Mantradisi Suguhkan Macapat dengan Elegan dan Cara Pandang Baru

Bernas.id – ?Hong wilaheng awighnamastu namasidh. La illaha illah, mantradisi dililani. Hanggelar Diponegoro.? Lantunan Maskumambang itu mengalun dengan khusyuk sebagai pembuka. Dengan dentingan lonceng kecil, Paksi sang vokalis membuka pertunjukan dengan lirik Pujasastra. Seperti doa pembukaan yang dipanjatkan pada malam yang dingin. Malam itu atmosir Ampi Teater Rumah Budaya Tembi diselimuti aroma rempah yang dihembuskan gun smoke sehingga memberi nuansa yang lain.
Pertunjukan Musik Macapat oleh Mantradisi berkolaborasi dengan Sanggar Seni Kinanti Sekar yang mengambil judul Goro-Goro Diponegoro ini digelar Kamis malam 14/9/17 di Ampi Teater Rumah Budaya Tembi Jl. Parangtritis Km 8.4, Timbulharjo, Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Acara ini memang memberi tawaran alternatif, yaitu menggabungkan pertunjukan musik dengan elemen seperti tari, teater, wayang, dan videografi.
Naskah yang ditulis oleh Paksi Raras Alit diadaptasi dari babak Perang Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Kisah epik perang besar di Jawa ini membawa dampak sangat besar bagi perjuangan selanjutnya di Negara Indonesia. Pangeran Diponegoro merupakan ikonik pahlawan dari Yogyakarta yang familiar. Dengan sejarah Perang Jawa, penonton kembali diingatkan pada ?ruang? masa kini tentang ingatan masa lampau melalui pertunjukan musik berdurasi 1,5 jam ini.
Kelompok Mantradisi, dengan personil Paksi Raras Alit (vokal, syntesiser), Dibya Imam Prasetya (bass, ipad digital app), Rizki Septiandi (gitar, ipad digital app), Nikko YAS (drum, kendang, digital percussion), Jaeko (suling, etnik percussion) membawakan 11 repertoar yang berpijak dari tembang Macapat. Menurut Paksi, ?Macapat sebagai puisi Jawa menjadi medium pemaparan cerita untuk mengikat tradisi penuturan cerita dalam budaya Nusantara. Teknologi mutakhir visual animasi dan musik digital dilibatkan sebagai penanda keluwesan harmonisasi tradisi dan modernitas.?
Paksi mengakui memang tidak mengacu pada plot sesuai urutan Macapat yang berkembang dalam wacana umumnya, namun ia mengambil karakter dari setiap tembang dan menyejajarkan sasmita tembang sesuai spirit teks ke dalam musiknya.
Mantradisi malam itu, tampil membawa artikulasi baru tembang Macapat. Teks sastra Jawa disajikan dengan cara ungkap pada ruang dan waktu yang kekinian. Lirik-lirik dihentak dengan pukulan drum dan perkusi, ditambah dengan distorsi gitar, seruling, betotan bass. Pada bagian Megatruh, suasana menjadi melankolis ketika musisi Gardika Gigih muncul dengan pianikanya memainkan melodi requiem. Seperti dalam sasmita tembang dan wayang yang ditampilkan tentang dampak perang yang berakibat jatuh korban.
Selama 1,5 jam penonton dibuai dengan alunan musik yang dominan rock. Telinga dimanjakan kisah heroik pahlawan yang menjadi ikonik serta sejarah di Yogyakarta. Semua menjadi tak asing lagi dengan Perang Jawa yang dilakonkan Pangeran Diponegoro. Fantasi serasa melayang pada masa lampau karena penonton seperti diajak bermanifestasi tentang teks sastra Jawa atas atas narasi visual tentang Diponegoro. Penonton tidak lagi hanya mengenal Macapat harus melulu geguritan atau diiringi instrumen gamelan. Namun, musik dengan aksen distorsi, aksen instrument tradisi, dan syntesiser memberi cita rasa kuat pada setiap tembang.
Lirik yang berpijak dari teks sastra seperti ditempatkan pada ruang dan waktu yang tepat pada generasi milenial. Pertunjukan musik ini tentunya juga memikirkan bagaimana strategi artistik disiapkan dengan matang tentang sebuah karya seni yang akan bertemu dengan penikmatnya. Mantradisi tentunya berpikir cukup rapi perihal manajemen musik ini.
Musik dengan lirik Macapat ini dibesut dengan apik. Penyajiannya pun beruntun mulai dari Maskumambang – Durma ? Mijil ? Pangkur ? Kinanthi ? Pocung ? Gambuh ? Mijil ? Megatruh ? Dhandanggula. Alur dramatika ini dijalin sedemikian rupa, didukung dengan videografi dan wayang yang tampil di screen semakin mempertajam pertunjukan macapat menjadi elegan.
Di bagian Kinanthi misalnya muncul penari Kinanti Sekar Rahina. Menggambarkan seorang perempuan bernama Ratnaningsih. Munculnya penari ini seperti kisah di dalam kisah yang sudah dimodifikasi.
Di bagian Durma, rolling snare drum seperti ilustrasi pembakar semangat para prajurit yang maju perang. Dengan lirik yang dinyanyikan turut memberikan energi. Lirik dinyanyikan seperti sebuah yel-yel: Baris bebaris rampak sing urut kacang. Srogal-srogol walandi. Nata dipun tata. Wibawanipun sirna. Gonjang-ganjing ing nagari Ngayogyakarta. Nora bisa tinampi.
Pada plot goro-goro pun musik dibuat jeda dengan tampilnya komedian Alit Jabangbayi dan Gundhisos. Mereka memainkan peran Gareng dan Petruk membawakan banyolan yang cukup segar. Kedua komedian muda Jogja ini piawai berbalas-balasan materi dagelan dengan plesetan yang cukup cair. Bagian ini seperti jeda untuk menurunkan ketegangan dari awal. Benar-benar musik yang dipikirkan menurut tangga dramatik yang diadopsi dari pewayangan.
Pada adegan Mijil, videografi menampilkan Wayang saat Tegalrejo terjadi kebakaran, dalang memaparkan pasukan berkuda. Plot wayang kulit yang modifikasi ini juga tampak dimulai dengan donga, jejer, goro-goro, perang.
Mantradisi mempunyai cara lain melalui musik dalam memposisikan tembang Macapat. Bahkan Paksi menuturkan, ?Selama ini yang beredar di berbagai kalangan umum bahwa plot Macapat harus dimulai dari Maskumambang, kemudian diakhiri dengan Dhandanggula beserta nilai filosofisnya yang sudah umum dikenal, ia pun menampik tidak setuju. Menurutnya sebagai seorang Sarjana Sastra Jawa, ia tidak mengunakan tinjauan filosofi semacam itu. Itu analisa atau hipotesa yang menjebak.”
Bagi Paksi, dulu macapat berkembang pada masyarakat dalam kebudayaan kita. Orang cukup selo membuat othak athik gathuk, nisalnya Maskumambang harus bercerita tentang proses kelahiran manusia atau tentang suatu zat yang kumambang, yaitu embrio proses kelahiran manusia. Atau tentang Megatruh yang tentunya bercerita tentang kematian karena diambil dari penggalan kosa kata Megat dan Ruh. Itu yang sudah terlanjur terjadi dan bagi Paksi hal semacam itu juga tidak perlu disalahkan karena merupakan bagian dari kekayaan kebudayaan.
Cara pandang inilah yang sebenarnya ingin ditawarkan Mantradisi kepada penonton. Ada cara penikmatan tertentu yang bisa disuguhkan melalui Macapat dengan lebih otentik. Tembang Macapat sebagai karya sastra adiluhung tetap terjaga spirit dan karakternya, sementara ada aransemen khusus di mana musik menjadi komunikasi untuk mengajak romantisme penonton merefleksikan ulang apa dan siapa Pangeran Diponegoro.
Lewat pertunjukan musik tersebut, Mantradisi berhasil menempatkan sastra Jawa pada puncaknya. Ada kenikmatan lain, ada pengalaman lain yang lebih terasa tentang musik dengan kemasan trans kultural ini. Mantradisi untuk kali ini, memang berusaha keras mengeksplorasi macapat dengan sentuhan aksen musik digital. Namun tidak menutup kemungkinan, kelak akan mengekplorasi kidung, pupuh, kakawin, atau serat Jawa yang lainnya. Gagasan bermusik inilah yang dirasa lain daripada yang lain.