Pahlawan, Sebutan untuk Menghibur Para Guru

Bernas.id – Tanggal 25 November mendatang, kita akan memperingati Hari Guru. Sebelumnya, tanggal 10 November kita memperingati Hari Pahlawan. Dalam bulan yang sama, kita memperingati dua sosok yang seringkali diimajinasikan sebagai pahlawan. Keduanya sama-sama pahlawan. Keduanya sama-sama berjuang. Keduanya sama-sama membangun negeri ini.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, setiap tanggal 10 November semua instansi wajib melaksanakan upacara bendera dengan aturan dan busana yang telah ditentukan. Semua instansi akan mengikuti perintah tersebut. Tentu saja sebagai warga negara yang baik kita memang harus tunduk dan menjalankan dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, kita dianggap tidak bisa menghormati para pahlawan yang sudah mengorbankan jiwanya untuk berdirinya negeri ini. Jadi layak jika seluruh rakyat Indonesia memperingatinya. Demi menghormati para pahlawan, semua rakyat Indonesia dengan suka rela melaksanakan upacara.
Sekarang mari kita bandingkan dengan peringatan untuk pahlawan yang kedua, yaitu guru. Tanggal 25 November telah ditetapkan sebagai hari Guru. Pemerintah juga memberi gelar guru sebagai pahlawan, tetapi pahlawan yang kedua ini tanpa tanda jasa. Namun, pada saat tanggal tersebut tiba, adakah upacara yang laksanakan oleh segenap rakyat Indonesia? Adakah instruksi untuk melaksanakan upacara kecuali instansi pendidikan? Jawabnya tentu tidak. Mengapa? Apakah karena guru tidak layak mendapat gelar pahlawan?
Tanpa Upacara
Sekarang coba kita renungkan bersama. Dalam memperingati para pahlawan semua peserta upacara mengikuti dengan khidmat. Lagu ?Kepada Pahlawan? setiap upacara selalu didengungkan. Para pahlawan dipuji oleh seluruh rakyat Indonesia dengan lagu pujian tersebut. Dalam peringatan itu pun yang melakukan berbagai kegiatan juga rakyat Indonesia. Bukan para pahlawan atau keluarganya.
Dalam upacara peringatan hari guru, siapa yang menyanyikan himne guru? Kalau upacara dilaksanakan di sekolah tentu saja siswa akan menyanyikan lagu tersebut. Memberikan pujian setahun sekali. Tetapi jika upacara dilaksanakan di lapangan(upacara bersama para guru), siapa yang menyanyikan? Guru. Jadi guru bernyanyi untuk diri sendiri. Guru memuji diri sendiri. Dalam peringatan pun yang melaksanakan kegiatan juga para guru. Misalnya dengan mengadakan kegiatan jalan sehat dan senam massal. Aneh dan lucu.
Pemikiran ini bukan karena ada rasa iri dari sosok guru. Namun, ada sesuatu yang dirasa janggal dalam momen ini. Ada hal-hal yang terasa kurang pas. Apalagi jika dihubungkan dengan gelar yang diberikan untuk guru yaitu pahlawan tanpa tanda jasa. Kita semua sadar bahwa penghormatan kepada para pahlawan terutama yang telah gugur di medan perang memang hal yang mutlak harus dilakukan. Durhaka rasanya jika kita tidak menghormati beliau-beliau. Permasalahannya, sudah layak pulakah penghargaan yang diberikan pada guru yang notabene diberi gelar pahlawan?
Untuk lebih jelasnya mari kita kupas satu persatu. Apa itu pahlawan? Siapa yang menganggap guru pahlawan? Apa yang layak dilakukan untuk pahlawan?
Pahlawan
Menurut KBBI, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah; hero. Dengan demikian, pantas jika para pejuang memperoleh gelar tersebut. Mereka telah berjuang dan mengorbankan jiwa raga demi negeri ini. Jika di kemudian hari guru diberi gelar yang sama, kemungkinan itu untuk menghargai pengorbanan dan perjuangannya dalam mendidik generasi muda yang akan menjadi tulang pungung bangsa.
Sebenarnya, siapa yang menganggap guru sebagai pahlawan? Pemerintah, guru sendiri, atau mantan siswanya? Jika guru diberi gelar pahlawan karena jasa, pengorbanan, dan perjuangannya dalam mendidik generasi bangsa, mestinya semua orang yang telah merasa dididik oleh guru menganggap guru adalah pahlawan. Meskipun pemerintah tidak memberikan gelar pahlawan tanpa tanda jasa pada guru, jika orang merasa dididik oleh guru, ia akan menganggap guru adalah pahlawannya. Dengan demikian tidak akan lagi ancaman-ancaman yang diterima oleh guru dalam menjalankan tugasnya, entah ancaman itu berasal dari masyarakat, orang tua, bahkan dari siswa sendiri. Karena secara pemikiran normal pahlawan adalah orang yang dipuji karena kebaikan dan jasanya. Bukan orang yang disatroni karena perilakunya.
Apa yang layak dilakukan untuk guru sebagai pahlawan? Pertanyaan ini yang rasanya sangat menggelitik. Sebagai seorang pahlawan, mestinya guru mendapatkan perlakuan yang layak, dihormati dan disegani. Namun, pada kenyataannya banyak kejadian yang membuat guru menjadi tersudut dan tak berdaya menghadapi berbagai masalah. Beberapa guru justru harus berhadapan dengan hukum karena mereka ingin mendidik putra-putri bangsa. Ironisnya, yang menyeret guru ke meja hijau tidak lain adalah orang-orang yang sebenarnya telah memperoleh buah dari perjuangan guru.
Mereka yang pada awalnya mempercayakan pendidikan putranya kepada seorang guru. Tetapi di kemudian hari mereka menyeret guru tersebut ke meja hijau karena guru dianggap melakukan tindakan semena-mena. Lebih parah lagi jika ada yang tidak mau tahu penyebab seorang guru harus mendidik siswanya dengan agak keras. Mereka seolah tidak mau melihat bahwa beberapa siswa memang perlu dididik agak keras. Misalnya, jika siswa bersikap tidak sopan atau bahkan kurang ajar terhadap orang yang lebih tua.
Penutup
Dalam hal ini hendaklah kita jangan berharap berlebihan pada seorang guru. Walau bagaimana pun guru adalah manusia. Guru bukan makhluk istimewa yang tidak bisa khilaf, guru bukan manusia yang tidak bisa marah atau tersinggung.
Sebagai bangsa yang besar, pantaskah kita berbuat demikian? Sudahkah kita menghargai jasa pahlawan kita? Ataukah pahlawan kita akan kita biarkan menghibur diri sepanjang hayat? Akan kita biarkankah pahlawan kita menyanyikn himne untuk diri mereka sendiri? Ataukah kita akan senantiasa mendengungkan lagu himne tersebut sepanjang hayat? Mari kita renungkan. (*Penulis: Agustina Prapti Rahayu, SPd, Guru SMAN 1 Sedayu).