Numbuk Satuan dan Rencana Pernikahan Suryanti

Bernas.id – Jerit Mak Wariyem di pagi buta membuat Desa Kedung Pingit gempar. Perempuan paruh baya yang hendak menengok ladang jagung itu berteriak histeris seperti orang kesurupan, sambil menunjuk ke arah embung1 yang ada di seberang hamparan ladang penduduk. Pecahlah keheningan desa yang masih pulas, ketika para lelaki masih bergumul dengan kotoran sapi-sapi di kandang, dan perempuan-perempuan masih disibukkan urusan dapur.
?Ada mayat perempuan! Ada mayat perempuan!?
?Di mana? Di mana??
?Ia mengapung di embung!? jawab Mak Wariyem dengan tubuh menggigil.
Pagi itu, Kedung Pingit yang semula masih senyap, tiba-tiba menggeliat. Kabar yang dibawa Mak Wariyem mengundang rasa penasaran. Orang-orang sontak tumpah di depan rumah, lalu berbondong-bondong menuju embung.
Sesosok mayat tampak mengambang di sana. Rambut panjang perempun nahas itu terjurai di permukaan air, sedikit menutupi perutnya yang mulai menggelembung.
Melihat kejadian mengenaskan itu, rasa keingintahuan orang-orang yang memadati bibir embung berubah menjadi ketakutan. Satu per satu mereka mundur. Suara-suara gaduh pelan-pelan mulai menjauh. Beberapa laki-laki yang bernyali besar menceburkan diri ke embung, berenang menggapai mayat yang mengapung, lalu mendorongnya ke tepian.
***
Begitu sulitnya menjadi bapak bagi anak gadis yang menginjak usia matang untuk menikah. Di Kedung Pingit?sebuah desa di kaki Gunung Pandan, seorang bapak dituntut harus taat kepada aturan adat, paham neptu?hitungan nilai hari kelahiran, sehingga ketika anak mereka memilih pasangan hidup, ia bisa memutuskan apakah neptu anak dan calon menantunya bertabrakan dengan angka tertentu yang menjadi pantangan leluhur mereka atau tidak.
Jika pantangan itu tercipta dari neptu anak yang sudah terlanjur menjalin hubungan dekat dengan lawan jenis, tentu jauh lebih menyulitkan lagi bagi seorang bapak.
Kesulitan itulah yang dialami Pakde Kastardji, ketika anak perempuan semata wayangnya, Suryanti, mengaku bahwa ada seorang laki-laki muda yang berniat meminangnya. Laki-laki yang sebenarnya bukan sosok asing di mata mereka.
Anggoro adalah laki-laki muda yang semasa ingusan pernah dekat dengan keluarga Pakde Kastardji. Tepatnya setelah ibunya yang seorang janda meninggal akibat penyakit menahun. Anggoro masih duduk di bangku SD ketika itu. Kematian ibunya memaksa Anggoro hidup berdamai dengan kemiskinan bersama neneknya. Sementara tidak ada yang tahu, ke mana ayah dari bocah malang itu pergi.
Bertahun-tahun Anggoro menjadi pencari rumput bagi sapi-sapi piaraan Mbah Soma, bapak dari Pakde Kastardji. Sebagai imbalannya, ia diberi makan dan uang. Meski tak banyak, tapi bisa untuk menutup biaya sekolahnya. Itu sebabnya antara Suryanti dan Anggoro sudah saling mengenal sejak kecil.
Usia yang terpaut hampir tiga tahun, menyebabkan Anggoro lebih dulu menyelesaikan sekolah, lalu pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Ia merantau ke ibu kota provinsi. Sementara Suryanti tetap tinggal di Kedung Pingit.
Tujuh tahun merantau, Anggoro pulang kembali ke desanya, lalu diterima bekerja sebagai mandor alas di kawasan hutan Perhutani Gunung Pandan. Pertemuan kembali setelah sekian lama berpisah, rupanya menumbuhkan benih cinta di antara dua anak yang sama-sama sudah menginjak dewasa itu.
?Jangan teruskan rencana pernikahan ini. Neptu kalian ketemu Numbuk Satuan2. Sama persis dengan perhitungan neptu aku dan simbokmu,? jelas Pakde Kasrtardji.
?Apa karena dia hanya seorang pencari rumput di rumah simbah, lantas bapak menolaknya??
?Bukan! Ini soal adat Kedung Pingit!?
?Adat macam apa ini?? Suryanti menyanggah dengan sebuah pertanyaan.
?Kita harus mematuhi aturan adat. Mbah-mbah kita dulu selalu memegang teguh hitung-hitungan neptu. Bagaimanapun juga, Numbuk Satuan adalah pantangan. Berat konsukuensinya jika dilanggar.?
Pakde Kasrtardji menghentikan penjelasannya sesaat. Laki-laki yang sebagian besar rambutnya mulai dipenuhi uban itu menghela napas dalam-dalam. Sejenak kemudian, ia mengeluarkan sebuah lintingan rokok kretek. Dengan korek api bersumbu kapuk randu dan berbahan bakar minyak tanah, ia menyulut ujung rokok. Asap mengepul dari mulutnya.
?Hitungan neptu sudah tidak cocok kalau diterapkan di zaman sekarang, Pak,? sanggah Suryanti lagi.
?Sampai zaman apapun, adat Kedung Pingit tetap melarang Numbuk Satuan.?
?Masa aku harus menolak pinangan Anggoro yang seorang mandor hutan? Masa depannya cerah. Lagi pula, bapak sudah mengenal ia sejak lama. Orang tua macam bapak ini?? Suryanti mencoba meyakinkan bapaknya.
?Carilah laki-laki lain. Masih banyak mandor lajang di Kedung Pingit.?
?Tidak, Pak! Tekadku memilih Anggoro sudah bulat!? bentak Suryanti. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, lalu berdiri di depan bapaknya. Ia menatap tajam mata Pakde Kastardji, seolah sedang menantang. ?Hitungan neptu adalah adat yang kejam. Tidakkah bapak sadar kalau tradisi kita telah merampas kebahagiaan anak cucu para leluhur desa ini??
?Jangan kurang ajar!? seru Pakde Kastardji. Kali ini gigi-gigi gerahamnya mulai bergemeletuk. Urat lehernya terlihat menonjol keluar. Wajahnya memerah, tanda bahwa amarahnya mulai terpancing.
?Tak pantas kau menghina adat. Aku sudah membicarakan masalah ini dengan kakekmu. Ia sepaham denganku. Numbuk Satuan akan membawa kita celaka!? pungkas Pakde Kastardji. Lelaki paruh baya itu bergegas meninggalkan Suryanti yang masih berdiri di ruang tengah rumahnya dengan mulut terbungkam.
Akhir pembicaraan antara anak dengan bapak malam itu membekaskan luka serupa sayatan belati di hati Suryanti. Ia merasa hari-hari yang akan dilaluinya kian berat. Mimpinya telah dilampus oleh aturan adat.
Setelah terjadi adu mulut malam itu, Suryanti berubah menjadi murung. Dalam rongga kepalanya silih berganti berlintasan bayangan wajah Anggoro dan bapaknya. Kedua sosok lelaki itu menjelma badai kecamuk yang mengobrak-abrik pikirannya. Teringat kembali ucapan Anggoro ketika memintanya menjadi teman hidup, sekaligus menjadi ibu dari anak-anak mandor hutan itu kelak. Tetapi tak lama kemudian ganti kata-kata pedas bapaknya yang terngiang. Kata-kata tajam yang menjadi tiang pancang di kepalanya. Menikam janji semati yang ia ucapkan setelah melakukan perbuatan sedemikian jauh dengan Anggoro pada suatu siang di gubuk penjagaan hutan.
Suryanti tak sanggup membayangkan andai bapak dan kakeknya benar-benar menolak pinangan Anggoro. Ia tahu betul watak bapaknya sebagai putra tetua adat di Kedung Pingit, Mbah Soma. Neptu Numbuk Satuan benar-benar akan membuat bapaknya tidak peduli dengan penderitaan yang dialaminya.
Menurut adat Kedung Pingit, jika nilai hari kelahiran kedua calon pengantin terhitung Numbuk Satuan, pernikahan mereka termasuk salah satu jenis pantangan adat. Sangat terlarang untuk dilakukan. Konon, jika nekad menerjangnya, sepanjang kehidupan rumah tangga mereka akan dilanda musibah beruntun. Bahkan tak jarang berakhir pada kematian.
Bukan itu saja, pasangan pengantin yang berani melanggar tradisi turun-temurun itu, akan menjalani hukuman sosial. Mereka akan digunjingkan orang sedesa sebagai penista adat leluhur orang-orang Kedung Pingit.
Suryanti meratapi nasib dengan menangis sesenggukan di dalam bilik. Kuat sekali hitung-hitungan neptu membelenggu kebebasan pemikirannya. Kebebasan untuk memilih laki-laki sebagai pendamping hidup. Laki-laki yang sebenarnya telah membuat ia muntah-muntah pada suatu subuh. Laki-laki yang menjadikan perutnya kian membesar dua bulan ini.
Malam itu, kabut tebal yang turun dari Gunung Pandan menjadi selimut Desa Kedung Pingit. Tepat ketika cericit burung bence memecah keheningan malam, Suryanti mengendap-endap keluar dari rumah. Dalam kecamuk badai putus asa, ia berjalan menerobos kegelapan malam. Hingga mendekati bibir embung, ia berjalan lebih lambat sambil menghitung pijakan kakinya, selangkah demi selangkah. Gadis belia yang tengah mengkal itu merasa yakin, pada langkah kelima akan bertemu kematian.
***
Pakde Kastardji jatuh terduduk di halaman rumahnya, manakala datang tiga lelaki yang sedang menggotong sesosok tubuh basah kuyup. Semula ia abai dengan kegaduhan orang-orang oleh teriakan Mak Mariyem. Kini ia mulai menemukan kesadaran, mayat perempuan yang dikabarkan mengapung di tengah embung tak lain adalah anaknya sendiri.
Beberapa kerabat berusaha membesarkan hatinya. Tetangga-tetangga juga langsung sigap menyiapkan berbagai keperluan pemakaman. Sebagian laki-laki ada yang langsung berangkat ke pekuburan dengan membawa cangkul. Sebagian lagi membantu di rumah duka.
Tepat ketika para kerabat menyandarkan sebuah kembang mayang3?sebab yang meninggal berstatus belum menikah?di samping jasad Suryanti, Pakde Kastardji menunduk, lalu memeluk tubuh anak semata wayangnya yang telah membujur kaku.
Ada sebuah pesan yang hendak dibisikkan Pakde Kastardji ke telinga Suryanti. Tentang rahasia jati diri Anggoro yang tidak pernah diketahui gadis nahas itu. Bahwa, bapaknya bersikukuh menentang pernikahan mereka bukan semata-mata soal neptu Numbuk Satuan. Bahwa, laki-laki yang dipilihnya adalah buah cinta bapaknya kepada perempuan lain, sebelum Suryanti menjadi bunga yang tumbuh di rahim mendiang ibunya oleh semaian cinta Pakde Kastardji. (*Heru Sang Amurwabumi)
Catatan kaki:
- Telaga, waduk alami penampung air di tengah hutan.
- Sebutan untuk salah satu jenis pernikahan terlarang dalam mitologi Jawa.
- Hiasan dari daun kelapa muda, bunga pinang dan batang anak pisang. Pelengkap upacara pernikahan, dan pemakaman jenasah seorang bujang/gadis Jawa.