Perdebatan Hajatan di Bulan Suro

Bernas.id – Mengapa leluhur orang-orang Desa Kedung Pingit menciptakan aturan adat yang memasung kebebasan anak cucunya? Apakah mereka sengaja gemar membuat ironi? Lihatlah kini, anak-anak cucu mereka tak sedikit yang menderita oleh aturan itu. Tidak seharusnya aturan-aturan itu dibuat dengan tuah kutukan dan hukuman.
Berkali-kali, tuah hukuman bagi pelanggar adat Kedung Pingit itu mengusik batin Suryo. Padahal tak lama lagi, lelaki itu hendak menggelar sebuah prosesi bersejarah bagi keluarga dan anaknya.
Seperti petang ini, masih dalam kecamuk perang batin tiada ujung, berulang kali Suryo menekuri angka yang tercetak di kalender. Jari tangannya menunjuk deretan tanggal demi tanggal. Kepalanya manggut-manggut, kemudian tersenyum sumringah. Istrinya yang datang membawa segelas kopi hitam dengan gula aren tidak digubris. Pikirannya hanya tertuju pada rencana hajatan. Ia akan segera menyunatkan anak laki-lakinya. Tidak ada kata nanti, tidak ada kata tapi, meski semua orang menghardik dan menggunjingnya.
Masih abai dengan keberadaan istrinya yang duduk di hadapannya, Suryo justru berdiri dan membiarkan kalender tergeletak di lantai. Ia beranjak meninggalkan rumah. Yang ada dalam benaknya hanya keinginan untuk menemui seseorang yang ia yakini pasti sependapat dengannya.
Seseorang itu bertempat tinggal tak jauh dari rumah Suryo. Tak butuh waktu lama untuk mencapainya. Di serambi sebuah rumah yang berdinding papan kayu jati, tampak seorang lelaki tua dengan rambut yang telah memutih, duduk santai di atas amben yang terbuat dari bambu wulung. Suryo menyapa lelaki tua itu, kemudian duduk di sebelahnya.
“Aku tidak percaya dengan keyakinan orang-orang. Itu cuma mitos. Aku ingin mematahkannya. Segera mungkin, Pakde,” ujar Suryo dengan mata membulat penuh tekad. Kemarin lusa, ia sudah menyampaikan rencana sunatan anaknya kepada Pakde Soma?sesepuh Desa Kedung Pingit yang juga masih kerabatnya?tetapi belum ditanggapi.
“Buat apa kau menggelar hajatan, kalau yang ada di benakmu cuma ambisi untuk mematahkan kepercayaan orang lain, Cah Bagus. Ini hidupmu, kamu yang akan melaluinya. Tidak usah dibikin ruwet hanya karena orang lain. Kalau pun benar ini hanya mitos, Pakde khawatir jadi buah bibir semua orang dan malah jadi doa berjamaah. Bukankah ucapan adalah doa?” Pakde Soma menasihati Suryo. Tatapannya tetap teduh seperti biasanya.
“Tidak, Pakde. Aku juga ingin membuktikan bahwa mitos seperti itu sudah tidak relevan dengan zaman sekarang.”
“Sakarepmu, Lop. Percuma Pakde menjelaskan panjang lebar jika kamu datang ke sini hanya untuk mencari pembenaran.” Pakde Soma kerap kali masih memanggil Suryo dengan sebutan ?Lop?, seolah ia masih anak kemarin sore. Padahal Suryo tak lagi bocah, ia bahkan sudah memiliki dua anak dari pernikahannya dengan Sugiarti. Pernikahan yang dijalani dengan sekadarnya. Sampai sekarang, ia belum pernah benar-benar mencintai Sugiarti, perempuan yang sudah suka rela mengabdi padanya selama sepuluh tahun.
“Bukannya begitu, Pakde. Tapi aku sudah terlalu muak dengan segala mitos yang dipercaya orang-orang desa ini.”
“Kenapa? Kamu masih sakit hati karena lamaranmu dulu pada Suratmi ditolak oleh keluarganya lantaran perhitungan neptu kalian tidak cocok?” Suryo membuang muka, tertohok dengan pernyataan Pakde Soma, namun hatinya meng-iya-kan.
“Lepas semua rasa dendammu, Lop. Ikhlaskan. Sudah lebih dari sepuluh tahun, kok bisa-bisanya kamu masih menyimpan rasa itu. Ora bener iku.” Suryo hanya diam, tak membantah sama sekali. Ia memilih menghisap rokok kretek di tangannya dan mengepulkannya dengan kasar.
“Bagaimana kau bisa damai dengan istrimu, kalau hatimu masih menyimpan rasa dendam pada keluarga Suratmi, sekaligus masih mengharapkannya? Jalani hidupmu yang sekarang. Kasihan Sugiarti, dia ibu dari anak-anakmu!” tegur Pakde Soma tanpa tedeng aling-aling. Tatapannya yang teduh kini tajam menghunjam.
***
Berita yang dulu pernah santer menjadi perbincangan warga di hampir tiap sudut desa Kedung Pingit, masih diingat dengan baik oleh Pakde Soma. Bagaimana tidak, Pakde Soma adalah orang yang ikut melamar Suratmi untuk Suryo. Tapi setelah tahu neptu masing-masing dan dihitung berulang kali dengan Primbon Jawa hasilnya tibo pati, lamaran itu ditolak oleh keluarga Suratmi, pun oleh keluarga Suryo.
Perhitungan neptu untuk pernikahan yang tibo pati dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai sesuatu yang tidak baik, tidak diperkenankan atau bahkan terlarang. Menurut perhitungan tersebut, risiko dari tibo pati adalah mati?dalam artian luas. Bisa mati salah satu pasangannya, bisa mati rejekinya, atau hal-hal yang tidak baik dalam rumah tangga di kemudian hari.
Suratmi adalah gadis ayu yang menjadi pujaan hampir tiap lelaki di Desa Kedung Pingit, dari mulai para bujang, duda, bahkan yang beristri sekali pun. Ia bak kembang desa yang sedang mekar kala itu. Dari sekian banyak laki-laki yang mencoba mencuri hatinya, hanya Suryo yang akhirnya berhasil memenangkan dan mendapatkan cinta Suratmi. Mereka berpacaran selama lebih kurang satu tahun ala anak desa zaman dulu?berkirim surat untuk saling mengungkapkan perasaan. Sesekali janjian ketemuan di pasar malam untuk sekadar melepas rindu. Tradisi dan kepercayaan setempat yang membuat mereka akhirnya tidak bisa bersatu. Padahal mimpi sudah disusun dan harapan telah dibangun.
Pakde Soma kini ikut membakar klaras yang sudah terisi mbako. Menghisapnya dengan khidmat. Hening di antara mereka cukup panjang. Pakde Soma sengaja membiarkan Suryo berpikir dengan waras.
“Pakde, pokoknya tekadku sudah bulat. Aku mau nyunat anakku bulan Suro ini, sekalian menggelar hajatan besar.” Suryo memecah jeda di antara mereka.
“Coba pikir lagi, Lop. Kalau kamu tidak percaya sama tradisi yang dipercaya turun temurun oleh orang sini, minimal kamu menghargainya. Toh tidak ada ruginya kamu tunda satu dua bulan lagi, wong anakmu yo sik cilik.”
“Sebenarnya Pakde percaya atau tidak dengan mitos-mitos semacam itu?” Suryo kesal karena kali ini ia sendirian. Pakde Soma pun tidak berpihak padanya. Pengalamannya beberapa tahun lalu saat melamar Suratmi, hanya Pakde Soma yang tetap berusaha menyatukan mereka dan tak lelah meyakinkan pada masing-masing keluarga bahwa itu hanya mitos. Karena itulah, Suryo meyakini jika Pakde Soma tidak percaya pada tradisi dan kepercayaan adat semacam itu.
“Ini bukan masalah percaya atau tidak, Lop. Kalau dulu, aku kasihan melihatmu seperti wong edan, kedanan Suratmi. Lha, kalau sekarang, buat apa kamu mati-matian menghalau kepercayaan masyarakat, tidak ada gunanya. Coba dipikir-pikir lagi.?
“Keputusanku sudah bulat, Pakde.” Pakde Soma hanya bisa membuang nafas. Ia merasakan firasat buruk tentang rencana keponakannya yang masih dirundung dendam selama sepuluh tahun ini. Sesuatu yang tidak baik.
Dua minggu kemudian, undangan sunatan disebar oleh Suryo kepada sanak famili, tetangga dan semua orang yang dikenalnya. Rencananya, ia mengundang penyanyi dangdut kenamaan dan kekinian, yang beberapa bulan ini wajahnya wara-wiri di akun para youtuber. Ia sengaja mendatangkannya untuk menarik massa berkunjung dan ingin membuktikan bahwa kepercayaan orang-orang tua itu tidak terbukti. Meski tarifnya cukup mahal, ia tak mempermasalahkan. Maklum saja, sekarang Suryo termasuk orang kaya di Desa Kedung Pingit. Sejak ditolak dulu oleh keluarga Suratmi, tekadnya untuk menjadi kaya dan sukses sangat besar. Ia ingin mereka menyesal telah menolaknya. Dan kerja kerasnya selama ini menjadi pengepul sayuran sekaligus menyuplainya di beberapa pasar tradisional tak sia-sia.
Sesuai jadwal yang direncanakan dengan matang oleh Suryo dan Sugiarti, pagi hari untuk sunatan, dilanjutkan bakda zuhur ada pengajian walimatul khitan dan esoknya ia akan menggelar hajatan sekaligus dangdutan dengan penyanyi kondang yang sudah dipesannya jauh hari.
Hari yang ditunggu pun tiba. Suryo mengantarkan anaknya ke mantri sunat. Ada beberapa rombongan arak-arakan menggunakan mobil bak terbuka yang terdiri dari anak-anak kecil. Cukup ramai untuk ukuran bulan Suro, yang dipercaya oleh masyarakat setempat pantang untuk mengadakan hajatan baik nikahan, lamaran, pindah rumah, maupun sunatan. Konon katanya, bulan Suro adalah bulan yang dikuasai oleh Batara Kala, yang suka memakan nasib baik manusia, sehingga bagi masyarakat Jawa, bulan Suro menjadi bulan terlarang untuk melaksanakan hajatan karena akan menghadirkan malapetaka dan musibah setelahnya.
Suryo menemani anak lelaki yang dibanggakannya itu ke ruang praktek. Istrinya tidak ikut mengantar lantaran bertugas menyiapkan segala macam keperluan pengajian. Apalagi Sugiarti tak akan tega melihat anaknya berdarah dan kesakitan, jadi ia memang memilih tetap tinggal di rumah.
Peralatan sudah siap, Pak Mantri Hendro dan asistennya segera memulai prosesi sunat. Suryo, yang sejak tadi biasa saja, tak ada perasaan gugup, kali ini entah mengapa ia tegang dan berkeringat, padahal AC ruangan sudah disetel ke suhu paling rendah. Dipandangnya sekali lagi anak yang dikasihinya segenap jiwa?meski ia tak mencintai ibunya.
“Sebentar ya, Pak,” tutur Suryo tiba-tiba, menjeda Pak Mantri Hendro yang baru saja akan memulai.
“Gimana, Pak?” tanya Pak Mantri Hendro heran.
“Tidak apa-apa, saya ingin memastikan anak saya tidak tegang.”
“Oh, njih, Pak. Monggo.” Pak Mantri Hendro memberikan waktu pada Suryo.
“Nak, kamu sudah siap?” Anak laki-laki Suryo yang baru berusia sembilan tahun itu mengangguk, kemudian tersenyum.
“Bismillah ya, Lop.” Baru kali ini Suryo merasa gamang akan melanjutkan hal yang sudah direncanakannya dengan matang, dan ia tak tahu apa penyebabnya. Bismillah, ia membatin untuk menguatkan dirinya sendiri. Ah, barangkali karena tetangga banyak yang nyinyir perihal hajatan Suro ini, pikir Suryo.
Pak Mantri Hendro dan asistennya memulai lagi proses sunatan. Saat operasi kecil itu berjalan, tiba-tiba ada seekor cicak jatuh dari atas plafon ruang praktik, tepat mengenai tangan Pak Mantri Hendro. Karena kaget, arah alat operasi itu bergeser dari yang seharusnya, hingga bagian yang terpotong tak cuma yang semestinya, tapi lebih dari itu. Sebagian organ kelelakian yang akan turut menentukan masa depan anaknya ikut terpotong.
Suryo terkejut, tubuhnya limbung. Pandangan matanya mendadak seperti dipenuhi ratusan kunang-kunang. Lantai yang dipijaknya terasa amblas. Dalam telinganya terngiang kata-kata wejangan Pakde Soma. Wejangan tentang hajat sunatan di bulan pantangan. Semakin lama semakin kencang. Menggaung seiring dengan hembusan angin bulan Suro yang bertepatan dengan puncak kemarau September. (*Naila Zulfa ? Pekalongan)