Berita Nasional Terpercaya

Kambing-kambing Pengganti Ismail

0

Bernas.id – Petang hari ketika kambing milik Parno mati adalah tanggal sembilan dalam penangggalan Jawa. Aku ingat, itu bulan Besar, karena malam setelah kejadian, gema takbir berkumandang dari langgar sebelah rumahku. Tak ada yang mendengar tangisan lelaki malang itu. Tabuhan bedug bertalu-talu yang mengiringi suara takbir menenggelamkannya.

Tentang siapa Parno, semua orang Desa Kedung Pingit sudah mengetahui. Bujang tua itu sering tersenyum dan tertawa terbahak-bahak sendiri. Bahkan terkadang menangis sejadi-jadinya tanpa sebab yang pasti?barangkali ketika ia menangisi kematian kambingnya, orang-orang berpikir bukan sungguhan menangis. Hal inilah yang membuat Parno dianggap kentir. Ditambah lagi penampakan tubuh dan wajahnya yang lain dari orang kebanyakan. Dua bola matanya lebih menonjol keluar. Bentuk kepalanya kecil dan mengerucut, serta bibirnya tidak bisa terkatup rapat.

Mbah Ponijem, simboknya Parno mungkin satu-satunya orang di Kedung Pingit yang menganggap anaknya itu normal dan waras. Padahal usia bujangnya sudah hampir 40 tahun, namun ia masih suka bermain dengan anak-anak umur belasan tahun. Tak jarang, ia masih suka pergi ke lapangan untuk menyoraki bocah-bocah cilik bermain bola dan layangan. Sementara teman-teman sepantarannya sudah menimang bayi dan pergi berjalan-jalan dengan anak-anak mereka ke kota.

Aku juga sependapat dengan Mbah Ponijem. Bagiku, Parno adalah orang waras. Setiap kali aku memberi makan kambing dan sapi milik bapakku di kandang yang letaknya berdekatan dengan rumah Parno, bujang tua itu selalu menyapaku dengan bersahaja. Bahkan sering kujumpai ia memanjat pohon jambu Darsono di pekarangannya, lalu memberikan sebagian buahnya kepadaku.

Mungkin sebab itu, meski orang sedesa menganggap Parno sebagai bocah kentir, simboknya yang sudah setengah pikun itu tidak pernah terima. Bagi Mbah Ponijem, Parno tetap sosok anak yang kelak bisa tumbuh gagah, lantas menikah dan memiliki anak. Seperti halnya anak lelaki normal pada umumnya. Selalu saja ada hanyalan yang berkeliaran di benak perempuan tua itu. Hayalan yang tak pernah lekang oleh waktu, sampai kini tubuhnya sudah nyaris dimakan renta. Sebuah kenyataan, bahwa anak lelakinya telah menjadi bujang tua, tidak pernah disadarinya.

Mula-mula keadaan Parno menjadi gunjingan orang-orang Kedung Pingit. Tetapi setelah berjalan bertahun-tahun, akhirnya ia seperti sudah menjadi bagian dari keseharian desa kami. Keberadaan Parno dengan tabiatnya terus bergulir mengikuti irama gerak dan napas, bahkan menjadi kenormalan Desa Kedung Pingit. Parno, yang hanya hidup bersama simboknya, mulai bisa disuruh bekerja membantu tetangganya ke sawah, sekadar menyiangi tanaman parasit. Di rumahnya, bahkan Parno juga sudah memelihara kambing. Jumlahnya ada dua ekor.

Begitu sudah menyatunya keadaan Parno dengan Desa Kedung Pingit, sehingga sehari-hari tak seorangpun perlu memberi perhatian khusus kepadanya. Namun hari ini lain, dari pembicaraan bapak dan simbokku, aku mendengar Parno tadi pagi nyaris dipukuli Mbah Soma. Padahal Parno hanya meminta beberapa pucuk daun ketela muda untuk pakan kambing-kambingnya. Mbah Soma marah dan memaki-maki dengan kata-kata umpatan, ?Dasar bocah kentir.?

Aku juga mendengar bahwa Mbah Soma mengamuk karena Parno juga mengeluarkan umpatan kepada lelaki tua itu sebagai orang bau tanah yang pelit?semua orang Kedung Pingit tahu bahwa Mbah Soma menanam jenis ketela aneh dan tak pernah mengizinkan siapapun mengambil pucuk daunnya.

Terdorong rasa keingintahuan, sore itu aku mendatangi Parno dan menemukan ia sedang memberi makan dua ekor kambingnya. Nampak beberapa ikat daun ketela teronggok di sudut kandang. Sebagian dari daun-daun itu tergenggam di tangan Parno yang sedang asyik dengan kambing-kambingnya.

?Kang Parno,? aku memanggilnya pelan. Parno menoleh, menatapku sekejap lalu tersenyum. Aku terkejut melihat mata bujang itu berkaca-kaca.

?Kamu baik-baik saja, Kang??

Parno tersenyum lagi. Kedua matanya kemudian beralih kepada kambing-kambingnya.

?Kepalaku masih pusing,? jawab Parno sekenanya.

?Apakah kepalamu pusing karena dipukul Mbah Soma??

Parno tidak menjawab. Ia hanya melenguh panjang. Aku menduga bahwa matanya berkaca-kaca sebab bujang itu tak kuat menahan sisa rasa sakit di kepalanya akibat terjangan tangan Mbah Soma.

?Tapi aku tidak apa-apa kok. Sungguh, aku tidak apa-apa,? lanjut Parno sambil mengusap kelopak matanya yang masih berair.

?Sebenarnya apa yang terjadi, Kang??

?Sudahlah, kamu jangan bertanya seperti itu. Semua sudah terjadi.? Kali ini Parno menjawab dengan suara tenang, meski terdengar berat dan serak.

?Benarkah kamu juga mengolok-olok Mbah Soma?? desakku.

Parno diam. Dari matanya yang sembap muncul kesan bahwa ia tidak menyukai pertanyaan demi pertanyaan yang aku lontarkan. Bahkan kemudian Parno membalikkan tubuh dan tak mau berbicara denganku. Menyadari bahwa keberadaanku di kandang kambing sore itu sungguh tidak mengenakkan baginya, aku bergegas melangkah pergi.

Tetapi dua langkah setelah aku keluar dari kandang kambingnya, bujang itu memanggilku,?Le ? jangan pergi.?

Aku berhenti dan serta merta memiringkan tubuh, menatap ke arah Parno.

?Sebenarnya kesedihanku ini bukan sebab pertengkaran dengan Mbah Soma,? ucapnya.

?Apa??

?Ini gara-gara kambingku.?

?Ada apa dengan kambing-kambingmu??

?Kamu tahu, aku memeliharanya sejak masih cempe hingga sekarang sebesar ini.?

Ucapan Parno terdengar jauh lebih serius. Ucapan yang memaksaku mendekat lagi ke tempatnya berdiri.

?Simbokku ingin bisa berkurban pada Besaran besok. Kambing-kambing ini harus kuserahkan ke langgar untuk disembelih, sesuai perintah simbok.?

Aku melihat dua sudut mata Parno kembali menggenang.

?Awalnya aku tidak merelakan kambing-kambing yang sudah kuanggap seperti saudara ini akan disembelih. Tetapi Lik Kardjo, adik simbokku yang sekarang gemar pergi ke langgar itu berkata bahwa dulu Ismail bahkan merelakan dirinya untuk disembelih bapaknya sendiri. Ibrahim.?

Aku semakin terkejut. Parno sedang kerasukan bangsa brekasakan dari mana sore itu, pikirku. Sebagai bocah yang belum disunat, ucapannya tentu saja tak bisa kucerna dan kutangkap.

?Kata Lik Kardjo, kemudian Ismail digantikan kambing yang dikirim dari langit. Kalau aku merelakan kambing-kambing ini, mereka akan menjadi tunggangan kami kelak di surga ? hahahaha,? ucap Parno kepadaku sambil tertawa. Seperti biasa, tawa terbahak-bahaknya kadang terdengar aneh.

?Apakah nanti kambing-kambingmu akan digantikan kambing yang dikirim dari langit seperti Ismail?? tanyaku bersungguh-sungguh.

?Hahahaha ? betul ? betul sekali,? pungkas Parno.

Bujang tua itu terus tertawa terbahak-bahak tiada henti. Tawanya bahkan terus berlanjut ke tangis. Celakanya, tangisannya juga tak bisa berhenti. Aku mengira ia sedang melakukan kebiasaan seperti yang lalu-lalu. Namun ternyata dugaanku salah. Pemandangan sore itu membuat aku bergidik dan ketakutan.

Tak pernah ada yang tahu, Parno menangis sambil menjerit histeris sore itu sebab dua ekor kambingnya mendadak kejang-kejang di hadapan kami. Mulutnya memuntahkan cairan hijau yang sewarna dengan pucuk daun ketela di genggaman Parno, lalu diakhiri dengan ambruknya hewan-hewan yang hendak dikurbankan untuk mengabulkan keinginan simboknya itu.

***

Petang hari ketika kambing milik Parno mati adalah tanggal sembilan dalam penangggalan Jawa. Aku ingat, itu adalah bulan Ruwah, sebab malam setelah kejadian, gema takbir berkumandang dari langgar sebelah rumahku. Saat itu umurku baru dua belas tahun. Beberapa jam setelah kematian kambing-kambing Parno, Mbah Soma terlihat berjalan mengendap-endap sambil menggiring dua ekor kambing tak jauh dari kandang milik Parno.

Aku yang berdiri memergokinya justru mengkerut. Mbah Soma menatapku dengan sorot mata dingin. Badanku gemetar. Aku ingin berlari dan menjerit minta tolong. Tapi aku tak punya nyali untuk itu. Wajahku memias ketika Mbah Soma menempelkan telunjuk ke bibirnya. Mbah Soma memegang kedua pundakku. Napasku seketika sesak. Aku ingin menangis agar ada yang mendengar dan menolongku, tapi tenggorokanku tersumbat. Mataku hanya bisa terpejam ketika lelaki tua itu berkata pelan, ?Kambing-kambing pengganti Ismail yang akan disembelih Ibrahim sudah kuantarkan untuk mengganti kambing Parno yang mati. Biarlah tak ada orang yang tahu. Biar anak kentir yang sudah kuingatkan bahwa daun ketela di sawahku beracun itu, tak lagi bersedih. Semoga kambing itu kelak yang menuntunku berjalan menuju pintu surga.?

Selang beberapa jam kemudian, Kedung Pingit kembali gempar. Kabar bahwa Parno menerima kiriman kambing-kambing dari langit langsung tersebar ke segala penjuru desa.

Malam di penghujung bulan Juli terasa sunyi. Hanya terdengar samar-samar alunan takbir melalui speaker usang dari kampung-kampung tetangga yang terletak di seberang hamparan sawah. Malam itu, takbir di Desa Kedung Pingit mendadak tak lagi nyaring berkumandang. Orang-orang sedang sibuk membicarakan kambing-kambing pengganti Ismail untuk Parno, tanpa tahu siapa yang mengirimnya dari langit. (*Heru Sang Amurwabumi)

Leave A Reply

Your email address will not be published.