Haryadi Suyuti, Terinspirasi Perjuangan Sang Ayah
HarianBernas.com – Bukan berarti bisa bebas tanpa aturan ketika anak tumbuh menjadi besar meski lebih banyak berada jauh dari orang tuanya. Tidak menjadi alasan untuk malas berbakti kepada orang tua jika si anak harus hidup bersama seorang ibu sambung. Bahkan, kedua kondisi tersebut juga bukan lantas meniadakan semangat bagi si anak untuk meraih prestasi.
?Takdir perjalanan hidup seseorang tak bisa ditawar. Hal yang baik adalah menjalani sebaik-baiknya apa yang telah menjadi ketentuan sang Maha Pencipta. Hal itulah yang dialami oleh seorang anak bernama Haryadi Suyuti. Semasa kecil dia telah ditinggal ibu kandungnya tercinta bernama Zaimah, yang meninggal dunia karena melahirkan dua anak kembar. Ibu kandungnya sendiri berasal dari Karanganom, Klaten, merupakan adik dari ibu kandung bupati Sleman Sri Purnomo.
“?Ibu kandung saya sedo (meninggal,red) tahun 1968 di Serang. Saya nggak tahu gimana ceritanya tapi yang jelas ibu usai melahirkan anak kembar dua yaitu adik-adik laki-laki saya, beliau meninggal, termasuk kedua adik-adik saya itu,” ujar Haryadi.
Ketika ujian duka itu datang, keluarga sedang di Serang. Ketika itu kondisi keamanan keluarga sedang terganggu karena peristiwa komunisme di Indonesia, sehingga ayahnya yang juga merupakan tokoh pergerakan di Yogyakarta, ketika itu mengasingkan diri di Serang.
?Ketika itu Haryadi masih bocah berusia 4 tahun. ?Haryadi sendiri merupakan anak mbarep yang lahir di Yogyakarta 9 Februai 1964 ?buah hati dari pasangan Zarkowi Soejoeti dan Zaimah. Meskipun tidak lama mengeyam kasih sayang dan belaian dari ibu kandung, namun Haryadi tidak menjadi bocah yang cengeng. Sepeninggal sang ibu kandung, Haryadi pun sepenuhnya berada dalam asuhan sang ayah, Zarkowi Soejoeti.
?Berada dalam asuhan sang ayah bukan tanpa masalah dalam hal kasih-sayang.Haryadi kecil juga harus menerima karena sering ditinggal ayahnya bekerja. Baru kemudian pada sekitar tahun 1971 sang ayah menikah kembali dengan meminang Yayah Maskiyah dari Indramayu. Pasangan inipun dikarunia lima anak, empat laki-laki dan satu perempuan.
?”Nah, singkatnya hidup bersama ibu sambung tentu ada suka ada duka, itu biasa saja. Namun, itu harus saya terima, ya dijalani saja,” katanya.
Menurutnya, baik ayahnya maupun ibunya sering mengatakan kepada dirinya tidak ada perbedaan dalam perlakukan kepada semua anak-anaknya. ?”Jadi, semua hubungannya baik. Tidak ada perbedaan sesama saudara. Jadi saya punya tiga mbah. Mbah di Jogja (dari ayah), mbah dari ibu kandung (dari Klaten) dan mbah dari ibu sambung (Indramayu),” katanya.
Haryadi sendiri menapaki bangku sekolahan dengan berpindah-pindah Kota. Sejak SD kelas 1-IV ?dirinya sekolah di Jakarta, namun masuk kelas V-VI dirinya pindah di SD Percobaan II IKIP Yogyakarta. Kemudian setelah lulus SD dia kembali ke Jakarta masuk SMP Al-Azhar. Lalu belum lulus dari SMP Al-Azhar dirinya pindah lagi di SMP Negeri 5 Semarang. Baru kemudian masuk SMA Negeri I Yogyakarta hingga kuliah mengambil juruan Administrasi Negara, Fisipol, UGM.
“Mulai SMA sampai kuliah bisa full tidak pindah-pindah lagi. Tapi ketika itu saya tinggal bersama bude ?di Saudagaran, Tegalrejo,” ucapnya.
Pola hidup Haryadi yang nomaden atau ?berpindah-pindah sekolahan tersebut tak lepas dari ketugasan sang ayah. Ayah yang sebelumnya seorang dosen dan ahli hukum Islam di IAN Sunan Kalijaga diangkat menjadi Rektor di IAIN Walisongo Semarang.
“Dalam dua periode tahun 1979 – 1987 ayah saya mendapat tugas menjadi Rektor di IAN Walisongo. Sehingga memang sekolah saya juga harus berpindah-pindah, tapi itu tidak apa-apa. Justru sejak kecil sudah mulai mengenal pendidkan kota satu dengan lainnya,” katanya.
?Prestasi sang ayah pun berlanjut pasca menjabat rektor IAIN Walisongo. Pada 1987 sampai 1996 sang ayah kembali ke Jakarta dengan tugas menjadi Direktur Jendral (Dirjend) di Departemen Agama. Setahun kemudian, pada tahun 1997, sang ayah ditugaskan Presiden Soeharto menjadi Duta Besar (Dubes) RI di Kerajaan Saudi Arabia merangkap Kasultanan Oman. Dilanjutkan pada tahun 1999 sang ayah kembali dipercaya negara menjadi Dubes RI di Suriah, hingga pensiuan pada tahun 2002.
?”Sekarang usia ayah saya 82 tahun. Kondisinya sedang tidak fit, sedang sakit sepuh, tapi saya tetap sering komunikasi,” katanya.
?Haryadi mengaku banyak terinpirasi perjuangan sang ayah. Banyak hal yang bisa diambil sebagai teladan. Menurutnya menjadi Dubes adalah tugas yang tidak ringan, sebab dia mewakili Indonesia di negara lain.
“Jarang dubes pindah dari penugasan satu negara ke negara lain tanpa harus pulang. Beliau pindah menjadi Dubes Suriah dari sebelumnya di Saudi, tanpa pulang dulu. ?Namanya dubes itu adalah Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP),” paparnya.
Diakhir cerita ia mengingatkan bahwa ayahnya banyak memberikan nasihat kepadanya. ?Meskipun dia jarang bertemu ayahnya namun sang ayah selalu menamkan kepada anak-anaknya pentingnya berpegangan pada agama dalam menjalani hidup. “Karena itu sebagian sekolah saya juga di sekolahan Islam,” katanya.
Nasihat lainnya yang selalu ditanamkan sang ayah kepada anak-anaknya adalah ?selalu mengajarkan kejujuran. “Kejujuran, nilai-nilai agama inilah yang sering ditanamkan ayah saya kepada anak-anaknya hingga tumbuh besar, dewasa dan mandiri. Dan bagaimanapun posisi saya, siapa saya, kalau dengan orang tua saya tetaplah anak yang harus berbakti,? katanya.