JOGJA, HarianBernas.com ? Kapolda DIY Brigjen Polisi Erwin Triwanto dengan tegas menginstruksikan agar jajarannya yang ditugaskan menjaga Tempat Pemungutan Suara (TPS) agar tidak meninggalkan wilayah penugasan sebelum pencoblosan dan penghitungan suara sementara berakhir. Instruksi itu ditekankan agar tidak timbul kericuhan atau konflik baik di saat maupun usai berlangsungnya pencoblosan.
?Jangan meninggalkan wilayah penugasan sebelum berakhir serta laporkan setiap perkembangan situasi kepada pimpinan di satuan kewilayahan,? ujar Erwin, Senin (7/12) pagi, saat apel pergeseran pasukan dalam rangka pengamanan Pilkada.
Erwin juga memerintahkan bawahannya agar melaporkan detil dan dinamikan situasi kamtibmas, khususnya di 5.597 TPS. Untuk Kapolres di tiga daerah yang menjadi Kepala Satuan Tugas Daerah (Kasatgasda) agar memberdayakan seluruh personil untuk pengamanan.
?Berdayakan seluruh personil yang terlibat untuk melaksanakan back up pengamanan pada satuan kewilayahan (satwil) dan koordinasi yang baik dengan para Kasatwil,? tegas dia.
Pada Pilkada serentak kali ini, Polda DIY menerjunkan 1.338 personil untuk pengamanan Pilkada. Jumlah tersebut terdiri dari 136 anggota Sabhara, 322 personil Brimob dan 400 staf Polda DIY. Sementara, personil yang ditempatkan di Mapolda danm Mako Satbrimob terdiri dari 35 personil Sabhara, 92 personil Brimob dan 351 PNS Polda DIY.
Kabid Humas Polda DIY AKBP Anny Pudjiastuti kepada Bernas menuturkan, pengamanan akan berlangsung hingga rekapitulasi akhir dan penetapan hasil Pilkada. Titik kritis Pilkada, ujar Anny, tidak hanya sebatas pada hari pencoblosan semata.
?Kita akan tetap melakukan pengamanan sampai tahapan hitung dan rekap yang akan berlangsung 10-23 Desember dan penetapan hasil Pilkada pada 21-22 Desember,? ujarnya.
Tak istimewa
Sementara itu, pengamat sosial Arie Sudjito memandang Pilkada yang akan berlangsung, Rabu (9/12) besok, di DIY tidak berbeda dibanding daerah lainnya. Dirinya menyebutkan tidak ada sesuatu yang istimewa dari pelaksanaan Pilkada di DIY.
?Potensi money politics masih ada, kemudian calon-calon yang tampil tidak jelas visi dan misinya. Sementara itu, masyarakat juga tidak banyak mengenal visi dan misi apalagi rekam jejak para calon yang bertarung di Pilkada,? sebutnya, Sabtu (5/12) kemarin.
Pada diskusi jelang Pilkada yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY, Arie menegaskan, bukan lagi masanya ukuran kualitas Pilkada ditentukan dari kuantitas masyarakat yang menggunakan hak suaranya.
?Ingat, Jogja ini menyandang banyak predikat, Kota Pendidikan, Kota Budaya dan Kota Pelajar. Artinya, bukan lagi saatnya kita bicara kuantitas, kita harus bicara kualitas. Bagaimana calon-calon yang muncul, apa sih yang telah mereka lakukan untuk masyarakat, kemudian apa program dan visi misinya,? ungkap dia.
Arie pun mengingatkan ketiadaan calon yang kompeten dan memiliki visi dan misi yang jelas, telah menunjukkan kegagalan partai dalam mereproduksi pemimpin-pemimpin yang baik bagi masyarakat. ?Kita saat ini harus berharap pada masyarakat. Jadilah pemilih yang cerdas, karena kita tidak bisa berharap lagi pada partai,? tandas dosen Sosiologi UGM itu.
Hal serupa juga diutarakan M Arief Budiman. Dosen sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang juga menjadi pembicara dalam diskusi bertema Mencari Istimewanya Jogja di Pilkada Bersama mengungkapkan, saat ini banyak mahasiswa yang lebih mengikuti pemberitaan tentang tokoh seperti Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Walikota Bandung Ridwan Kamil dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini.
?Saat ditanya tentang berapa calon yang bertarung di Pilkada Sleman, mereka tidak mengerti. Ini artinya, calon-calon yang ada belum memanfaatkan teknologi informasi agar dirinya dapat dikenal dan begitu juga program-program mereka. Tak ada inovasi sehingga saya rasa tidak ada yang istimewa,? tutur dia.