Berita Nasional Terpercaya

Terbakarnya Perkebunan Tebu di Desa Kami

0

Bernas.id – Jika aku berdiri di selatan Desa Kedung Pingit, lalu menatap ke arah barat laut?tepat di kaki Gunung Pandan, tak ada yang bisa kujumpai selain lebatnya perkebunan tebu. Rimbunnya tanaman yang konon sudah silih berganti tumbuh sejak zaman kolonial Belanda itu sebenarnya lebih tepat disebut sebagai hutan tebu di lembah gunung. Perkebunan itu dibelah jalan tak beraspal selebar tiga meter yang menghubungkan desa dengan jalur arteri menuju kota. Jika musim hujan, jalan yang mirip parit itu tidak bisa dilalui kendaraan apa pun. Berjalan kaki pun harus susah payah sebab beceknya lumpur akan menenggelamkan kaki manusia setinggi betis. Di ujung desa, sebelum menapaki perkebunan tebu, terdapat sebuah rumah yang letaknya agak terpencil. Itulah rumah kakekku?Mbah Karta, satu dari sedikit sesepuh Kedung Pingit yang masih tersisa.

Kepadaku, Mbah Karta pernah bercerita bahwa tebu-tebu itu dahulu wajib ditanam oleh orang-orang Desa Kedung Pingit di ladang milik sendiri. Konon itu berlangsung sejak zaman Gubernur Van Den Bosh dengan sistem tanam paksa. Ketika musim panen, Pabrik Gula Djati milik pemerintah Hindia Belanda yang ada di kota Loceret akan membeli hasil tebu rakyat dengan harga murah, bersamaan dengan musim buka giling pabrik gula tiba.

Setelah pejabat Pabrik Gula Djati, Tuan Van Hasselt meninggal, pabrik itu gulung tikar dan tutup. Pengelolaan atas hasil panen tebu diambil alih Pabrik Gula Tjeweng Lestari di kota Patianrowo. Terjadilah perubahan aturan pada sistem tanam tebu.

Menurut pengakuan Mbah Karta pula, Tuan Henriette Adolphinestrat yang menjadi pejabat di Pabrik Gula Tjeweng Lestari menginginkan hak atas pengelolaan perkebunan tebu rakyat Kedung Pingit berada di tangan pabrik gula. Lahan-lahan sawah dan ladang milik penduduk akan disewa oleh perusahaan milik pemerintah Hindia Belanda itu. Sementara para pemilik sawah maupun orang-orang desa yang tidak memiliki lahan, akan dipekerjakan sebagai buruh tani di perkebunan tebu.

Sempat terjadi tarik ulur antara penduduk, Mbah Sastro?Lurah Kedung Pingit?yang menjadi penghubung, dan utusan Pabrik Gula Tjeweng Lestari. Orang-orang desa mengkhawatirkan bahwa sistem sewa lahan akan mengancam sumber kehidupan mereka. Tetapi Mbah Sastro mengatakan bahwa ia yang akan menjadi pengayom dan penjamin keberlangsungan hidup rakyatnya. Lurah Kedung Pingit itu juga mengaku sudah teken kesepakatan dengan Tuan Van Lakerveld, utusan Tuan Henriette Adolphinestrat perihal apa saja yang akan diberikan pabrik gula kepada para buruh tani.

Menurut Tuan Van Lakerveld, orang-orang Desa Kedung Pingit yang menjadi buruh tani di perkebunan tebu milik Pabrik Gula Tjeweng Lestari akan mendapatkan upah setara dengan yang mereka terima kalau bekerja di sawah milik tetangga. Klinik pengobatan akan dibangun di kota kecamatan, mereka bisa berobat tanpa dipungut biaya. Bukan itu saja, setiap akhir minggu, buruh tani diberi libur sehari. Pun demikian dengan perempuan-perempuan yang sedang mendapati masa datang bulan, diperbolehkan tidak bekerja. Kepada mereka, upah akan tetap diberikan utuh.

Mendengar penjelasan Mbah Lurah Sastro dan Tuan Van Lakerveld, luluh pendirian orang-orang Desa Kedung Pingit. Menjadi buruh tani di perkebunan tebu pun lekat dengan kehidupan mereka secara turun temurun. Hingga pada akhir tahun 1950 setelah pemerintah Hindia Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, ketika aset pabrik gula itu tak luput dari sitaan pemerintah Indonesia, mereka tetap bekerja sebagai buruh tani di sana.

Aku tak pernah bosan mendengar cerita Mbah Karta tentang hikayat perkebunan tebu di Kedung Pingit, Pabrik Gula Djati, Pabrik Gula Tjeweng Lestari bersama riwayat sepak terjang pamong desa kami dari masa ke masa itu. Juga cerita tentang anak-anaknya: Pakde Soma dan bapakku yang menolak tawaran Mbah Lurah Sastro bekerja sebagai mandor di pabrik gula milik Belanda.

Seperti malam ini, ketika aku menjenguk Mbah Karta setelah sepuluh tahun mengadu nasib di Borneo, hal yang paling kurindukan dari sosoknya adalah cerita-cerita dari bibir keriputnya. Bak gayung bersambut, malam ini Mbah Karta menceritakn sengketa yang sedang terjadi antara buruh tani, Lurah Kedung Pingit, dan Pabrik Gula Tjeweng Lestari.

?Upah yang selama ini diterima orang-orang Kedung Pingit di perkebunan tebu katanya akan diganti dengan itung-itungan luas lahan garapan,? ucap Mbah Karta membuka percakapan kami.

?Benarkah, Kung??[1]

?Iya. Aku mendengar sendiri dari Lurah,? jawabnya. ?Bukan itu saja, mereka yang semula diperbolehkan istirahat tidak turun ke kebun tebu pada hari minggu, akan dihapus kelonggaran itu.?

?Apa alasan pabrik gula membuat perubahan seperti itu??

?Entahlah.?

?Mungkin Pak Lurah yang menjadi penghubung buruh tani dan pabrik gula punya alasan tertentu menyetujui aturan baru itu.?

?Lurah pernah bercerita pula bahwa ia tak ingin orang-orang Kedung Pingit kehilangan mata pencaharian. Sebab jika kesepakatan baru itu tidak tercapai, pabrik gula akan mengurangi separuh dari jumlah buruh tani yang bekerja di perkebunan tebu,? jelas Mbah Karta. Aku manggut-manggut, kagum dengan ketajaman ingatan kakekku itu meski usianya sudah di ambang senja.

Aku mencoba menghubungkan cerita Mbah Karta dengan kasak-kusuk persaingan dagang antara pabrik-pabrik gula di tanah air dengan gula kiriman dari negeri seberang. Menurut pengakuan orang-orang cerdik pandai di bidang ekonomi dan ilmu dagang, harga gula dari negeri orang jauh lebih murah dibandingkan gula buatan pabrik-pabrik gula di negeri kita. Persaingan itulah yang menyebabkan banyak pabrik gula di tanah air gulung tikar. Jika ada yang masih bertahan sampai sekarang, pabrik akan melakukan pengencangan ikat pinggang rapat-rapat. Pangkas ongkos sana-sini. Agar cerobong asap pabrik gula tetap mengepul.

Iya, mendadak aku menarik dugaan bahwa Pabrik Gula Tjeweng Lestari sedang melakukan langkah itu. Mereka mengajukan usulan kesepakatan baru kepada Lurah selaku pemimpin Desa Kedung Pingit dan pihak penghubung dengan buruh tani. Tujuannya jelas, agar tetap bisa bertahan di tengah badai persaingan dagang gula dengan negeri lain. Tetapi usulan itu menjadi rumit sekarang, ketika orang-orang Kedung Pingit yang menjadi buruh tani di perkebunan tebu menolak keras. Berkali-kali mereka mendatangi balai desa, meminta agar Lurah membatalkan kesepakatan aturan baru.

Tiba-tiba ingatanku akan perkebunan di masa kecilku berseliweran di kepala. Aku seperti terdampar kembali di sana, di mana teman-teman pencari rumput bersamaku merasa abadi bermain-main di tengah lebatnya pohon tebu.

Dahulu, perkebunan itu menjadi surga bagi burung manyar dan musang. Pada rimbun daun dan kembang tebu yang bermekaran, burung-burung manyar membuat sarang, bertelur, lalu mengeraminya hingga menetas. Tak jarang aku menangkap burung-burung itu beserta sarangnya.

Aku menjual burung manyar itu kepada Lik Dirgo, kerabatku, seorang buruh tani juga. Setiap libur bekerja di perkebunan, ia menjadi penjual burung di pasar kecamatan. Jika itu terjadi, biasanya aku bisa berbangga diri pergi ke warung Mbah Semi, makan nasi jagung berlauk ikan kutuk[2] panggang?sebuah makanan istimewa bagi anak Kedung Pingit di masa kecilku.

Di perkebunan tebu itu pula, biasanya aku bersama teman-teman pencari rumput gemar mencuri tebu. Sebenarnya pantas disebut mencuri atau bukan, sebab kami hanya menebang tanaman milik pabrik gula itu tidak secara liar, hanya beberapa batang saja, kemudian mengupas dan menyesap dagingnya sebagai pelepas dahaga.

Aku selalu mengingatnya, sebab pernah ketika sedang menyesap kupasan batang tebu, Lik Warso yang menjadi mandor kebun memergoki kami. Aku bersama teman-teman pencari rumput sempat menggigil ketakutan. Sosoknya yang bertubuh tinggi besar dan berjambang lebat memang terlihat sangat menakutkan bagi anak-anak seusia kami. Tetapi ternyata yang terjadi justru di luar prasangka kami, alih-alih ia akan memaki-maki, yang ada justru mandor kebun  itu justru menepuk-nepuk pundakku sambil berucap, ?Tak apa kau sesap tebu di sini sekenyang kalian, asal jangan menebangnya untuk dibawa pulang ke rumah, Nang.?[3]

Lamunanku buyar ketika sayup-sayup terdengar langkah kaki beberapa orang di depan rumah Mbah Karta. Sesuatu yang tidak lazim, ketika ada orang keluar malam-malam melewati rumah yang letaknya berada di ujung desa kami. Tak ingin dihantui rasa keingintahuan, aku membuka separuh pintu kayu jati yang sejak bakda isya? tadi suduh tertutup. Begitulah memang kebiasaan di Kedung Pingit. Malam hari jalan desa akan gulita sebab listrik belum sampai ke desa kami, bahkan selepas matahari tenggelam saja suasananya sudah lengang, sepi. Jarang sekali ada orang keluar rumah jika tidak benar-benar penting. Tetapi tidak untuk malam ini. Langkah-langkah kaki itu benar-benar di luar kebiasaan.

?Siapa?? tanya Mbah Karta.

?Jika aku tidak salah lihat, sepertinya Lik Dirgo dan teman-temannya,? jawabku.

?Bocah bandel,? sungut Mbah Karta.

?Mereka menuju ke perkebunan tebu.?

?Sudah kubilang berkali-kali kepada Dirgo, jangan melakukan tindakan di luar batas. Tapi tetap saja nekad.?

?Tindakan apa, Kung??

Mbah Karta tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, kemudian sibuk menyulut lintingan klobot?kebiasaan buruk itu sebenarnya sudah sering ditentang anak dan cucunya, bahwa di usia yang tak lagi muda, klobot berisi tembakau justru yang akan menghisap paru-parunya, tetapi Mbah Karta tak pernah menurut. Sesaat, asap mengepul dari mulut Mbah Karta. Kuperhatikan wajah yang semakin dipenuhi keriput itu. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh tatapan matanya.

***

Malam ketika aku kembali menginjakkan kaki di Kedung Pingit setelah sepuluh tahun merantau ke tanah Borneo, lebatnya perkebunan tebu di pinggir desa kami terbakar. Kasak-kusuk yang beredar memang sengaja dibakar para buruh tani yang tidak terima dengan kesepakatn baru antara Lurah dan pihak pabrik gula. Satu malam saja, api melahap dengan beringas, menghabiskan tanaman di atas ratusan hektare lahan rakyat yang disewa paksa oleh Pabrik Gula Tjeweng Lestari.

Dari halaman rumah Mbah Karta, aku bisa melihat amukan api malam itu. Aku melihat pula langit di atas Kedung Pingit menjadi merah menyala. Cuitan burung manyar, cericit musang, dan binatang-binatang penghuni perkebunan tebu terdengar menyayat hati. Siluet yang ditimbulkan kawanan burung manyar saat bersemburat terbang menyelamatkan diri membentuk lukisan memilukan.

Menjelang subuh, hujan turun dengan lebat. Kehadirannya di penghujung musim kemarau dini hari ini turut memadamkan sisa-sisa api yang semalam suntuk telah membuat perkebunan tebu luluh lantak.

Lima belas hari sesudahnya, ketika hendak balik ke tanah perantauan, aku mendapati pemandangan baru yang deselimuti arang dan debu-debu sisa kebakaran. Aku gemetar menatapnya. Ada yang terasa meletup-letup di rongga dada. Iya, satu langkah sebelum naik ke angkutan pedesaan yang akan membawaku dari kaki Gunung Pandan menuju kota, aku melihat tunas-tunas tebu baru sedang tumbuh di sana. Mereka serupa harapan yang memunculkan simbol-simbol baru di tengah carut marut sengketa antara buruh tani, Lurah Kedung Pingit, dan pabrik gula. (*Heru Sang Amurwabumi)

 

Catatan kaki:

  1. = Kependekan simbah kakung (bahasa Jawa), kakek.
  2. = Nama ilmiahnya channa striata, snakehead, ikan gabus, jenis ikan predator air tawar.
  3. = Kependekan anak lanang (bahasa Jawa), anak lelaki.
Leave A Reply

Your email address will not be published.