, tujuan adalah hal penting dala kehidupan manusia. Untuk membuat manusia tetap berpikir, bertindak, dan berkarya.
Bicara mengenai cita ? cita, ada kisah tentang seorang pria yang berhasil mewujudkan cita-citanya, menjadi dokter ternama, meskipun pria ini berasal dari keluarga miskin. Lantas, apa yang membuat pria ini berhasil mewujudkan cita citanya itu?
Setiap pukul 6 pagi, Lie Augustinus Dharmawan (Li De Mei), mengucapkan doa “Tuhan, aku ingin menjadi dokter dan sekolah di luar negeri.” dengan sungguh-sungguh, di sebuah gereja dekat sekolahnya. Menjadi dokter merupakan impiannya sejak kecil. Mimpi ini tumbuh saat dia melihat banyak orang sakit yang tak sanggup berobat ke dokter, hingga akhirnya terpaksa pergi ke dukun. Cita-cita ini sempat dia katakan dengan lantang di kelas, di depan banyak teman-teman sekolahnya. Alhasil, cita-citanya berbuah tawa dari teman-temannya. Namun, Lie tak gentar untuk terus bermimpi menjadi dokter.
Tumbuh dari keluarga miskin, Lie yang lahir di Padang 69 tahun silam, harus menemui banyak rintangan dalam hidupnya. Sang ibu tak sempat menamatkan sekolahnya. Meskipun begitu, Lie dianugrahi seorang ibu pekerja keras, tangguh, dan berbudi luhur. Hal itulah yang menurun pada diri Lie. Satu hal yang selalu dikatakan ibunya, ?Lie, kalau kamu sudah jadi dokter, jangan memeras orang kecil. Mereka akan membayar berapapun tetapi diam-diam menangis di rumah karena tidak ada makanan.” Kata-kata tersebut melekat kuat dalam benaknya dan menjelma sebagai tekad untuk menjadi dokter yang sesungguhnya. Tekadnya ini semakin bulat ketika dia menyaksikan langsung adiknya yang pergi meninggalkan keluarga tercinta karena menderita diare akut. Sejak itu, dia tak berhenti berdoa, belajar, dan, bekerja keras demi mewujudkan cita-citanya.
Karena ketekunan dan kerja kerasnya, Lie akhirnya berhasil lulus dari SMA dengan prestasi gemilang, di tahun 1965. Namun, dia selalu gagal ketika mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas di Pulau Jawa. Lie kemudian diterima di Universitas Res Publica (URECA). Namun, baru beberapa hari ia kuliah, gedung kampus tersebut dibakar massa. Lie tidak putus asa, kemudian memutuskan untuk kerja serabutan. Apa saja dia kerjakan. Paling tidak sampai uangnya terkumpul untuk ongkos ke Jerman.
Tanpa dukungan beasiswa, saat usianya 21 tahun, Lie mendaftarkan dirinya ke Fakultas Kedokteran Free University, Berlin Barat. Dia diterima. Tanpa sokongan beasiswa, tentu saja ia harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan semangat yang tak pernah padam, Lie bekerja sebagai kuli bongkar muat barang di Jerman. Upah masih belum juga cukup. Dia pun bekerja di tempat lain, di sebuah panti jompo. Tugasnya? Membersihkan kotoran para orang tua berumur 80-an tahun.
Kesibukannya bekerja dan belajar tak membuat prestasinya turun. Lie pun pada akhirnya mendapat beasiswa. Uangnya kemudian digunakannya untuk membiayai keluarga. Jerih payah dan kegigihannya berbuah manis. Lie lulus dari sekolah kedokteran dengan menyandang gelar Medical Doctor.
Perbedaan orang sukses dengan yang belum sukses ternyata tercermin dalam diri Lie sejak muda. Mereka yang sukses tak pernah puas dengan pencapaiannya. Empat tahun kemudian, Lie berhasil menyandang gelar Ph.D. Selama 10 tahun, pria keturunan Tionghoa ini berhasil lulus sekolah kedokteran dengan empat spesialisasi; ahli bedah umum, ahli bedah toraks, ahli bedah jantung, dan ahli bedah pembuluh darah. Setelah itu dia kembali ke Indonesia, dan menjadi dokter yang sangat memperhatikan kesehatan orang-orang kecil. Bahkan, dia sering mengobati pasien, serta melakukan operasi secara cuma-cuma. Termasuk dengan membangun rumah sakit apung swasta pertama di Indonesia, yang mengoperasi dan memberi pengobatan bagi orang-orang miskin tanpa biaya.
Kisah Lie Dharmawan ini seharusnya menjadi pecut bagi anak-anak muda untuk segera menyelesaikan studinya. Lie juga mengajarkan pada semua orang, termasuk para dokter, untuk menjadi dokter yang sungguh-sungguh. “Kalau kamu menjadi dokter, kamu jangan memeras orang miskin. Mereka akan membayar, tapi mereka akan menangis karena ketika pulang mereka tak punya uang untuk membeli beras,” katanya.
Luar biasa sekali bukan? Semoga bisa menginspirasi kita semua ya.