Balada Manusia yang Meneteskan Air Mata untuk Bangsanya

Bernas.id – Hormat setinggi-tingginya untuk Darpo, Karta, dan Bapa Biyung Mbah Soma.
Setiap kali bulan Agustus datang, ketika para pamong Desa Kedung Pingit memerintahkan semua warga memasang bendera Merah Putih di depan rumah, setiap itu pula dada Mbah Soma terasa disayat bilah sembilu. Bulan Agustus selalu membawa ingatannya kepada riwayat tentang air mata, darah, dan nyawa bapa biyungnya, Lik Karta, serta Kang Darpo?begitu ia memanggil bujang Kedung Pingit yang sering bertamu diam-diam pada malam hari ke rumahnya, ketika ia masih bocah.
Nama terakhir adalah orang yang paling dirindukan Mbah Soma?bukan hanya karena Darpo sering membuatkannya wayang suket[1] dari alang-alang?sebab bapak dan biyungnya tidak pernah bisa menjawab jika ia bertanya: apakah benar Kang Darpo mati dibunuh orang-orang Belanda?
Bukan itu saja. Ia juga mengingat sosok Kang Darpo?konon sempat belajar dan bercita-cita menjadi seorang dalang?sebagai pendongeng ulung. Dari mulutnya ia sering mendengar wiracarita Samuderamantana[2] tentang kisah perjuangan Garudeya, putra Begawan Kasyapa ketika membebaskan biyungnya, Dewi Winata dari cengkeraman perbudakan Dewi Kadru.
Kisah Garudeya oleh Kang Darpo itu tak pernah lekang oleh waktu dalam benak Mbah Soma. Beberapa waktu setelah kematian Kang Darpo, entah kebetulan atau bukan, Garudeya dijadikan lambang bangsanya. Setiap bulan Agustus tiba, Mbah Soma kembali mengingat wiracarita itu.
***
Sudah tiga tahun orang-orang bermata sipit yang mengaku sebagai saudara tua bangsa ini meninggalkan kota-kota di Jawa, ditandai dengan pekikan kata Merdeka yang bersambut dari satu tempat ke tempat lain, dari kota-kota hingga ke pelosok desa. Kedung Pingit tak luput dari wabah luapan kebahagiaan atas lepasnya bangsa ini dari cengkeraman bangsa-bangsa rambut jagung[2] dan Nipon. Namun selama tiga tahun itu pula, perjuangan orang-orang Kedung Pingit yang tergabung di gerilyawan Republik tak kunjung surut. Kontak senjata masih terjadi di mana-mana.
Menurut desas-desus yang berkembang, Belanda yang datang lagi ke Indonesia dengan menumpang Inggris?beberapa tahun silam telah menyerah pada Nipon?tidak mau mengakui kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta melalui siaran radio di Jakarta.
Sudah beberapa minggu suasana mencekam menyelimuti Desa Kedung Pingit. Penyebabnya adalah anggapan bahwa kampung itu menjadi pemasok tenaga gerilyawan Republik. Beberapa kali Belanda mengerahkan tentara dari pasukan pribumi, melancarkan serangan yang menurut mereka sebagai aksi penumpasan perusuh. Namun dalam prakteknya?kelak dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda, aksi itu seringkali membabi buta, membunuh siapa saja yang dicurigai sebagai orang-orang penyokong gerilyawan Republik.
Malam itu adalah malam di penghujung bulan Juli, tiga tahun setelah kepergian bangsa mata sipit, ketika senyap menjadi pelengkap suasana gelap di Kedung Pingit. Tidak ada seorang pun yang berani menyalakan ublik[3] sebagai penerangan rumah, sebab situasi sangat genting dan berbahaya. Begitu juga di rumah Yem yang hanya berdinding anyaman bambu. Perempuan muda itu baru saja menidurkan anak lelakinya yang berusia lima tahun. Suaminya, Kang Sastro yang jarang sekali pulang ke rumah?kalaupun pulang, selalu tengah malam?sebab menjadi orang paling diburu Belanda, sedang menerima tamu di ruang tengah.
Dalam ruangan tanpa penerangan setitik pun itu, Kang Sastro bersama dua tamunya, Karta dan Darpo sedang duduk berhadap-hadapan. Ketiganya terlibat pembicaraan serius meski hanya dengan suara berbisik, seolah menegaskan bahwa malam itu suasana desa memang benar-benar genting dan mencekam.
Karta adalah teman sebaya Kang Sastro, berusia sekitar dua puluh lima tahun. Keduanya memiliki tabiat sama, jarang pulang ke rumah dan lebih sering tidur di hutan-hutan. Sementara Darpo berusia lima tahun lebih muda. Ia memiliki peringai berbeda, tetap tinggal di Kedung Pingit. Namun setiap kali Kang Sastro pulang pada tengah malam, Darpo selalu bertamu secara sembunyi-sembunyi ke rumah Kang Sastro.
?Kalian lanjutkan pembicaraan ini, aku akan berjaga-jaga di depan, Kang,? bisik Darpo, lalu berjalan dengan setengah mengendap menuju halaman rumah. Di bawah rerimbunan tanaman beluntas yang tumbuh lebat menjadi pagar, Darpo menyembunyikan tubuh, lalu memasang tajam indera penglihatan dan pendengarannya ke segala arah.
Sementara Kang Sastro dan Karta kembali terdiam di dalam ruangan. Tak ada suara yang keluar dari mulut mereka, sebelum akhirnya Kang Sastro meminta Karta mencari ublik, sebab di sana ada pemantik api. Beberapa saat kemudian, percikan api menyingkap kegelapan ruangan itu, menampakkan wajah dua lelaki dengan gurat penuh kewaspadaan. Karta kelihatan menyampirkan sarungnya ke pundak. Kang Sastro memakai peci hitam yang lusuh. Lalu gelap kembali menyergap. Hanya ada dua titik merah dari nyala lintingan klobot[4] berisi daun tembakau kering yang kini mereka hisap demi membuat perasaan lebih tenang. Kepulan asap memenuhi ruangan.
?Kabar apa yang kaudapatkan dari Darpo??
?Mereka berencana menyisir hutan lebih jauh ke selatan lagi, keberadaan gerilyawan kita di Gunung Wilis sudah diendus para centeng Belanda di Loceret dan Berbek.?
?Ada lagi?? Kang Sastro mengejar dengan pertanyaan.
?Sampean menjadi orang Kedung Pingit nomor satu yang dicari Belanda, Kang,? tegas Karta.
Kang Sastro menghisap dalam-dalam lintingan klobotnya. Hal yang sama juga dilakukan Karta. Keduanya menyandarkan tubuh ke kursi kayu jati, menikmati hisapan-hisapan selanjutnya. Tiba-tiba Kang Sastro mematikan klobotnya dengan mencolok-colokkan ujungnya ke kaki meja. Serta merta mengangkat badan lebih tegak, ketika dari halaman rumah terdengar suara burung perkutut manggung.[5] Seketika wajahnya menjadi tegang, sebab ia tahu bunyi perkutut manggung itu adalah suara Darpo.
Kang Sastro bergegas lari ke pintu belakang. Karta melompat ke samping rumah. Terdengar letusan senapan berkali-kali yang ditujukan ke arah burung perkutut di rerimbunan beluntas. Sedetik kemudian disusul suara jeritan yang menyayat hati. Suara Darpo.
Di pekarangan belakang rumah, Kang Sastro jatuh tersungkur ketika kakinya menyangkut tanaman waluh yang tumbuh menjalar. Suara yang timbul dari tubuhnya yang roboh itu sontak membuat letusan-letusan senapan dari berbagai arah dihujankan kepadanya.
?Mati, Kau!? teriak orang yang melepaskan tembakan. Para penembak langsung berlari menghampiri tempat Kang Sastro terjatuh. Buru-buru mereka menyalakan pemantik api, namun justru umpatan dan makian yang meracau dari mulut-mulut orang Belanda itu. Sebuah peci hitam kumal tergelatak di atas tanah yang berceceran darah. ?Negrose hoer![6] Ia berhasil meloloskan diri lagi!?
Suasana kembali senyap ketika sepasukan penyergap Kang Sastro itu pergi. Yem yang keluar dari persembunyian, gemetar ketakutan. Anak lelakinya yang baru berusia lima tahun menangis, setelah tadi sempat dibungkam mulutnya oleh Yem memakai telapak tangan. Letusan senapan berkali-kali di halaman dan belakang rumah membuat pikirannya gusar. Apakah Kang Sastro kena? Air matanya langsung membanjir.
Dua jam kemudian, ketika dari langgar terdengar suara panggilan sembahyang subuh, barulah orang-orang berani keluar dari rumah. Satu per satu mereka mendatangi sumber keributan. Dalam suasana yang masih remang-remang, mereka menemukan tubuh Darpo yang sudah tak bernyawa tergeletak di bawah rimbunan beluntas. Dengan mata terpejam, wajah bujang Kedung Pingit itu nampak menyisakan senyum, meski di ambang ajalnya tadi sempat mengerang kesakitan.
Masih setengah gelap, Yem ditemani beberapa tetangga menyisir pekarangan belakang rumah. Mereka menemukan sebuah peci hitam kumal tergeletak di atas tanah. Ada bekas ceceran darah di sana. Yem menjerit. Ia tahu itu adalah peci suaminya.
?Kang Sastro kena, Yu,?[7] ucap Suto, sepupu Yem.
?Kang Sastro ? Kang Sastro ? Kang Sastro!!!?
Yem jatuh pingsan. Para tetangga yang menemani Yem menggotong tubuhnya ke dalam rumah. Soma, anak lelaki Yem terus menangis tiada henti. Sementara orang-orang Kedung Pingit lainnya menyiapkan proses pemakaman Darpo dengan cepat-cepat. Takut Belanda akan kembali lagi ke desa mereka.
***
?Temani aku mencari Kang Sastro.?
?Mencari ke mana??
?Ke mana saja, yang penting bisa menemukan Kang Sastro.?
Yem mondar-mandir tak tentu arah. Tangannya sibuk mengusap air mata berkali-kali. Kerabat-kerabatnya tak bisa menenangkannya. Suto hanya geleng-geleng menyikapi keinginan sepupunya.
?Kang Sastro pasti selamat, percayalah.? Tiba-tiba terdengar suara Karta yang entah dari mana asalnya, sudah berada di ruang tengah rumah Yem.
?Aku akan menyusulnya,? terang Karta sambil menceritakan bahwa semalam saat kejadian ia berhasil melarikan diri ke arah terpisah dengan Kang Sastro. Karta kemudian terus berlari ke arah hamparan kebun tebu di seberang Kedung Pingit.
?Syukurlah kalau kau juga selamat.?
?Kita turuti saja omongan Kang Karta, Yu. Biarkan ia yang mencari keberadaan Kang Sastro,? bujuk Suto.
Yem luluh. Ia tak lagi berkeras kepala mencari suaminya. Hanya tangis saja yang masih tersisa padanya. Meski begitu, ia sudah bisa menerima kenyataan bahwa mencari Kang Sastro yang belum jelas di mana persembunyiannya tentu tidak mudah. Apalagi ia adalah seorang perempuan. Seorang biyung yang punya tanggungan merawat anak lelaki berusia lima tahun.
Begitulah, setiap hari setelah kedatangan Karta, Yem tetap tidak tenang. Sepanjang malam ia juga tidak bisa tidur. Bayangan Kang Sastro berlari tertatih-tatih dengan tubuh penuh luka tembakan terus berkeliaran di kepalanya. Belum lagi ditambah rengekan Soma, anak lelakinya yang terus menanyakan keberadaan bapaknya.
Satu minggu tak kunjung ada kabar dari Karta, Yem mendatangi Suto. Kehendaknya untuk bertekad mencari sendiri Kang Sastro sudah tidak bisa dicegah. Para kerabatnya pun akhirnya menyerah dan meminta agar Suto menemani Yem.
Pagi itu, setelah membawa bekal ala kadarnya, Yem berangkat meninggalkan Desa Kedung Pingit. Suto yang turut menemaninya, menggendong anak lelaki Yem. Mereka menembus ladang tebu, persawahan, kemudian menyeberang sungai Kuncir sebelum akhirnya sampai di tepi hutan di kaki Gunung Wilis.
?Hei, kamu Yem penjual pala pendem[8] dari Kedung Pingit bukan?? sapa seorang perempuan tua yang berpapasan dengan mereka.
?Mbah Semi?? jawab Yem setengah bertanya.
?Mau ke mana kalian berjalan sejauh ini??
Yem menceritakan semua rentetan peristiwa yang menimpanya. Rupanya ia sudah mengenal perempuan tua yang bertemu dengannya di tepi hutan itu. Yem kenal dengan Mbah Semi sebagai pelanggannya di pasar. Satu kali dalam pancawara,[9] pasar di kecamatan tempat tinggal Yem memang ramai ketika jatuh pada hari pasaran Kliwon. Mbah Semi yang tinggal di tepi hutan Gunung Wilis turun gunung untuk menjual daun jati yang diambilnya dari hutan. Daun-daun jati itu biasanya sudah ditunggu para penjual nasi, digunakan sebagai pembungkus. Dari hasil jualan itulah Mbah Semi akan membelanjakan uangnya untuk membeli pala pendem di Yem, juga beberapa kebutuhan dapur.
?Mampirlah ke rumahku dulu, tak jauh dari sini,? tawar Mbah Semi.
?Tidak, Mbah. Aku harus cepat-cepat menemukan suamiku,? tolak Yem.
?Janganlah kamu nekad masuk ke tengah hutan. Apalagi membawa bocah sekecil ini,? lanjut Mbah Semi sambil mengusap kepala Soma. ?Biar aku yang mencari suamimu. Aku sudah terbiasa keluar masuk hutan Wilis. Lembah dan goa mana yang selama ini menjadi persembunyian orang-orang kita, aku hapal.”
Setelah melalui tarik ulur dan perdebatan, Yem akhirnya luluh kembali. Ia bersedia tinggal di rumah Mbah Semi bersama anaknya sampai Mbah Semi dan suaminya berhasil menemui Kang Sastro. Mereka pun berjalan menuju rumah Mbah Semi di sebuah dusun kecil di tepi hutan Wilis. Sementara Suto berpamitan pulang ke Kedung Pingit.
Menginap di rumah orang lain bukanlah kebiasaan Yem. Perempuan berwajah lusuh sebab berhari-hari dirundung kesedihan teramat sangat itu tidak bisa memejamkan mata. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kabar keberadaan suaminya dan keinginan untuk lekas bisa bertemu. Barulah setelah melewati tengah malam, cericit burung kedasih terdengar membelah langit. Sebagaimana tabiat orang Kedung Pingit, Yem yakin bahwa jika burung malam itu bersuara, maka tak jauh darinya sedang ada sosok manusia yang bergerak. Ia pun berharap-harap cemas.
Terdengar pintu belakang rumah Mbah Semi diketuk dengan irama tertentu, lalu disusul kicau burung perkutut. Mana mungkin ada perkutut manggung di tengah malam? Yem meloncat dari tempat tidur. Ia hapal betul bahwa itu adalah isyarat rahasia dari suaminya. Tubuhnya sontak menggigil karena bahagia dan haru. Mbah Semi dan suaminya ikut terjaga. Semua bergerak dalam kesenyapan. Seolah semua sudah mengerti dan bersepakat bahwa tak boleh ada yang mengeluarkan suara keras.
Lengang dan gelap. Hanya ada nyala sebuah ublik kecil sebagai penerangan di ruang tengah rumah Mbah Semi. Kang Sastro yang masih pincang menyelinap masuk lewat pintu belakang yang dibuka suami Mbah Semi, lalu memeluk tubuh Yem dan mengusap kepala anak lelakinya yang tertidur pulas.
?Aku baik-baik saja, Wuk.[10] Luka di kakiku sudah mendapatkan obat dari teman-teman gerilyawan,? bisik Kang Sastro sambil menunjukkan balutan kain putih di kaki kanannya.
?Tidur di sini saja ya, Kang. Wajahmu kelihatan lelah sekali. Kakimu pasti belum sembuh benar. Beristirahatlan bersamaku barang semalam saja sambil kurawat lukamu,? sahut Yem dengan bisikan pula. ?Berhari-hari aku mengkhawatirkanmu.? Penuh semangat ia mengambil kain sarung yang ada di dalam kantong anyaman daun pandan sejak tiga hari lalu. Namun setelah itu justru air mata Yem kembali meleleh ketika suaminya hanya menggeleng. Yem tertunduk sambil meneteskan air mata.
Melihat pemandangan itu, Kang Sastro mengusap-usap kepala Yem, ?Sudah ? sudah, jangan sedih lagi. Aku sudah biasa dengan keadaan seperti ini. Tidur di hutan-hutan,? hiburnya. ?Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Mata-mata Belanda ada di mana-mana. Nanti setelah republik ini sepenuhnya berdaulat, kita akan berkumpul lagi. Jaga anak kita, Soma, Wuk.?
Yem semakin tenggelam dalam isak tangis.
***
Penghujung tahun 1949, akhirnya kedaulatan bangsa ini diakui oleh Pemerintah Belanda. Gerilya selama bertahun-tahun di Gunung Wilis pun berakhir. Mbah Soma ingat, ketika itu ia dan biyungnya dijemput oleh bapaknya di rumah Mbah Semi. Mereka turun gunung dan kembali ke Kedung Pingit, membangun bekas rumah mereka yang ternyata sudah dibumihanguskan oleh orang suruhan Belanda. Yem, biyung Mbah Soma kembali berjualan pala pendem ke Pasar Kliwon di kecamatan. Sastro, bapaknya, bertani lagi menggarap sawah dan memutuskan mundur dari urusan memegang senapan sebab merasa tugas mengantarkan bangsanya ke gerbang kemerdekaan telah usai. Mereka menjalani kehidupan sebagai orang biasa, senapas dengan kehidupan tanaman-tanaman kedelai dan jagung di hamparan sawah Kedung Pingit yang selalu memekarkan kembang setiap bulan Agustus.
Selama berpuluh-puluh tahun menjalani kehidupan yang amat panjang itu, bapak dan biyung Mbah Soma tak pernah tahu apa arti darah, air mata dan nyawa yang telah mereka berikan bersama kawan-kawan seperjuangan untuk bangsa. Bahkan sampai menutup usia, mereka tak pernah ingin mau tahu lagi bagaimana kelanjutan bangsanya setelah merdeka dan berdaulat.
Dua puluh satu tahun setelah pengakuan Belanda, Karta mengajak anak dan istrinya transmigrasi ke Borneo, demi memperbaiki taraf hidup. Namun jauh panggang dari api. Alih-alih kepergian itu bisa mengubah kehidupan mereka, rupanya kepergian itu tak lebih dari memindahkan kemiskinan dari tanah Jawa ke Kalimantan semata. Kemiskinan yang sudah dialami trah kakek dan buyut Karta secara turun-temurun. Kabar tentang keluarga Karta pun tidak pernah lagi terdengar, seperti hilang begitu saja ditelan rimba perantauan.
Darpo yang telah memberikan nyawa untuk kemerdekaan bangsanya, tidak pernah dikenal kepahlawanannya oleh anak-anak Kedung Pingit sekarang. Namanya juga tidak pernah disebut dalam setiap upacara peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan di sekolah-sekolah dan di lapangan kecamatan. Bahkan hari ini keponakan-keponakan Darpo kehilangan peninggalan paling berharga leluhurnya: sepetak sawah tempat mereka menggantungkan hidup telah luluh lantak oleh urukan tanah pembangunan pabrik di Desa Kedung Pingit. (*Heru Sang Amurwabumi)
Catatan kaki:
- Wayang rumput. Jenis mainan wayang yang dibuat dari anyaman batang ilalang.
- Salah satu episode dalam wiracarita Mahabarata.
- Sebutan kepada bangsa Eropa.
- Lampu penerangan masyarakat Jawa kuno, berbahan bakar minyak.
- Rokok kretek yang berbahan daun jagung kering untuk menggulung tembakaunya.
- Berkicau
- Umpatan dalam bahasa Belanda: orang hitam bau busuk.
- Kependekan Mbakyu, panggilan kepada saudara perempuan yang lebih tua.
- Umbi-umbian.
- Siklus lima hari dalam sistem penanggalan/kalender Jawa kuno.
- Kependekan bawuk?organ intim perempuan, panggilan kepada perempuan yang lebih muda sebagai ungkapan kasih sayang.